Juan membuka matanya sangat perlahan. Terasa pedih dan seperti ada ganjalan berat di bagian kelopaknya. Juan meringis, saat ingin membuka lebih lebar kelopak matanya. Bulu matanya seperti terekat. Rupanya air mata yang mengalir saat tidur, yang kemudian mengering berubah menjadi semacam lem.
Keadaan rumah kontrakan begitu gelap. Juan tidak yakin sudah jam berapa, tetapi ia sudah memperkirakan kisaran waktunya, yaitu pukul sebelas malam ke atas. Ini karena ia mendengar suara-suara wanita bicara sembari tertawa, seruan nyaring satu dua wanita, dan suara-suara pria. Jam malam bagi yang membutuhkan kehangatan syahwat.
Juan mencoba bangun dan saat itulah ia sadar kalau tubuhnya tidak lagi di lantai. Ia berada di atas tempat tidur busa. Tempat tidur almarhum ibunya. Seseorang sudah memindahkan tubuhnya.
Sebelumnya, ayah Juan, pulang dalam keadaan mabuk berat. Hari sudah bergulir jauh menuju malam. Ayahnya sudah empat hari tidak pulang, sekalinya pulang dalam keadaan kacau. Laki-laki bertubuh besar itu, sudah marah-marah karena kelaparan, tidak ada makanan, ditambah ia tak melihat Juan.
Tepat saat Juan baru masuk rumah, ayahnya langsung meninjunya, menghajarnya bolak-balik tanpa ampun, mengeluarkan berjuta makian sekaligus penyesalan karena kehilangan semua dan tersisa Juan yang baginya adalah anak lelaki tak berguna.
Dalam hajaran ayahnya, Juan diam. Tak membalas juga tak berucap apa-apa. Sampai kemudian sebuah bogem kembali menghantam pelipisnya, Juan sudah tak sanggup menahan. Ia pingsan di ruang depan.
Perlahan-lahan, Juan bergeser turun, meringis lebih panjang karena semua di tubuhnya mulai terasa sakit di setip pergerakan. Dengan tertatih-tatih, Juan keluar dari kamar ibunya yang tak berpintu. Karena hanya petak kecil, sedikit melangkah, Juan sudah di ruang depan.
Juan melihat ayahnya, duduk di lantai, di ambang pintu. Satu kakinya menekuk ke atas, menjadi tumpuan bagi lengannya. Satunya lagi terlipat ke samping. Juan tidak tahu apa yang dilihat ayahnya, ia hanya bisa melihat punggung ayahnya yang begitu lebar menguasai pintu. Seperti sebongkah batu hitam yang sengaja di sana untuk menahan siapa pun yang masuk ataupun yang keluar.
Pada kegelapan samar seperti ini, Juan hanya melihat kesepian dan luka. Ini yang membuat Juan, tak pernah membalas kekasaran ayahnya yang dulu tak pernah ia dapatkan kecuali kekasaran mulut. Wasiat almarhum ibunya untuk menjaga ayahnya, terikrar untuk dilakukan.
Ditambah, Juan tahu jika sebenarnya, ayahnya tak sebegitu jahat.
Tiba-tiba ayahnya menoleh, menatap dirinya. Juan diam, bergeming, menunggu. Terdengar dengkusan kasar dan ayahnya kemudian berdiri. Seketika, terasa kegelapan memenuhi seisi ruang. Juan harus mendongak untuk bisa tetap menatap ayahnya.
"Nyalakan lampu, di sebelahmu sudah Bapak belikan makan."
Sekali lagi ayahnya mendengkus kasar sembari merapikan kemeja lusuhnya. Ia membungkuk dan mengambil jaket jeans yang ada di lantai.
"Bapak mau ke mana lagi?" tanya Juan dengan suara parau. Tenggorokannya terasa kering yang membuat suara yang keluar terdengar kasar dan aneh.
Ayahnya tak langsung menjawab, ia sibuk dengan jaket berbahan jeansnya.
"Jemput Julia."
Jawaban singkat ayahnya, membuat Juan menahan napas. "Bapak tau di mana Julia?"
"Ada uang, cukup-cukupkan. Bapak pergi dulu."
"Bapak jemput Julia di mana?" desak Juan.
"Ke mana aja. Anak itu harus pulang. Harus mati."
***
Juan menjadi gelisah melihat bayangan ayahnya dari dalam restoran. Otaknya bekerja layaknya matematika. Memperkirakan jarak dan waktu temu yang mungkin terjadi antara ayahnya dan Julia. Bagian lain kepalanya, sibuk menimbang apakah ayahnya perlu untuk bertemu Julia saat ini ataukah belum.
Ayahnya sudah mencari Julia bertahun-tahun. Luntang-lantung dari satu tempat ke tempat lainnya. Rasanya, mengulur waktu lebih lama, Juan tidak tega. Tapi, jika dipertemukan, Juan tidak bisa memperkirakan apa yang terjadi. Kemungkinan terburuk adalah ayahnya yang pemarah akan berlaku bar-bar, menarik paksa Julia. Parahnya, ada kemungkinan ayahnya akan menghajar Julia yang berimbas pada penjara.
Juan tidak mau itu terjadi. Ia tak akan membiarkan Julia menginjak orang tuanya lagi. Cukup ibunya yang tumbang, jangan ayahnya.
Juan keluar dengan terburu-buru, hingga meja dan kursi bergeser bersamaan, membuat bunyi khas yang menarik perhatian Robi dan Nina. Keduanya bingung sekaligus heran melihat kepanikan pada wajah Juan. Sampai kemudian Robi mengikuti arah pandang Juan dan ia pun sigap keluar dari meja kasir.
Robi lebih dulu sampai di luar. Ia terkejut karena Julia masih di luar sembari menelepon. Posisi Julia adalah membelakangi trotoar. Secepat angin Robi keluar menuju trotoar, menghadang langkah Hartono, sembari memainkan aktingnya.
"Pagi, Om," sapa Robi dan pura-pura kesal sembari melihat-lihat sekitar.
Hartono hanya menjawab dengan dehaman. Keningnya berkerut melihat tingkah Robi yang aneh. Lebih anehnya, Hartono ikutan celingukan, melihat-lihat apa yang dicari Robi di belakangnya. Itu membuat posisi Hartono dan Robi membelakangi arah keluar masuknya kendaraan, dari dan menuju keluar restoran.
"Cari apa kamu ini?" tanya Hartono yang kesal karena tidak tahu apa yang dicari Robi.
"Orang rusuh, Om. Di restoran."
"Rusuh?" Hartono menoleh ke kaca restoran, mencoba menembus pandangannya ke dalam. Sayangnya sulit jika sudah ada matahari. Kaca tebal hitam menghalangi pandangan masuk dari luar. "Jua baik-baik aja?"
"Gini Om ceritanya...."
Sedang Robi menahan Hartono, Juan yang baru sampai luar, menjadi gelisah melihat Julia justru masih ada di area restoran sembari teleponan. Ia memutar otak bagaimana mengganggu Julia agar pergi. Juan mengeluarkan kunci mobilnya dan memainkan di tangan.
"Telpon Saskia?" tanya Juan yang berdiri sangat dekat di belakang Julia.
Julia berbalik dan melotot. Jari telunjuknya terarah di bibir. Peringatan agar Juan diam.
"Iya, Sayang. Ini saya langsung ke kantormu. Udah dulu, ya. Bye."
"Wahhh..., langsung melapor, ya. Kamu istrinya atau sekretarisnya? Kedudukannya berbeda untuk dua itu. Yang satu mendampingi dengan kekuasaan. Yang satu mendampingi dengan kerendahan sebagai orang bayaran."
"Saya sedang gak cari gara-gara, tapi mulutmu itu kayaknya perlu dididik."
"Hah.... Sepertinya begitu. Andai tak ada pencuri dalam daging...."
Julia memutar tubuhnya kasar. Ia tak perlu meladeni lagi adiknya. Secepatnya ia masuk mobil dan tukang parkir membantunya mengarahkan mobil keluar. Juan bersyukur untuk itu.
Berbarengan dengan mobil Julia yang keluar, Hartono masuk. Julia dan Hartono berpapasan dengan sangat dekat, membuat jantung Juan juga Robi yang menyaksikan, seketika mencelat keluar. Keduanya bernapas lega setelah mobil Julia terus melaju ke jalanan dan Hartono terus mendekati Juan.
"Seperti apa orangnya?" teriak Hartono yang berjalan semakin cepat mendekati Juan.
Juan mendelik plonga-plongo kebingungan. Mencuri pandang ke arah Robi yang cuma meringis. Jantung Juan berdebar keras, mengira-mengira apa yang Robi omongkan ke ayahnya? Orang siapa yang dimaksudkan? Tidak mungkin rasanya jika itu adalah Julia. Robi tidak akan segila itu.
"Orangnya..., mmm..., biasa aja...." Juan menjawab sekenanya.
"G*blok. Berhenti dekati perempuan beristri! Cari perkara saja. Kalau restoranmu selalu ada keributan suami-suami yang cari istrinya, bisa bangkrut restoranmu ini."
Juan mulai memahami apa yang disampaikan Robi ke ayahnya. Ia sudah bisa menyusun alurnya. Robi pasti mengarang cerita kalau telah terjadi keributan dengan suami dari salah satu wanitanya.
"Tenang. Bisa diatasi. Tadi juga masih sepi."
"Kalau orang itu datang lagi, telpon Bapak. Biar dia tau, dia berhadapan dengan siapa. Br*ngsek. Udah bikin ribut, pakai gak bayar lagi. Kalau tau aja, abis orang itu...."
Dan terus Hartono menggerutu sembari jalan masuk ke dalam restoran. Meninggalkan Juan yang termangu dengan perasaan mengharu biru. Ayahnya seorang yang kasar dan Juan kenyang dihajar ayahnya saat sekolah. Tapi, hal-hal seperti ini, yang jauh membekas di hati Juan.
Juan ingat, saat dulu terbangun di atas tempat tidur almarhum ibunya, itu adalah ayahnya. Padahal ia sudah tujuh belas tahun. Tubuhnya jangkung. Pastinya, Hartono menggunakan kekuatan ekstra untuk memindahkan tubuhnya dari lantai ke tempat tidur.
Ayahnya juga akan menjadi dewa pembalas kesumat terkeji. Setiap Juan pulang dengan wajah babak belur, esoknya Juan akan mendapati musuhnya memiliki lebam jauh lebih banyak dari Juan.
Juan mengucek ujung dalam kedua matanya yang terasa menumpuk air mata yang tak turun. Ia akan membahagiakan ayahnya dan menjaga ayahnya sampai kapan pun. Juan tersenyum dan bergegas masuk ke restoran.
Dari gerakan kepala Nina, Juan tau jika ayahnya masuk ke ruangannya. Juan pun menyusul masuk ke ruangannya. Ia melihat ayahnya duduk di krsi pijat dan menyalakan TV. Juan memang menyediakan tempat sendiri untuk ayahnya bersantai. Kursi pijat dan TV, Juan tata di bagian sudut.
"Bapak makan apa?" tanya Juan yang duduk di sofa tamu.
"Sudah makan."
Juan nyengir. Ia tahu ayahnya belum makan. Pakaian yang lusuh, tampilan yang berantakan, menandakan ayahnya belum pulang ke kontrakan. Berkeliaran menjadi preman. Tapi, ayahnya tidak akan makan jika Juan tidak makan.
"Saya belum makan. Mau nasi uduk, nasi goreng?" tanya Juan memancing.
Hartono tak menjawab, fokusnya masih pada televisi.
"Oke. Goreng."
Juan menuju meja kerjanya dan melalui interkom memesan makanan dan minuman untuknya dan ayahnya.
Hartono memiliki harga diri yang begitu tinggi. Saat kelaparan atau kekurangan, ia tak akan bicara. Hartono hanya bisa berharap kalau seseorang didekatnya peka. Dan Juan paham itu.
Tak lama keduanya menikmati sarapan yang telat bersama-sama. Hartono terlihat sangat menikmati.
"Bapak, kapan mau menempati rumah saya?"
Juan memiliki rumah pribadi dua lantai selain apartemen sebagai properti. Rumah dibangun untuk ayahnya. Berulang kali Juan membujuk ayahnya untuk tinggal, tetapi ayahnya menolak.
Seperti biasa, Hartono memilih tak menjawab. Karena Hartono pernah menjawabnya.
Di rumah itu, istri tercintanya mengembuskan napas terakhirnya. Di rumah itu, Hartono merasa hidup. Ia masih menganggap istrinya hidup dan tinggal di rumah sempit itu. Karenanya Hartono memiliki gairah hidup, mencari uang agar bisa membayar kontrakan juga untuk hidupnya sendiri.
Hartono menolak uang Juan. Ia tak mau menjadi pemalas dan parasit. Ia sudah melihat perjuangan putranya dan kesetiaan putranya sebagai anak. Balasan yang bisa Hartono berikan adalah tidak membebani Juan.
"Bapak masih cari Julia?" tanya Juan memancing.
"Masih."
"Kalau Bapak bertemu Julia, Bapak mau apa?"
"Seret dia ke makam ibunya dan pulang ke rumah."
"Bagaimana kalau Julia menolak?"
"Bapak tidak peduli."
"Di usianya sekarang, harusnya Julia sudah menikah dan punya anak, Pak."
"Bapak tidak peduli."
"Kalau saya minta Bapak mengikhlaskan Julia?"
Hartono menatap tajam. Aura kemarahan terpancar dari mata Hartono.
"Kamu belum pernah jadi orang tua, Juan. Kamu tidak tahu bagaimana sakit hatinya orang tua dikhianati anak sendiri. Ditipu dan dicuri, mungkin berjalannnya waktu, Bapak masih bisa terima. Tapi, s*ndal betina itu sudah bikin ibumu meninggal. Dia sudah bunuh ibumu.
Kalau kamu gak suka saya masih urus Julia. Masih cari Julia. Saya tidak akan pernah mengagumu lagi. Saya urus diri saya sendiri. Sampai saya mati, saya akan cari s*ndal itu!"
Hartono menggebrak meja dan bangkit. Tubuhnya tegang karena marah. Ia sudah bersiap untuk meninggalkan Juan ketika putranya membritahukan sesuatu yang mengejutkan dirinya setengah mati.
"Pak.... Saya menemukan Julia."
***