Hartono Menggoda

1781 Kata
Hartono berjalan di belakang Soraya. Mengikuti wanita itu menuju ke kamar suaminya yang sedang terbaring sakit. Hartono tak bertanya apa-apa selain menurut dan mengikuti saja. Yang jelas, Hartono dimintai tolong Soraya, untuk membantunya melepas dan menggantikan pakaian suaminya. Berjalan dari garasi menuju kamar khusus, membuat Hartono terkagum-kagum. Rumah Soraya yang jelas sangatlah luas. Dengan pilar-pilar yang tinggi, daun pintu yang lebar, jendela-jendela kaca yang menjulang. Benar-benar istanauntuk di zaman sekarang. Dalam hatinya membatin akan kemegahan rumah Soraya yang berbanding jauh dengan rumahnya. Ia pun kini memahami bagaimana putrinya bisa begitu gelap hati hanya demi bisa tinggal di rumah sebesar dan semewah ini. Tapi, tetap saja tidak akan nyaman jika ada yang sakit. Soraya tidak mengetuk pintu, ia langsung membukanya dan masuk begitu saja. Seorang wanita akhir tiga puluhan, yang sedang duduk-duduk dengan posisi tiduran di sofa panjang dekat dengan jendela kaca, seketika tersentak bangun dan duduk. Wajahnya tak ramah bahkan terkesan sangat kesal. Matanya sedikit memerah dan sedikit berair. Tanda bahwa ia sudah setengah ngantuk, akan tidur atau bahkan sudah sempat tertidur. Wanita itu memiliki tubuh yang pendek dan sedikit berisi. Wajahnya tak menyiratkan keramahan saat menatap punggung Soraya dan kemudian menatap Hartono dengan mengernyit. Tetapi ia tidak berlama-lama dengan kebingungannya akan sosok Hartono. Tanpa banyak bicara, ia pergi keluar. Kamar Pamungkas begitu luas dan menjadi mewah karena didominasi warna cokelat keemasan. Dari gorden tebal yang bermotif, sofa-sofa tunggal dengan dudukan rendah, sarung bantal dan selimut tebalnya, dikuasai warna cokelat keemasan. Di salah satu nakas, terdapat kotak berukuran sedang dengan warna putih yang mengeluarkan semacam uap air. Hartono menduga kalau itu adalah air purifier, alat yang digunakan untuk membersihkan udara. Kedua mata Pamungkas terbuka. Seolah mata itu hanya terbuka jika istrinya datang. Tak ada senyum di wajahnya, namun Hartonon bisa melihat senyum di kedua mata Pamungkas. Tubuhnya yang kurus, terlihat bersih terawat. Tidak kering. Hartono yakin, loyalitas dan kebaikan Sorayalah yang menjaga Pamungkas dalam kondisi terbaiknya. Soraya yang duduk di sisi suaminya, membelai lembut punggung tangan Pamungkas, sembari memperkenalkan Hartono yang berdiri tak jauh dari keduanya, tetapi masih bisa dijangkau sosoknya dengan pandangan Pamungkas. "Dia sopir baru saya, Pa. Namanya Hartono." Soraya kemudian menceritakan alasan keluarnya sopir lama dan mengatakan bahwa Hartono dikenalkan oleh Juan. Tidak ada penjelasan tentang siapa Juan, menandakan bahwa perihal Juan pasti sudah disampaikan oleh Soraya. Setelahnya Hartono mulai membantu Soraya. Hartono kagum akan ketelatenan Soraya, membayangkan andai istrinya masih hidup, ia yakin istrinya akan memberikan pelayanan yang serupa seperti Soraya memberikan pelayanan pada suaminya. Setelah Pamungkas sudah selesai rapi, Soraya meminta Hartono keluar dan menunggu. Hartono mengangguk dan keluar. Ternyata di luar si perawat sedang duduk di sofa sembari senyam-senyum dan menggerak-gerakkan tubuhnya dibarengi suara musik di ponsel. Seperti sebuah rekaman singkat. Hartono berdiri diam dan memerhatikan saja si perawat beraksi dengan kamera ponselnya sampai selesai. "Ngapain sih, Pak, kok liat-liat begitu," gerutu si perawat setelah selesai dengan aksinya. "Ya, terus saya harus liatin siapa, Mbak.... Nggg.... Siapa namanya?" tanya Hartono sembari mendekat. "Reni," jawab singkat si perawat sembari memainkan ponselnya. "Saya Hartono." Reni mengangguk saja dengan tatapan tetap ke layar ponsel, mengulang-ulang video singkat yang tadi ia buat. "Sudah cantik kok, Mbak Reninya." Reni menoleh dengan wajah yang berbeda. Ada senyum senang yang tersungging di wajah bulatnya. "Pak Hartono ini baru kenal aja sudah genit, ya." Meski berupa teguran, tetapi disampaikan dengan tawa malu-malu. "Kok, genit sih, Mbak. Memang kenyataannya cantik, masak iya saya bilang sebaliknya. Suaminya pasti juga sering bilang begitu, 'kan?" "Gak ada yang mau sama saya, Pak. Saya udah gendut. Jelek lagi." "Bohong, ah, Mbak Reni. Perempuan gendut itu justru...." Hartono membungkukkan tubuhnya dan bicara lirih, "Seksi." "Ihhh..., Pak Hartono ini bisa aja." Reni malu tapi suka. Ia cekikikan sendiri Sedangkan Hartono tersenyum manis. Ia langsung bisa menebak kalau wanita di hadapannya ini cukup kesepian. Akan mudah baginya untuk menaklukan Reni. Hanya Renilah jembatan baginya untuk mengetahui keadaan sebenarnya Pamungkas. Informasi yang sangat dibutuhkan putranya untuk menjatuhkan Julia. Hartono memang baru memasuki usianya ke lima puluh tahun. Tetapi, secara fisik, Hartono masih memiliki tubuh yagn tegap, rambut yang masih lebih banyak hitamnya, dan raut ketampnanan yang masih tersisa banyak. Hartono memang bisa percaya diri begitu, bahkan sampai sekarang pun, yang mendekati dirinya dan mau serius dengannya, apa pun kondisinya, cukup banyak dan beragam usia. Kerupawanan alami yang menurun pada kedua putra putrinya. "Pak Hartono apa sekarang jadi asistennya Ibu Soraya, ya?" taya Reni yang memang tidak diinformasikan apa-apa oleh Julia. "Saya sopir baru di sini. Baru tadi pagi diterima." "Ha? Lah, terus Pak Slamet bagaimana ya?" "Sepertinya beliau mengundurkan diri." Reni mengangguk-angguk dan mengamati Hartono. Hatinya berdesir saat mendapati senyum Hartono yang manis bersahaja. Kehangatan menyerbu masuk ke relung hati Reni. Sorot mata Hartono yang tajam sekaligus lembut karena menyipit senyum. Disadari atau tidak, tatapan Reni terhenti di bagian bibir Hartono. Ada kumis dan jambang yang tidak dicukur habis. Menyisakan bulu-bulu kasar berwarna abu-abu bercampur putih. Reni membayangkan bagaimana jika bagian dagu atau bibir Hartono mengenai wajahnya. "Ada apa, Mbak Ren?" Pertanyaan Hartono menggugah kesadaran Reni. Ia langsung berdeham salah tignkah. Malu sendiri akan kegenitan dirinya yag memandangi Hartono sedemikiannya. "Enggak. Gak ada apa-apa." Reni menjawab gelagapan. Ia kembali menyibukkan diri denga ponselnya sekaligus menenangkan jantungnya. "Mbak. Apa saya boleh minta nomer ponselnya? Ya, buat jaga-jaga." "Jaga-kaga dari apa, Pak?" "Jaga-jaga kalau Mbak Reni ada yang ganggu, bisa langsung telpon saya. Nanti saya yang beresin." Agak konyol dan Hartono malu sendiri. Ia jadi bisa menggombal, sejak kematian istrinya dan kehidupannya di jalanan bersama wanita malam. Untuk mendapatkan apa yang ia mau, ia cukup menggunakan kata-katanya. Seperti biasa, berhasil. Reni menyebutkan nomer ponselnya dan Hartono melakukan panggilan singnkat agar nomer ponselnya disimpan Reni. Tak lama Soraya keluar, Hartono mengedipkan mata dan memberikan senyum terbaiknya pada Reni, baru kemudian mengikuti Soraya. Sempat Hartono melihat wajah Reni yang bersemu. Hartono senang. Satu betina berhasil ditaklukannya. Tinggal eksekusi selanjutnya. *** Nina terus berkutat di depan layar laptopnya. Mencari-cari informasi dengan membuka dan kemudian membaca serius. Jika kurang tepat, dia akan mulai mengetik banyak huruf, banyak angka, banyak simbol, untuk mencari apa yang ia butuhkan. Sedangkan Juan dan Robi justru bermain game online bersama. Saling memaki, saling mengarahkan, saling menyalahkan jika kalah, dan kemudian saling tertawa jika menang. Juan butuh hiburan setelah hatinya kacau dengan kehadiran Sonya. Tapi, ia tidak bisa pergi ke mana-mana karena akan menyusun rencana untuk esok hari. Saat ini mereka menunggu Hartono datang. "Kira-kira si Tante Sonya itu akan datang lagi gak?" tanya Robi di sela-sela permainannya. "Bisa jadi." "Gimana nanti kalau bentrok sama Saskia?" Juan tertegun dan Nina di meja kerja Juan, menatap kepala belakang Juan; menunggu jawaban. "Gak ada lagi selain minta Satpam untuk melarang Sonya masuk," jawab Juan seadanya. Hanya itu yang terpikir saat ini. "Kayaknya dia bakal jejeritan jika diseret." Juan menoleh ke belakang di mana Nina duduk. "Menurutmu suaranya akan sampai masuk ke sini?" Nina mengedikkan bahu. "Suruh Robi keluar dan jejeritan," jawab Nina tak acuh dan kembali pada laptopnya. Juan hanya mesem dan Robi menahan tawa geli. "Nahan si Tante itu gak masuk sih gampang, Juan," ujar Robi. "Masalahnya kalau keduanya bentrok ketemu di pintu masuk atau yang satu masuk dan langsung duduk manis di salah satu kursi makan, satunya asal nyelonong aja masuk ruanganmu ini. Dua-dua itu bakal bikin ribet. Kebayang gak? Keduanya bertemu di depan pintu masuk. Kan gak mungkin satpam kita ujug-ujug datang untuk menahan si Tante Sonya di depan Saskia. Bisa teriak ke mana-mana itu Tante. Dan segala aibmu kebongkar," ujar Robi. "Dan kalau Saskia masuk ke ruangan ini, sedang si Tante dilarang masuk ke sini, menurutmu apa akan ada ketenangan?" sindir Nina. Juan kesal akan kerumitan yang akan ia hadapi. Masalahnya, Juan tidak suka jika keributannya terkait wanita. Pikirannya sudah terasa penuh untuk menghadapi Julia, satu-satunya wanita yang sudah menguasai perjalanan hidupnya. Ia malas jika ditambahi kerumitan lainnya. "Kamu ajalah Nin yang hadapi si Sonya itu. Eneg saya," putus Juan. "Nah, bener begitu. Nina kan cewek galak. Orang seumur Tante Sonya pasti keder jika berhadapan sama Nina. Tadi aja si Tante udah kayak cacing kepanasan pas hadapan sama Nina. Emang kalau urusan wanita, baiknya diurus wanita juga. Bisa, 'kan, Nin?" tanya Robi dengan senyum merekah. Yang ditanya justru melotot dan melayangkan tinju bayangan. Nina kemudian menghela napas dan bergabung di sofa bersama Juan dan Robi. "Saya sudah menemukan EO yang akan dipakai besok," ucap Nina menarik perhatian kedua sahabatnya. Juan langsung meletakkan ponslenya dan memajukan tubuhnya. Robi, bergeser mendekati Nina. "Bagaimana?" tanya Juan. "Saya kenal pemiliknya, masalahnya adalah saya tidak mungkin memasukkan diri saya ke sana karena dia tau saya kerja di sini. Saya bisa saja berdusta sudah keluar dari sini, tapi suatu hari kelak kalau dia ke sini dan melihat saya, maka setengah dari kepercayaan dia pada saya akan berkurang. Padahal saya bisa mengorek informasi perihal keluarga Pamungkas dari dia, terutama tentang Julia," jelas Nina. "Ya, udah. Saya aja dimasukkan," sahut Robi. Nina diam sesaat. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya sejak tadi. "Oke. Anggaplah Robi masuk jadi pegawai katering dan kemudian mencari tahu penyakit Pak Pamungkas, apa itu tidak berbahaya? Selain itu, meski itu akan jadi acara yang menyedot perhatian orang yang datang, bukan berarti perhatian Julia tidak bisa bercabang. Dia pasti masih bisa memantau keadaan bapak mertuanya itu. Saya rasa, rencana kita untuk memanfaatkan pesta ulang tahun Ibu Soraya untuk mendapatkan informasi penyakit Pak Pamungkas, masih terlalu cepat dan riskan." "Idemu apa?" tanya Juan. "Pak Pamungkas kan ada Om Hartono. Kita serahkan masalah Pak Pamungkan pada Om Hartono, karena beliau sudah jadi sopir di sana. Meskipun Julia kemungkinan mengetatkan pengawasan pada ayah mertunya, tapi saya yakin akan ada satu hari dari sekian banyak hari yang dia akan meleset." "Nina bener juga, Juan. Kita gak bisa bergerak terlalu cepat dan terlalu ketara. Julia akan jauh lebih pandai menyimpan banyak hal bisa menjadi senjata kita," sahut Robi menyepakati Nina. "Berarti kita tidak punya rencana untuk besok?" tanya Juan. Pertanyaan Juan terkesan kekecewaan. Nina dan Robi bisa memahaminya. Sekian puluh tahun mencari dan merawat dendam, maka ketika ada peluang, pastilah Juan ingin cepat-cepat diselesaikan. Tapi, menghadapi Julia tidak bisa seperti itu. Wanita itu sangat cerdas dan lihai. "Apakah tidak ada yang berpikir tentang Onel?" tanya Nina dengan senyuman misteriusnya. "Bukankah kita bisa melakukan sesuatu terhadap anak manja itu." "Kenapa ke Onel?" tanya Robi keheranan. "Jangan lupa, Onel adalah boneka Julia. Alasan Julia mengajukan pesta ulang tahun untuk ibu mertuanya, pasti terkait dengan hubungan Saskia dan Juan. Julia butuh boneka untuk mempertahankan kedudukannya dan kedudukan Onel saat ini sejak adanya Juan, berada di ujung tanduk. Bukankah kita bisa menghancurkan itu dulu? Dan memuluskan jalan Juan untuk masuk di lingkungan keluarga Pamungka." Nina tersenyum makin aneh. Bagai senyum malaikat pencabut nyawa yang sudah siap dengan incarannya. Juan dan Robi saling pandang. Kalau Nina sudah tersenyum aneh begitu, artinya Nina punya ide kuat. "Apa idemu?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN