Ketegangan yang sama terjadi di sudut meja makan restoran Juan. Untuk kedua kalinya, Juan harus berhadapan dengan wanita yang menggebu padanya. Sebelumnya Julia, yang begitu menggebu ingin agar Juan menjauh dari kehidupannya. Kini Sonya, yang begitu menggebu ingin selalu ada dalam kehidupan Juan.
Tak ada senyum di wajah Juan. Rahangnya mengetat menahan kesal. Sorot matanya tajam terhujam tepat pada Sonya yang justru terlihat santai dan tidak peduli pada ekspresi ketidaksukaan Juan. Ia terus terseyum dan memainkan mata, mencoba membuat raut wajah Jua melembut. Setidakya tersenyum meski tipis. Sayangnya itu adalah usaha yang sia-sia.
Juan bergeming. Tubuhnya menjauh dengan tetap pada posisinya bersandar. Sedangkan Sonya, memajukan posisi tubuhnya.
"Kenapa kita jadinya jauhan begini?" tanya Sonya setengah merajuk.
Sonya bukanya tak mengerti, juga bukannya tak merasa kalau Juan tidak menyukai kehadirannya. Sonya hanya sedang pura-pura tidak peduli. Dirinya tahu kalau sedang salah dan membuat Juan marah. Tapi Sonya sangat merindukan Juan dan mengabaikan kekesalan Juan.
Sonya tak bisa menggenggam jemari Juan karena lelaki mudanya itu duduk dengan kedua tangan terlipat di d**a.
"Saya rindu kamu." Suara Sonya begitu lembutnya. Begitu manisnya. Di hari-hari lalu, Juan akan tertawa.
"Kamu tidak bisa dihubungi. Semua pesan WA saya tidak kamu baca. Semua telpon saya tidak ada yang kamu respon. Saya mencarimu ke mana-mana dan..., ya, saya menemukan restoranmu ini. Ternyata kamu punya usaha. Kamu seorang pengusaha yang...."
Sonya mengitari tatapannya ke sekeliling restoran Juan yang mengesankan kemegahan sekaligus kenyamanan saat orang maka di sini. Bahkan terlihat beberapa orang dengan sengaja membawa pekerjaannya untuk di kerjakan di restoran Juan.
"Briliant. Kamu begitu cerdas membuka peluang. Membangun restoran di daerah perkantoran. Sengaja beroperasi dari pagi sampai malam. Menyediakan menu berbeda di pagi, siang, dan malam. Jarang-jarang ada restoran yang mampu mengambil peluang secerdas dan sekeras dirimu. Benar-benar lelaki yang seksi dan saya tidak salah pilih."
Juan mengambil napas dan melepaskannya seperti seorang yang kelelahan. Napas yang terasa berat karena membawa kedongkolan yang menggumpal di dalam dadanya. Cara Sonya bicara yang dibuat genit dengan bersuara pelan mendesah, justru membuat Juan enek, ingin muntah.
Apalagi mengetahui kenyataan bahwa Sonya dengan sengaja mencari tahu dirinya dan dengan sengaja pula datang ke tempatnya tanpa konfirmasi darinya. Juan sangat yakin sudah memberikan batasan tegas akan hubungan dirinya dengan para wanitanya. Bahwa tidak boleh mencampuri kehidupan pribadi siapa pun, juga larangan dari Juan untuk mencarinya. Cukup dia yang datang saat dibutuhkan dan asalkan Juan bisa.
"Kalau sudah selesai makan dan bicaranya, silahkan Tante pulang."
Sonya terjenyak dengan ucapan Juan yang begitu ketus. Ia yang sudah berhari-hari menahan rindu atas Juan. Berhari-hari tidak bisa menghubungi dan berkomunikasi dengan Juan. Yang juga berhari-hari mencari-cari Juan. Dan saat sudah bertemu, ia sama sekali tidak diperlakukan dengan baik.
Api pun menyambar emosi Sonya. Dadanya menggelegak angkara. Ia tidak terima diperlakukan sedingin itu oleh Juan meskipun posisinya adalah dirinya yang salah. Tapi, bagi Sonya, harusnya Juan menghargai kedatangannya. Juga bisa memahami perasaannya yang merindu berat.
"Apa saya haru diperlakukan seperti ini? Saya pontang-panting mencarimu. Menghubungimu. Kamu tau tidak betapa rindunya saya sama kamu?"
"Apa saya harus peduli? Memangnya hubungan kita apa?" Juan benar-benar marah. Ia merasa tidak perlu bersikap baik pada Sonya yang sudah melakukan pelanggaran.
Sonya mendelik mendapat pertanyaan tak terduga itu. Sedikitnya malu karena dilempari pertanyaan yang seolah-olah bahwa Sonya hanya memiliki pemikirannya sendiri.
"Menurutmu apa?" sentak Sonya.
"Bisnis."
Jantung Sonya bagai kena tikamanbelati tajam. Rasa sakitnya menyadarkan diri Sonya bahwa Juan memang tidak akan punya hati untuknya. Namun, Sonya tidak mau menyerah.
"Bisnis bagaimana? Saya tidak pernah menganggapmu demikian, Sayang."
Perut Juan meronta-ronta saat Sonya kembali memanggilnya 'Sayang'.
"Kita sudah melakukan banyak hal bersama-sama. Itu bukan lagi bisnis. Itu adalah hubungan yang kuat," lanjut Sonya.
"Versimu."
"Versi kita." Sonya berkata tegas.
"Dan saya masih memanggilmu 'Tante'."
Wajah Sonya memerah. Juan terus-menerus menegaskan kedudukan antara dirinya dan Juan. Bahwa akan selalu ada pemisah atas kebersamaan mereka. Juan tak ingin pemisah itu hilang, bahkan Juan mempertebal dan melebarkan jaraknya.
Juan melonggarkan duduknya. Ia memajukan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya di meja, membuat tubuhnya sedikit saja membungkuk ke arah Sonya.
"Aturan main saya jelas, Tante. Amat sangat jelas sejak awal mula kita bertemu. Bahwa saya dan Tante bisa menjadi apa saja yang Tante kehendaki, hanya jika ada kesepakatan antara kita berdua. Tante membutuhkan saya, saya bisa, maka..., silahkan jika Tante mau jadikan saya kekasih atau apa saja. Tapi, setelah saya balik badan, maka urusan saya dan Tante sudah selesai."
"Selesai bagaimana? Kita bahkan sebelumnya masih selalu komunikasi setiap saat setiap waktu."
"Itu adalah bagian dari servis. Saya pemberi jasa dan Tante adalah pembeli. Saya bebas saja menentukan pada siapa saya melakukan pelayanan dan bagaimana saya memberikan pelayanan. Sama dengan Tante yang bebas aja apakah mau memakai pelayanan saya atau tidak. Hubungan kita hanya sebatas itu, Tante."
"Hubungan kita lebih dari itu, Juan!"
"Tante terlalu memaksakan diri. Dan saya tidak suka dipaksa meskipun..., saya bisa dibeli."
Sebuah pernyataan yang telak dan sangat egois. Juan sudah memberi pagar atas dirinya. Sebuah pernyataan tak bisa dilanggar apa pun alasannya dan apa pun yang terjadi.
"Kamu tidak bisa memperlakukan saya semena-mena seperti ini, Juan. Saya sudah melakukan banyak untukmu. Saya sudah memberikan banyak untukmua. Harusnya kamu tahu bagaimana membalasnya. Termasuk perasaan saya yang tulus."
"Mana ada perasaan yang tulus, Tante. Tidak ada yang namanya tulus dari hubungan laki-laki dan perempuan jika di dalamnya melibatkan uang. Ayolah, Tante bukan anak kecil. Usia Tante bahkan di atas saya jauh. Tante juga sudah menikah dua kali. Pengalaman Tante atas hubungan laki-laki dan perempuan itu jauh lebih banyak dari saya. Harusnya jauh lebih paham.
Saya tidak bisa memberikan apa-apa ke Tante selain pelayanan berbayar. Itu pun bebas dari saya apakah saya mau menerima atau tidak. Jadi, singkirkan itu yang namanya hati."
"Kamu ada wanita lain, 'kan?" Nada suara Sonya mulai bergetar. Ada tangisan yang sedang ditahan sekuat tenaga. Tangisan yang dibarengi kemarahan.
"Ada. Selalu ada. Dan Tante sangat tahu itu."
Sonya meremas kuat jemari tangannya sendiri. Keinginannya terkuat saat ini adalah menampar wajah Juan. Bahkan kalau perlu meninju wajah tampan Juan sampai berdarah-darah. Ia dicampakkan begitu saja. Tak dihargai sedikit pun sebagai sesuatu. Sedangkan dirinya, selama ini, sejak mengenal Juan, telah menjadikan lelaki muda itu sebagai jalan dan tujuan hidupnya.
"Saya selalu tahu kalau kamu ada wanita lain. Sebelumnya juga saya gak keberatan akan itu. Tapi, yang saya tanyakan adalah hal lain. Di hatimu...." Sonya menumpu jemarinya di atas tangan Juan. Membelainya lembut sebagai bagian dari taktiknya untuk meluluhkan Juan. "Apakah di hatimu ada wanita lain?"
"Wanita lain dari?"
"Dari saya."
"Bahkan Tante tidak pernah ada di hati saya. Tante hanya pernah ada bekas di tubuh saya saja. Tapi tidak di hati dan pikiran saya."
Sonya menggeleng kuat dan juga semakin kuat mencengkeram jemari Juan. Takut akan kehilangan yang sebenarnya sudah dirasakannya sejak Juan sudah dihubungi. Kehilangan yang terasa makin nyata sejak Juan hanya memandanginya dengan begitu dingin. Kalau pun Sonya bisa memegang fisik Juan dengan kuat, tetapi Sonya tak mampu memegang hati dan pikiran Juan.
"Kamu sedang marah sama saya, 'kan, Juan? Karena saya mendatangfimu di sni. Karena saya melanggar kesepakatan kita untuk tidak mencarimu. Ini, kamu sedang marah saja 'kan? Saya minta maaf untuk itu Juan. Saya tidak akan mengulangi lagi. Tapi, please kembalilah pada saya.
Saya sangat tahu kalau kamu mencintai dan menyayangi saya. Kamu hanya belum siap saja karena pautan usia kita yang jauh. Demi kamu, saya bisa menjadi bayanganmu saja. Yang penting kita selalu bersama, Juan. Kembalilah pada saya."
Juan menyentak tangan Sonya dari tangannya. Ia sudah tidak tahan lagi akan sikap berlebihan Sonya. Merengek-rengek, memohon, dan kemudian berhalusinasi. Tidak menerima apa yang sudah disampaikannya.
"Tante. Buka matamu lebar-lebar dan pakailah kepalamu untuk berpikir juga merenung. Ingat tidak, Tante pernah bertanya pada saya, kenapa saya tidak pernah memanggil Tante dengan sebutan yang lebih romantis?
Pertanyaan Tante itu adalah jawabannya. Dan hari ini adalah penegasannya. Bahwa, hubungan di antara saya dan Tante, tidak lebih dari hubungan profesional. Saya jual, Tante beli. Saya memberikan, Tante membayar. Hanya sampai di situ.
Saya sudah mulai sangat muak dengan ini. Silahkan Tante keluar dengan cara paling anggun dan berwibawa. Jangan permalukan diri Tante lagi.
Urusan kita sudah selesai. Selamat tinggal."
Tanpa memedulikan bagaimana pucatnya wajah Sonya, Juan berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruang kerjanya. Sedangkan Sonya, yang syok dengan kepergian Juan, melangkah keluar restoran dengan langkah gontai. Ia tak bisa berpikir. Hatinya remuk. Di dalam mobil, Sonya menangis sejadi-jadinya dan memaki Juan.
"Saya bunuh kamu, Juan!"
***
Setelah konfirmasi ke kantor kalau semua pekerjaan tertangani dengan baik, Saskia memutuskan tidak kembali lagi ke kantor. Ia masih merindukan Jeny, begitu juga sebaliknya. Jadinya, Juan menurunkan kedua gadis tersebut di rumah Saskia.
Saskia malas ke kantor. Keributannya dengan Julia ditambah kemunculan Onel, membuatnya gusar. Ditambah lagi, kemungkinan Julia merengek ke Anggara perihal Hartono. Yang jika Saskia kembali ke kantor, maka akan ada konfrontasi antara dirinya dan Anggara.
Kendatipun hanya saudara tiri, tetapi Saskia dan Anggara sebenarnya memiliki hubungan yang baik sebagai saudara. Bahkan, kenyataan bahwa dirinya hanya saudara beda ibu, hampir tak pernah jadi pembahasan. Saskia memiliki kepatuhan terhadap kakak-kakaknya. Karena ibunya pun mengingatkan begitu. Mau banyak atau sedikit, Saskia dan Anggara adalah saudara.
Karena perasaan hormat itulah, Saskia memilih lebih banyak mengalah atau menghindar. Hanya pada situasi-situasi tertentu saja dirinya akan jadi pemberontak. Salah satunya adalah situasi jika di dalamnya ada Julia yang mulai merengek.
Di rumah, Saskia sempat heran karena Hartono masih ada. Dan saat Saskia bertanya ke ibunya apakah ada telepon dari Anggara, ibunya berkata tidak. Perasaan Saskia semakin tidak nyaman dan khawatir. Ini membuatnya berjudi. Bahwa Aggara mengbaikan keinginan Julia atau Anggara hanya menunggu waktu tepat yaitu selepas pulang kerja.
Kini di ruang santai, hanya ada Jeny dan Saskia. Karena sudah pukul tiga sore, Soraya berpamitan untuk mengurus suaminya. Memandikan atau tepatnya menyeka tubuh Hartono agar bersih. Jika urusan makan dan obat dikuasai Julia dan suster yang digaji Julia, maka urusan membersihkan Pamungkas adalah urusan Soraya. Wanita itu tak mengijinkan orang lain menyentuh tubuh suaminya.
Soraya tidak hanya akan membersihkan tubuh Hartono saja. Juga tidak hanya menggantikan pakaiannya. Soraya akan memijat tangan dan kaki suaminya sembari bercerita banyak hal yang positif. Hampir semua hal yang mengesalkan tidak Soraya ceritakan. Ia akan menyimpannnya sampai suatu hari kelak Hartono benar-benar bangun dan pulih.
"Om Pamungkas gak di bawa ke luar negeri atau gimana gitu?" tanya Jeny sembari memotong kue dari piring kecilnya.
"Sudah. Kak Anggara dan Julia yang bawa. Tapi, ya..., katanya lebih baik dirawat di rumah."
"Rasanya sudah lama sekali beliau sakit."
Sejak Kak Anggara dan Julia menikah, batin Saskia yang menghela napas panjang.
"Om Pamungkas masih belum boleh diberi obat lain? Vitamin?"
Saskia mengedikkan bahunya malas. Membahas ayahnya, membuat emosinya terkuras. Ia marah, tetapi ia tak mampu melakukan apa-apa. Sikap protesnya juga tuntutan atas perawatan ayahnya, berulang kali dicetuskan, yang berujung pada kemenangan Julia. Anggara sangat yakin kalau istrinya yang berwajah malaikat itu, lebih memahami dan bisa menjaga ayah mereka.
"Ngeri juga iparmu itu. Kayak gurita."
Perumpamaan yang diceletukkan Jeny, membuat Saskia tertawa geli. Setidaknya kegundahan jika ingat bagaimana mengerikannya Julia, sedikit mereda.
"Oh, ya." Jeny celingukan melihat sekitar. Ada kekhawatiran bahwa apa yang akan ia ucapkan terdengar orang lain. "Iparmu masih kerja, 'kan?"
Saskia mengangguk dengan keheranan. "Masih. Kenapa?"
"Beberapa waktu lalu, ada sepupu yang iseng liat-liat album foto di galeri f*******:. Trus pas lihat foto kita di pernikahan Kak Anggara, sepupu bilang kalau merasa kenal dengan si pengantin wanita alias Kak Julia. Katanya Kak Julia seperti wajah temannya saat sekolah SMA. Tapi, karena tidak yakin, dia mau cari-cari tau dulu."
Dada Saskia berdebar cepat. Ia terkejut ada orang lain yang kenal akan sosok Julia di masa lalu. "Terus? Terus?" tanya Saskia penasaran.
Jeny merogoh ke dalam tasnya dengan kasar. Setelah beberapa saat, ia kemudian mengeluarkan selembar kertas yang sudah dipotong dari bentuk aslinya. Ada gambar beberapa anak sekolah yang berdiri diatur. Mereka berseragam putih abu-abu. Foto kelulusan.
"Buku albumnya dicetak dengan sangat tidak baik. Banyak halaman terlepas dan hilang berbarengan dengan proses pindahannya. Tersisa ini. Dia sengaja gunting karena saya yang minya."
Saskia menerima potongan kertas yang tercetak gambar beberapa siswa berpose rapi. Yang perempuan duduk di kursi, yang mana bagian tengahnya duduk seorang guru wanita. Sedangkan di belakang, berderet siswa putra. Fotonya tak begitu jelas, sedikit buram, tetapi masih bisa dilihat.
Kedua mata Saskia perlahan menelusuri wajah-wajah yang tersenyum dari pelajar perempuannya. Matanya terhenti pada salah satu sosok perempuan remaja di sisi kanan guru wanita tersebut. Fokus fotonya terlalu jauh, hingga wajah-wajah itu terlihat sangat kecil. Saskia harus mendekatkan gambar itu ke matanya agar bisa melihat lebih jelas, walaupun itu membuat matanya pedih.
"Ini." Jeny menunjuk dengan jari telunjuknya pada perempuan muda yang sedari tadi menjadi fokus Saskia. "Ini Kak Julia, bukan?"
"Kayaknya iya." Sebagian kecil dari diri Saskia ada keraguan. Ini karena cetak gambar yang membuat semua sosok jadi sedikit mengabut. "Tapi ini di mana?" tanya Saskia kemudian.
"Daerah pinggiran luar Jakarta."
Saskia seperti tidak percaya akan ucapan Jeny. "Berarti masih Jakarta?"
Jeny mengangguk cepat.
"Tapi..., keluarga aslinya dalah Surabaya. Kemudia dia diangkat anak oleh keluarga Amerikanya." Saskia kembali memandangi foto cetakan di tangannya. "Mungkinkah mirip?"
"Emang gitu?" tanya Jeny sembari mengambil foto cetakan dari tangan Saskia.
"Iya, begitu juga kata almarhum Kak Atha. Mereka berdua kan pacaram lama saat di Amrik."
Jeny mengangguk-angguk seperti seekor burung pelatuk. "Ya..., mungkin mirip saja."
"Memang namanya pasti Julia?" tanya Saskia.
"Katanya gitu. Namanya Julia H."
***