Tunangan saya, Juan

2165 Kata
Tak ada yang dirasakan istimewa bagi siapa pun di pagi hari ini, di kediaman Pamungkas. Padahal, sudah ada kesibukan kecil seperti datangnya beberapa orang dengan perlengkapannya untuk memasang tenda dan menata meja kursi di taman. Tapi, keadaan di dalam rumah tetap anteng seperti tidak ada gairah untuk menyambut adanya sebuah acara nanti malam. Bagi Soraya sendiri, yang mana kesibukan ini diperuntukkan baginya, justru datar saja menjalani paginya. Ia tak bertanya-tanya atau bahkan tak terlibat dengan keriuhan di luar. Karena Soraya sudah tahu alasan orang-orang datang dengan segala perlengkapannya. Menjadi tidak antusias karena yang menyiapkan itu adalah Julia. Soraya justru merasa sangat bahagia saat kemarin sore, suaminya sudah bisa meremas jemari tangannya, meskipun masih sangat lemah. Baginya itu adalah hadiah ulang tahun terbaiknya. Sebuah kemajuan yang ia rindukan dan doakan sepanjang hari untuk suami tercintanya. Soraya juga berlipat bahagia saat tengah malam putrinya masuk ke kamar dengan membawa kue kecil dan satu lilin untuknya. Saskia menyesal karena belum membelikan Soraya kado, tetapi Soraya tak mengharapkan itu. Ia hanya inginkan Saskia bahagia. Melihat ibu mertuanya tak terlalu antusias, Julia menjadi kesal di dalam hati. Ini seolah dirinya sedang tak dihargai usahanya untuk membahagiakan sang ibu mertua. Tak ada kata-kata yang keluar dari Soraya. Pertanyaan ataupun pernyataan tidak ada. Padahal Julia mengharapkan sesuatu yang lebih dekat atas usaha yang ia lakukan, seperti ucapan terima kasih ala-ala sinetron, yang mana sang ibu mertua akan memeluknya dan mengusap kepalanya. Setelah membayangkan itu, perasaan Julia semakin berantakan. Ia terlalu mengharapkan orang lain bisa sayang padanya hingga ia lupa kalau dirinya sudah membuang banyak kasih sayang dari ibu dan ayahnya sendiri. Tidak punya rasa bersyukur. Banyak mengharap pada yang lain. "Mama tidak suka?" Julia sudah tidak tahan dengan pengabaian Soraya atas apa yang sudah ia lakukan. Sembari mengiris kecil roti Sandwichnya, Julia bertanya dengan nada kesal. "Mama tidak suka dirayakan ulang tahunnya?" Soraya yang hanya sarapan buah, menatap Julia dengan tidak nyaman. Ia jadi merasa bersalah karena bersikap biasa saja. Tetapi berkata jujur, Soraya enggan untuk mericuh di pagi hari. "Mama suka," jawab Soraya seadanya sembari menyunggingkan senyum yang terpaksa. "Kalau Mama tidak suka, saya bisa batalin kok acaranya. Saya tidak ingin Mama terpaksa menerima hadiah dari saya." Di saat seperti ini. Soraya yang berhati lembut, merasakan ketidaknyamanannya. Dirinya mulai mengeluh dengan Saskia yang selalu bangun siang, hingga di situasi begini, dirinya harus berhadapan sendirian dengan Julia. "Mama suka. Kenapa Mama harus tidak suka?" Pertanyaan seadanya yang mampu Soraya ucapkan. Soraya tidak menyadari jika lontaran pertanyaannya itu, membuat Julia tersedak. Ini seperti Soraya melempar bolanya kembali ke arah dirinya saat ia belum siap. Soraya biasanya adalah seorang yang pasif. Jika ditanya, lebih sering menjawab dengan jawaban sederhana. Sangat jarang melontarkan pertanyaan kembali yang menohok. "Tidak. Saya kira Mama tidak suka." Julia tak bisa berdebat jika begini. Karena ini seperti Soraya mempertanyakan dasar perimbangan Julia menanyakan itu. Ditambah ini adalah sodokan halus Soraya bahwa sebaiknya Julia tak perlu berprasangka atas sikap Soraya. Soraya sendiri tak menyahut dan kembali dengan buahnya. "Mama ingin kado apa?" tanya Anggara. Soraya memandangi sayang Anggara, putra tirinya. Saat dipinang Pamungkas, ia khawatir kedua putra Pamungkas akan menolaknya. Ternyata ketakutannya mengikis. Kedua putra Pamungkas bisa menerimanya sebagai ibu sambung dan Soraya menyayangi keduanya dengan ikhlas. Dengan segala kekurangan yang dimiliki masing-masing anak. Untuk Anggara, Soraya sering merasa kasihan. Putra tirinya itu cenderung mudah dipengaruhi. Tidak punya pendirian dan selalu butuh dukungan di belakangnya. Kelemahan putra tirinya itu sering membuat suaminya kesal. Sering memarahi yang kemudian membanding-bandingkan Anggara dengan Atha. "Tidak ada. Asalkan kamu sehat dan terus bahagia, itu sudah kado buat Mama." Soraya membelai lembut punggung tangan putranya. Hanya itu yang ia bisa berikan pada Anggara sebagai dukungan untuk seluruh perjalanan hidup Anggara. Anggara selalu tidak bisa berkutik dan jatuh haru setiap ibu tirinya memberikan kelembutan padanya. Sejak kecil ayah dan ibunya terlalu keras padanya. Bahkan terlalu banyak menuntut yang membuat Anggara frustasi. Kematian ibu kandungnya, tak membuat Anggara menangis. Di dalam hatinya justru bersyukur dan bertanya-tanya kapan ayahnya menyusul. Kedatangan Soraya, bagai oase di padang gurun. Menyejukkan dan menenangkan. Untuk Soraya, Anggara bersedia menjadi pelindung. "Saya ingin memberikan Mama kado yang benar-benar Mama inginkan." "Itu yang paling Mama inginkan. Kesehatanmu dan kesehatan kita semua. Kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita semua. Lagi pula kamu dan Jualia kan sudah memberikan kado dengan pesta ulang tahun nanti malam, ya, 'kan? Itu sudah cukup." Julia mual melihat pemandangan penuh kasih antara ibu tiri dan anak tirinya. Kembali kecemburuan menyeruak dibarengi kealpaannya akan sikapnya pada keluarganya sendiri. "Pagi...." Julia menoleh ke arah asal suara dengan melenguh lirih. Datang lagi seorang pengacau dalam hidupnya. Saskia melangkah mendekat, mencium pipi ibunya dengan sayang dan mengangguk tersenyum pada Anggara, sedangkan pada Julia hanya menatap sekilas saja. Andai ada kesempatan, ingin rasanya Julia menarik leher Saskia hingga terlepas dari badannya. Ketidaksopanan Saskia, menbuat Julia selalu ingin mengekang gadis itu. Menyingkirkannya dengan segera melalui pernikahan adalah jalan terbaik. Andai suaminya tidak lembek, ingin Julia melakukan yang lebih ekstrim lagi. "Sas, nanti siang Onel mau ajak kamu keluar cari kado sama-sama. Jangan seperti kemarin, ya," ucap Julia. Ada teguran di dalam kalimat Julia yang diucapkan dengan lembut, yang Saskia tidak suka. "Onel tidak ada ada bilang apa-apa sama saya. Kenapa kamu selalu jadi jubirnya dia, sih? Dan yang kemarin, Onel juga tiba-tiba datang. Tidak ada konfirmasi sebelumnya. Sedangkan tunangan saya sudah datang." "Onel sibuk. Kamu kemarin asal pergi begitu saja. Onel kemarin menyiapkan segala sesuatunya untuk pesta ulang tahun Mama. Onel aja perhatian, kok kamu malah gak peduli." "Gak peduli atas apa? Kalau untuk Mama saya, saya kan gak perlu bikin pengumuman atu menunjukkan pada semua orang kalau saya peduli? Cukup Mama yang tau bagaimana pedulinya saya sama beliau. Dan lagi, emangnya saya buta apa? Onel melakukan itu juga karena ada maunya." "Kenapa, sih kamu selalu berprasangka sama Onel. Dia itu tulus." "Setulus kamu menjodohkan saya sama sampah seperti dia?" Saskia meradang. Ia muak dengan cara Julia yang selalu memposisikan Onel sebagai terbaik. Padahal semua orang tahu bagaimana Onel sebagai si bungsu di keluarga milyuner. Seorang manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang. Seorang pemalas yang bisanya tidur sana sini di hotel-hotel berkelas dengan para wanitanya. Dan Saskia sangat yakin Julia tahu itu semua. Hanya saja, Saskia tidak bisa yakin apa alasan Julia menjodohkan dirinya denga Onel. Ini masih menjadi pertanyaan baginya. Ada banyak kemungkinan. "Sudah. Kenapa jadi ribut begini di meja makan? Ini kan hari istimewa Mama. Berhenti ributnya," tegur Anggara yang mulai kesal pada kedua perempuan terdekatnya, yang setiap saat selalu ada  saja keributan. Seolah memang sengaja ribut untuk adu kekuatan. "Saski, sudah...," Soraya pun menegur putri ya dengan suara setengah berbisik. Saskia menurut. Dia menarik napas dan menuangkan jus jeruk ke gelasnya. Tetapi Julia tidak. Ia mengabaikan permintaan suaminya. Dengan geram, Julia melanjutkan perdebatannya. "Juan itu bukan tunanganmu, Sas. Kamu harus ingat itu. Kalian hanya membuat kesepakatan untuk bersama. Tetapi itu bukan hubungan yang direstui oleh kita semua," tegas Julia. Tatapannya berapi-api pada Saskia. "Kok, maksa sih!" Saskia gak kalah garangnya dari Julia. "Jelas-jelas malam itu dia datang dan kami sudah menjelaskan semua. Kenapa kamu maksa Onel masih menjadi tunangan saya?" "Tunangan itu adalah ikatan yang disepakati tidak hanya kedua belah pihak saja. Tapi kedua orang tua masing-masing yang menjadi saksi," tegas Julia. "Dan kamu ada saksi?" tanya sengit Saskia. "Saat dulu bertunangan dengan Kak Atha, apa kamu ada saksi dari orang tuamu dan kami?" "Saskia!" tegur Soraya dengan suara lirih. "Diam dan sarapan yang benar." Dengan d**a yang naik turun karena emosi, Saskia merapatkan bibirnya. Saskia sangat patuh dengan Soraya. Dibalik kelembutan Soraya, di saat sikap tegasnya keluar, Saskia pasti tunduk. Sedangkan Julia yang ditombak fakta oleh Saskia, meradang. Saskia selalu menginjak-injak kehormatannya dan Julia sudah tidak taha. Ia akan memberikan pelajaran bagi Saskia. Nanti. Tunggu saja, Sas. Jaga dirimu baik-baik. Anggara yang memerhatikan istrinya yang menatap Saskia sebegitu tajamnya, menjadi ngeri sendiri. Perasaannya tidak enak. Ia menjadi khawatir akan adik tirinya. Dalam hati Anggara berniat untuk bicara pada Saskia agar lebih menghargai dan menghormati Saskia, nanti. "Saya berangkat ke kantor duluan." Julia langsung berdiri. "Saya juga. Kita pergi sama-sama," ucap Anggara yang meminum airnya dulu sebelum berdiri. "Bilang sama Onelmu itu. Pertunangan di antara kita berakhir sejak saya mengetahui kenakalannya. Dan ini benar-benar berakhir sejak saya sudah memutuskan bersama dengan Juan. Jadi, jangan ganggu kehidupan saya lagi," ucap tegas Saskia. "Selama kedua orang tua masing-masing belum membicarakan pisahnya pertunangan kalian, maka setatusmu dan Onel adalah tunangan. Belajar hargai orang tua sendiri dan orang tua orang lain. Itu baru namanya dewasa," tegas Julia. "Onel tidak pernah ada dalam hidup saya. Mana Onel sekarang? Apa dia pernah ada buat saya tanpa harus melalui kamu? Tidak. Onel hanya datang kalau kamu yang suruh dia datang." Julia tersenyum sinis sebelum menyahut. "Dan bagaimana Juan?" Julia dengan sengaja menatap ke sekeliling dengan sikap sarkasnya. "Saya juga tidak melihat Juan untukmu. Jangan selalu menilai Onel buruk kalau lelaki pilihanmu juga tidak beda jauh buruknya. Bahkan mungkin jauh lebih buruk." "Juan pasti datang tanpa harus saya minta." Setelah mengucapkan itu, dalam hatinya, Saskia memaki diri sendiri. Saskia tidak melakukan konfirmasi pada Juan. Ia juga tidak meminta Juan datang. Tapi, kata-katanya tadi begitu penuh percaya diri. Seolah-olah dia bisa menarik Juan datang hanya dengan kata-kata. "Mimpi kamu," ucap Julia pedas. Julia langsung melengos dan berlalu tanpa berpamitan pada Soraya. Ia memilih memutuskan dialognya dengan Saskia dengan cara pergi. Sedangkan Anggara hanya menatap ibu tirinya dengan perasaan tak enak dan mengangguk kecil. Soraya yang memahami situasinya, hanya mengibaskan tangannya, menyuruh Anggara menyusul saja istrinya. Namun, sebelum benar-benar keluar dari ruang makan, Juan muncul. Yang terkejut tak hanya Julia, lainnya termasuk Saskia juga terkejut dengan kemunculan Juan. Kemunculan Juan seolah mempertegas pernyataan Saskia bahwa Juan adalah tunangan yang sebenarnya. Bahwa Juan akan datang tanpa diminta dan tanpa harus ada sesuatu. Juan merasakan ketegangan sesaat setelah memasuki ruang makan. Sikap Julia yang kaku dengan wajahnya yang tegang, sudah menjelaskan bahwa telah terjadi sesuatu sebelum dirinya datang. "Selamat pagi," sapa Juan dengan mengaguk sopan pada Julia dan Anggara. Julia tak menjawab. Ia menghentakkan kakinya dan berlalu. Sedangkan Anggara hanya tersenyum kecut dan menepuk lengan Juan. "Silahkan bergabung dengan Mama dan Saskia. Saya ke kantor dulu," ucap ramah Anggara. "Terima kasih. Selamat bekerja, Kak." Anggara mengangguk singkat dan bergegas menyusul Julia. "Selamat pagi, Tante." Juan mengulurkan tangannya yang disambut Soraya dengan senyum manis. "Pagi, Juan. Ayo, sarapan sama-sama." "Terima kasih, Tante." Juan langsung duduk di depan Soraya yang kini tersenyum geli. "Kok, langsung duduk?" tanya Soraya menggoda. Juan yang sudah duduk, jadi salah tingkah karena bingung dengan pertanyaan Soraya. Ia mencoba mengingat apa yang sebelumnya disampaikan Soraya padanya dan seingatnya Soraya mengajaknya untuk sarapan sama-sama. Apa saya diminta sarapan sambil berdiri? Ah, yang bener aja. Lah, terus ini maksudnya apa? Juan menatap Saskia, mencoba mencari jawabannya. Tapi, Saskia justru menatapnya dengan makna yang tak bisa Juan mengerti. Seolah-olah Saskia hanyalah penonton yang menunggu aksi Juan berikutnya. Dengan perlahan, Juan keluar dari kursinya. "Kenapa kamu malah mau berdiri?" tanya Soraya yang semakin menahan geli melihat tingkah Juan. Juan kembali menatap Saskia dengan memelas dan lagi-lagi yang ditatap tak memberikan respon apa-apa. Membiarkan Juan dalam kebingungannya sendiri. "Jadi saya harus gimana Tante?" Juan sudah menyerah. Menebak-nebak maksud Soraya, sudah tak mampu ia lakukan. "Kenapa kamu tidak menyapa tunanganmu. Sudah didepannya kok malah mengabaikan." Juan dan Saskia jadi semakin grogi. Tak disangka Soraya bisa sebegitu santainya membicarakan hal yang sifatnya romantis. "Pagi, Sas," sapa Juan kaku yang dibalas Saskia hanya anggukan kepala. Juan jadi gemas melihatnya. "Hanya itu saja?" Juan jadi kagok. Kembali ia seperti pada situasi yang salah. "Harusnya bagaimana Tante?" "Waktu pacaran, Om kalau datang menemui Tante, selalu cium kening Tante." Seketika wajah Juan dan Saskia bersemu. Keahlian Juan bersikap romantis pada wanita, hilang entah bagaimana dan ke mana hilangnya. Ia diingatkan perihal romantisme sederhana oleh seorang wanita yang dalam kisah bohongan ini, adalah ibu dari tunangannya. Dengan senyum canggung, Juan mendekati Saskia yang sibuk memotong roti Sandwich-nya. Pakai pura-pura. Bukannya bantu, malah sibuk sama roti begituan, gerutu Juan. "Pagi, Sayang," sapa Juan setelah berdiri di dekat Saskia. Kalau kamu nunduk begitu, bagaimana saya cium kening kamu? Halah! Batin Juan kesal. Soraya yang melihat kecanggungan putrinya dan Juan, dengan sengaja menyenggol lengan Saskia. Yang disenggol masih dengan kepala sedikit menunduk, menatap ibunya sekilas, sembari mencebik. "Itu Juan nyapa kok gak dibalas? Kalian gak lagi ribut, 'kan?" tanya Soraya. "Enggak Tante." "Enggak Ma." Juan dan Saskia menjawab bersamaan. Saskia yang refleks mengangkat kepalanya sejajar dengan Soraya, langsung mendapat ciuman di pipi dari Juan. Sontak Soraya tertawa geli. Menggoda Saskia yang pipinya bersemu merah. Melihat bagaimana sikap Saskia terhadap perlakuan Juan, Soraya langsung tahu jika hubungan Juan dan Saskia belumlah lama. Entah bagaimana putrinya dan Juan ini kemudian menjadi sepasang kekasih, sampai detik ini Saskia tak bercerita banyak. Soraya juga tak mendesak putrinya bercerita, karena ia paham watak Saskia, yang akan segera bersembunyi pada cangkangnya jika dipaksa bercerita. Namun, melihat reaksi Saskia, Soraya bisa menilai jika putrinya jatuh cinta pada Juan. Dan melihat bagaimana Juan terhadap Saskia, ia pun tahu jika Juan juga menaruh hati pada putrinya. Jika kalian memang saling mencintai. Jadilah terus. Jangan goyah. Mama akan mendoakan kebaikan kalian berdua. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN