Aku masih lima belas tahun.
***
Tak ada lagi yang tersisa di rumahnya yang terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu yang merangkap ruang makan, dapur dan satu kamar mandi dengan sumur di dalamnya. Kosong melompong. Satu per satu barang di rumah keluar. Sebagian besarnya dijual untuk bisa menutupi hutang-hutang berbunga. Terakhir harta dimiliki rumah dan ini pun sudah terjual juga.
Juan menatap kekosongan rumahnya dengan hati menangis hebat. Air matanya tidak luruh di pipi, melainkan di jiwanya yang masih sangat muda. Ia masih lima belas tahun dan tahun-tahunnya diisi dengan keluhan-keluhan akan materi. Ia benar-benar ingin berteriak untuk protes. Tapi, ia tak sanggup selain mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
Kesialan ini karena Julia yang tidak tahu diri. Setelah semuanya diberikan untuk perempuan itu, tiba-tiba mengirim surat sialan yang membuat kehidupannya yang masih muda dan harusnya tidak terlibat, justru ketarik-tarik pada kesialan yang sama dengan kedua orang tuanya.
Juan sangat ingat isi surat itu meskipun ayahnya sudah membakar surat itu.
'Ayah ... Ibu .... Saya tidak bisa pulang dan tidak mau pulang. Saya sudah memilih hidup saya sendiri. Terima kasih untuk semua yang sudah Ayah dan Ibu berikan untuk saya. Saya tidak bisa membalasnya, tapi semoga Tuhan bisa.
Lupakan saya. Hapus nama saya dari daftar kartu keluarga. Anggap kalian tidak punya dan tidak pernah punya anak perempuan. Atau kalau itu susah, maka anggap saja saya sudah mati di negeri orang.
Maafkan saya Ayah, Ibu. Mulai hari ini, saya berjalan sendiri.'
Akhirnya sebulir air mata luruh di pipi Juan. Bukan air mata kesedihan yang cengeng. Itu adalah air mata kemarahan berbalut dendam. Juan tidak terima hidupnya porak poranda. Ketidakadilan membuatnya marah. Harusnya ia mendapatkan hal yang sama seperti yang Julia dapatkan.
Tepukan ringan mendarat di pundak Juan. Segera Juan menghapus air matanya. Bau alkohol sisa semalam dan bau keringat yang masam, menguar di hidungnya. Membuatnya ingin muntah. Juan diam menahan rasa mual di perut.
"Dirampok anak sendiri, hehehe...." Ayah Juan mengekek seperti ada yang lucu. Namun, Juan tahu itu tidak benar-benar lucu. "Memang benar, perempuan itu jalang. Merawat anak perempuan sama dengan merawat jalang, hehehe...."
Juan memalingkan wajah. Ia benar-benar ingin muntah mendengar ucapan ayahnya. Masih belum dilupakannya bagaimana sang ayah meremehkan dirinya yang hanya bisa bermain. Yang nilai-nilainya biasa saja, tidak istimewa. Yang selalu menjadikan Julia sebagai role mode masa depannya.
"Anak itu terlalu cantik. Terlalu pintar. Persis iblis." Ayah Juan membalikkan tubuh Juan agar menghadap dirinya. "Kita sudah tidak punya apa-apa. Hidupmu sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Saya sudah gak perduli lagi akan hidup siapa-siapa. Percuma! Anak perempuan saja sudah menusuk apalagi anak lelaki."
Ayah Juan meludah dan memandang jijik Juan. Ia kemudian berpaling dan berjalan sempoyongan keluar rumah. Di ambang pintu sang ayah berhenti. "Hai, Setan Kecil! Kalau kamu marah, marah sana sama Julia. Tuntut hakmu sama dia."
Juan diam. Bergeming menatap nanar dan muak pada ayahnya. Keegoisan orang tuanya, membuat Juan menaruh dendam kesumat untuk Julia dan untuk ayah ibunya juga.
Sepertinya ayahnya, Juan juga meludah di rumah yang sudah kosong itu. Membuang semua kenangan. Meludahi pahitnya penipuan dan sakit hati. Dan saat Juan berbalik untuk keluar, sejak saat itu juga Juan memutuskan ikatannya dengan masa lalu, dengan Julia.
Sampai di luar rumah, Juan termangu. Mobil bak terbuka yang disewa ayahnya, sudah tidak ada bersama kedua orang tuanya juga barang-barang tersisa yang tadinya sudah diangkut ke atas mobil bak terbuka.
"Juan!" seru suara kecil dan feminim.
Juan menoleh. Dua temannya yang sekaligus tetangganya, Nina dan Robi datang mendekat dengan langkah cepat. Nina dengan rambut cepaknya, segera berlari ketika jaraknya dan Juan lebih dekat.
"Juan...," sapa Nina dengan napas megap-megap. Tubuhnya dibungkukkan untuk meredakan sesak di d**a. "Bapakmu tadi marah-marah trus mereka langsung jalan. Gak nungguin kamu."
"Juan." Robi menepuk pundak Juan. Meski ia tak lari, tetap saja napasnya tak beraturan. "Mau kita antar?"
Juan merogoh saku celananya. Ada beberapa lembar uang dan beberapa koin uang, yang kalau ditotal hanya sebelas ribu rupiah. Naik angkutan umum masih bisa, tapi dirinya merasa sayang dengan uang itu. Di tempatnya yang baru, ia pasti membutuhkan uangnya yang hanya sebelas ribu rupiah itu.
"Kalian mau antar pakai apa?" keluh Juan dengan helaan napas. Ia tak mau merepotkan kedua sahabatnya itu. Pilihannya hanya dua tersisa, jalan kaki untuk menghemat uang atau naik angkutan umum, tapi ia kemudian tak memiliki uang sama sekali.
"Mang Opik mau antar kita pakai bajajnya," ujar riang Nina.
"Gila! Dari sini ke sana saja sudah hampir satu jam setengah. Yang bener aja pakai bajaj. Mau berapa duit bayarnya?"
"Bayaran gak usah dipikirin. Kita sudah sewa Mang Opik," jawab Nina sembari memainkan kedua alisnya
"Dan lagi, Mang Opik tau jalur lain agar lebih cepat menuju kontrakanmu," sambung Robi.
"Tapi, Mang Opik masih antar penumpang dulu sekalian isi bensin. Kita tunggu dulu aja," jelas Nina.
Juan menghela napas. Dengan loyo, ia duduk bersandar di pilar pagar. Kakinya ditekuk dan kedua tangan terulur, menopang pada kedua lututnya. Tatapannya menerawang. Kedua sahabatnya ikut duduk di debelah Juan.
"Udah, Juan. Gak usah dipikirin. Tempat lama, tempat baru, itu sama aja. Gak usah terlalu dipikir," ucap Robi.
"Iya, Juan. Yang penting tuh, kita tetap bersama. Kita bakal sering main ke sana. Kita akan tetep kumpul-kumpul," janji Nina yang diikuti anggukan mantap dari Robi.
"Thanks. Tapi saya gak mikir itu. Saya masih percaya kesolidan pertemanan kita. Secara kita sudah bersama sejak jaman belum bisa bicara." Senyum kecil terukir di wajah lesu Juan.
"SMA-mu bagaimana, Juan? Kamu kan sudah lolos ujian di SMA yang sama dengan kita. Apa kamu akan kita antar jemput aja?" tanya Robi yang tulus menawarkan untuk meringankan beban sahabatnya.
Robi merasa punya hutang budi banyak pada Juan. Bukan perihal materi karena dari status ekonomi, Robilah yang paling mujur. Ayahnya adalah seorang kepala bagian di kantor pemerintahan. Rumahnya saja lantai dua dengan dua mobil dan dua sepeda motor.
Tapi, Robi adalah anak lelaki yang lemah. Ia sering mengalami perudungan sejak taman kanak-kanak. Makanannya sering dirampas. Uangnya sering dikompas. Semua berakhir sejak Juan mendekatinya. Juanlah pelindung Robi. Juan juga yang melatih Robi perlindungan diri dasar. Tanpa Juan, ia mungkin akan tetap menjadi pecundang.
"Gak usah. Kayaknya saya akan sekolah di dekat-dekat sana. Ayah sudah mengambil semua uang gedung dan seragam yang sudah dibayarkan."
"Emang bisa?" tanya Nina keheranan.
"Bisa aja kalau pakai keributan." Juan menghela napas. Beruntung ia tak jadi sekolah di sana. Bisa malu tujuh turunan karena insiden pengambilan uang muka yang disertai amarah dan mabuk.
"Dengar-dengar, sekolah-sekolah di sana, sering tawuran. Kamu jaga diri, ya," anjur Nina dengan khawatir yang tulus.
Berbeda dengan Robi, ia sebenarnya tak punya hutang budi terhadap Juan. Hanya saja, sikap kepahlawanan Juan saat melindungi Robi, membuatnya kagum dan kemudian dekat. Nina adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya lelaki.
Kebalikan dari orang tua Juan yang mengagungkan anak sulung perempuannya. Di keluarga Nina yang diagungkan justru si adik yang anak laki-laki. Sosok Juan membuatnya memiliki saudara senasib. Juan bahkan menjadi kakak bagi dirinya, meski usia mereka sama.
Juan tersenyum tipis, mengangguk, menghela napas lagi, dan menunduk lesu.
"Mikirin Kak Julia, ya?" tanya Nina perlahan.
Seketika wajah lesu Juan berubah mengeras. Kedua tangannya mengepal erat. Dan kedua matanya yang hitam pekat, menatap lurus.
"Akan saya kejar dia sampai ke akherat!"
***