Pagi Untuk Julia

2111 Kata
Terdengar bunyi berdenting pada alat pemanggang roti. Sepasang roti dengan kulit, keluar dari mesin. Berubah warna dari putih menjadi kecokelatan. Tercium aroma gosong yang manis. Di dekat mesin pemanggang roti, terdapat mesin kopi berwarna hitam mengkilat. Cahaya kecil yang tadinya berwarna merah, kini berubah menjadi hijau. Di sisi yang lain, Juan bersiul sembari membalikkan telur mata sapi di atas penggorengan. Wajahnya ceria dengan mata yang berbinar menatap dengan puas akan bentukan telurnya yang abstrak. Ia kemudian mengambil piring porselen di rak piring yang berada di atas meja marmer hitam. Diambilnya sebuah roti panggang. Menata telur di atasmya, potongan tomat, dan kemudian ia menuang saus sambal. Baru kemudian menangkupnya dengan roti panggang satunya. Setelah meletakkan hidangannya di meja marmer, ganti Juan mengambil cangkir dan menekan tombol di mesin pembuat kopi. Seduhan kopi pun keluar. Juan duduk dan melepas napas lega. Tersenyum puas dengan hasil kerjanya pagi ini yang sudah menyiapkan sarapan untuk diri sendiri. Ia mulai meminum seteguk kopinya. Mensesap dengan penuh kenikmatan. Baru kemudian menggigit rotinya dan mengecap dengan gairah. Kesenangan menguasai dirinya. Sepanjang malam, sepulanng dari rumah Saskia, senyum tak lepas dari wajah Juan. Tembok yang menjadi kebuntuan sudah retak, memberikan sinyal harapan baru bagi sebuah tujuan yang sudah Juan tata sepanjang waktu. Juan tak lupa bagaimana wajah panik Susan saat pertama kali bertemu dan kemudian menjadi kepanikan beruntun saat keduanya bicara. Semalam adalah malam pertamanya berbicara dalam tanda kutip dengan Julia. Meski tinggal dalam satu atap, Julia dan dirinya tak pernah benar-benar berbicara. Dengan alasan harus belajar, setiap pulang sekolah atau selesai makan, Julia akan langsung masuk ke dalam kamarnya yang isinya sangat lengkap. Sudah ada radio, ada TV, bahkan kue dan buah-buahan juga tersedia di dekat meja belajarnya. Pernah satu kali saat Julia mandi sore hari, Juan melihat ibunya membawakan anggur, apel, dan kue bolu ke kamar Julia. Juan ingin anggurnya karena ibunya hanya memberikannya sebutir apel. Setelah ibunya keluar kamar, secepat kilat Juan memasuki kamar Julia dan menikmati anggurnya. Julia marah besar. Julia langsung melempar semua ke wajah Juan. Seolah-olah beberapa butir apel yang termakan oleh Juan adalah kesalahan paling besar seorang Juan kecil. Rambut Juan ditarik keluar kamar dan Julia berkata, "Kamu bukan adik saya! Jangan sekali-sekali kamu sentuh apa-apa milik saya! Tidak ada satu pun milikk saya yang akan saya bagi denganmu! Saya bukan kakak kamu dan kamu bukan adik saya, ingat itu!" "Ya..., saya ingat...," gumam Juan sembari mengembuskan napas malas. Ia akan selalu ingat semua hal perihal Julia. Pembalasan yang dilandasi bukan hanya karena wasiat almarhum ibunya, melainkan juga karena ia sendiri muak dengan Julia. Juan mengunyah potongan terakhir roti sandwichnya, setelahnya menghabiskan sisa kopinya. Juan belum memiliki rencana selanjutnya. Sementara, ia akan diam dulu. Cukup semalam dirinya menjadi guntur bagi Julia. Saat memasuki kamar, ia mendengar ponselnya berdering. Juan tak terlalu antusias untuk menerima panggilan teleponnya. Dengan perasaan malas, Juan melempar tubuhnya kembali ke tempat tidur, mengambil nakas dan remot, membuka gorden dengan remot, baru kemudian ia menerima panggilan teleponnya. "Juan...!" Robi menyebut nama Juan dengan suara berbisik yang seperti orang tercekik. "Apa? Nina ngomel-ngomel lagi?" Juan menumpu kedua kakinya dan mengoyang-goyangkan dengan santai. Gerakan kakinya mengingatkan Juan akan wiper mobil saat hujan. Juan tersenyum geli membayangkan bagaimana semangatnya wiper mobilnya bergerak, juga membayangkan ekspresi Nina yang uring-uringan. "Julia di sini...." Juan jingkat. Ia langsung bangun dari posisi rebahannya. Mengerjapkan mata dengan tak percaya. Juan sebenarnya sudah mengira jika Julia akan menemui dirinya. Namun Juan tak mengira jika dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, kakaknya itu akan datang menemuinya. Ia pikir tadinya, Julia akan hidup dalam kegamangannya. Gelisah sepanjang waktu atau bahkan berhari-hari. Mengkhawatirkan masa lalunya yang akan menjadi aib bagi Julia sendiri. Nyatanya tidak begitu. Julia sangat kuat. Wanita itu tanpa segan datang mencarinya. Kemungkinannya hanyalah kekalutan yang begitu besar atau memang Julia ingin mengadu diri dengan Juan perihal masa lalu yang sudha dibuang Julia. "Juan...!" pekik Robi putus asa karena Robi tak mendapatkan respon dari Juan. "Lagi apa dia?" "Makan." "Apa dia mencari saya? Ataukah dia cuma mau sarapa saja?" "Tidak tahu. Dia datang, duduk, dan memesan makanannya." Juan mengernyit. Mencoba menganalisa apa maksud dan tujuan Julia sebenarnya. Kalau sekedar untuk sarapan, itu menggelikan. Di rumah besarnya, sarapan pasti sudah terhidang dan tertata bahkan sebelum Julia bangun. Ditambah, Julia bahkan bebas menentukan sendiri apa sarapannya karena sudah ada juru masak yang handal disiapkan. "Tapi, dia duduk membelakangi pintu masuk," sambung Robi menambahkan informasinya dan itu cukup penting. Posisi duduk orang yang terkoneksi dengan Juan adalah awal analisa maksud dan tujuan orang tersebut. "Seperti gak nunggu kamu..., tapi buat apa dia ke sini pagi-pagi kalau bukan buatmu?" Juan melirik ke arah jam meja di atas nakas. Sudah pukul setengah sembilan lebih. Julia datang pastinya setelah mengantar anak-anaknya sekolah. Juan tidak yakin bagaimana sebenarnya keseharian Julia. Informasi dari Tante Sonya tidaklah lengkap. Apakah Julia memang selalu mengantar anaknya ke sekolah? Jam berapa Julia ke kantornya? Jika 'iya', Julia selalu mengantar anaknya ke sekolah, apakah Julia memang terbiasa sarapan di luar demi kepraktisan? Karena semakin dewasanya manusia, sarapan pagi cenderung lebih lambat dari yang masih muda atau sekolah. Ini membuat Juan sulit mengira-ngira apa tujuan Julia datang. "Kita lihat saja. Saya akan mandi dan ke restoran." Juan berdiri dan mulai melepas piyamanya. Tersisa boxer yang menempel di tubuhnya yang terbentuk maskulin. "Kelamaan. Dia keburu pergi. Mandi di restoran saja," saran Robi. "Sengaja. Kita lihat apa tujuannya." "Maksudnya?" Juan tak menjawab. Ia mematikan ponsel teleponnya dan pergi ke kamar mandi dengan langkah santai. Kamarnya yang sebagiannya adalah kaca tebal dan tinggi, memberikan peluang besar bagi mentari menerobos masuk sekaligus menghangatkan tubuh Juan. Transfer energi baru. *** Julia merasa perlu mengetahui Juan yang sebenarnya. Banyak rasa tak percaya akan semua ucapan Juan yang terkesan membual. Julia sangat paham bagaiamana keadaan keluarganya, terlebih lagi saat ia meminta terlalu banyak, yang kemudian membuat ayahnya menggadaikan semua. Julia yakin di saat itu, keluarganya sudah terpuruk. Adalah kemustahilan jika Juan memiliki kejayaannya tanpa status pernikahan dengan seorang lebih tinggi. Julia berpikir begitu karena ia menyamakannya dengan cara dirinya menggapai puncak. Tapi, adik ipra tirinya, Saskia, pasti tidak akan sembrono membawa seorang pria asing yang diakui sebagai tunangan, ke rumah. Saskia pasti menyadari bahwa latar belakang seseorang akan langsung ditelusuri begitu masuk dalam keluarga Pamungkas. Jadinya pastinya, Juan tidak main-main. Jika Julia menghabiskan harta keluarganya demi menunjang kedudukannya, kemudian Julia penasaran, dengan apa Juan menjadikan dirinya di atas langit. Julia semakin terpana akan kemajuan adiknya itu saat melihat restoran Juan dari luar. Dan makin kagum saat memasukinya. Dalamnya begitu mewah dengan interiornya dominan warna cokelat, putih, dan abu-abu. Untuk furniturenya dikuasai warna biru gelap dan cokelat. Benar-benar adaptasi warna yang terpadu menjadi megah tetapi tak berlebihan. Sebenarnya Julia ingin menguasai untuk melihat lebih detail restoran Juan. Tetapi dia memilih duduk di sudut dan membelakangi pintu yang membuat jarak pandangnya pendek. Bukan tanpa alasan ia mengambil duduk dengan posisi begitu, ia tidak ingin saat Juan masuk, adiknya itu akan langsung menemukannya. Juan terlihat tidak bodoh dan dia pasti menyadari kalau Julia memang sengaja datang. Julia memeriksa jam tangannya. Sudah pukul sembilan lebih dan akan mendekati pukul setengah sepuluh. Ia tak lagi mendengar keriuhan di belakangnya. Karena ia duduk dekat kaca, ia bisa melihat lalu-lalang orang yang bergegas menuju ke kantor masing-masing. Wilayah yang tepat untuk sebuah restoran. Kedua mata Julia bergulir ke piring makan yang sebagiannya sudah akan habis. Sarapan yang istimewa dan lagi-lagi tak Julia duga jika restoran Juan ini begitu lengkap. Julia sarapan dengan roti panggang yang diolesi butter, telur ceplok, sosis, jamur kancing, daging asap dan tomat yang dipanggang. Sarapan ala-ala keluarga Inggris. Ada buah-buahan potong dan kopi yang masih setengah. Masih ada waktu untuk menghabiskannya sembari menunggu kedatangan Juan. "Mimpi apa semalam?" Julia yang sedang meneguk kopinya, hampir kesedak dengan sapaan Juan. Untung dia adalah seorang terlatih hingga rasa terkejutnya tidak nampak. Perlahan ia meletakkan cangkir kopinya dan menatap Juan yang tersenyum segar. Adiknya dengan santai duduk di hadapannya. Juga dengan sangat santainya Juan mencomot sepotong buah dengan garpu kecil dan memasukkannya ke dalam mulutnya. "Mimpi apa semalam, Kak?" tanya Juan lagi. "Apa kita terlalu akrab sampai saya harus menceritakan apa mimpi saya?" jawab Julia dingin. Dengan sikap sinis, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hal yang tak terlu perlu. "Restoran yang terlalu mewah. Berapa membangunnya?" Juan tersenyum dan mengulangi kelancangannya dengan memakan sepotong buah segar milik Julia. "Biasa. Ini tak sebanding dengan restoran lain milik keluarga Pamungkas," jawab Juan merendah. "Memang." Julia menjawab angkuh. "Tapi, tetap ini mewah. Tidak cukup dengan menjual tanah saja, bukan." "Ya. Tidak cukup dengan menjual rumah juga. Tapi.... Apa yang mau dijual? Kan semua sudah habis. Seseorang meminta terlu banyak." Julia menguatkan diri. Ia sudah tahu, bahwa kesinisan ini akan datang juga untuknya jika berhadapan dengan Juan. "Lalu, bagaiamana kamu mendapatkan ini?" "Apa kita terlalu akrab sampai saya harus menceritakan keuangan saya padamu?" Juan melempar kembali ucapan Julia dengan senyum sinis kepuasan. "Kita tidak pernah akrab, Kak. Kita bahkan masing-masing. Pertanyaan antar kita, sepertinya memang tidak perlu ada jawaban. Kecuali jika masing-masing ingin menjawabnya," lanjut Juan. Julia menelan air liurnya sendiri dengan perasaan kesal. Kalau Juan sudah memberikan batasan, ia jadi bingung bagaimana mendapatkan informasi. Julia kemudian mengalihkan diri dengan menusuk sepotong  jamur dan memakannya. "Tapi..., saya orangnya tidak jahat." Juan tersenyum semanis-manisnya. "Saya tidak jahat untuk tidak memeberitahukanmu bagaimana saya mendapatkan ini semua." Juan perlahan memajukan tubuhnya. Menatap mata kakaknya lekat-lekat. Mencari pendar rasa penasaran, lalu Juan tersenyum bahagia. Jelas sekali Julia ingin tahu. "Tidak sekarang. Nanti." Juan kembali memasukkan sepotong buah ke mulutnya dengan bahagia karena melihat kegeraman pada Julia. Julia mengepalkan tangannya gemas. Dirinya dipermainkan Juan terus-menerus. "Jauhi Saskia." Akhirnya Julia memberikan ultimatum. Ia merasa tak perlu lagi basa-basi. "Kenapa?" "Tidak ada seorang pun yang menerimamu." Juan tertawa dengan cara yang aneh. Seperti suara tawa yang didorong dari rongga. "Tidak ada seorang pun atau hanya kamu saja, Kak?" "Tidak ada seorang pun, Juan. Jadi kamu jangan memaksa masuk dari pada kamu terluka." Mimik wajah Juan langsung tercenung dengan bibir membentuk hurf 'O'. "Kak Julia peduli dengan saya? Kakak tercinta yang memiliki kepintaran di atas rata-rata, seseorang yang bisa kuliah di luar negeri dan menikahi pria kaya-raya, peduli dengan keadaan saya? Sungguh mengharukan. Membuat saya ingin menangis." Kemudian Juan terkekeh kecil. "Saskia yang membawa masuk. Dan saya bukan tipikal lelaki yang menolak ajakan kekasihnya. Dia yang meminta saya masuk. Saya sangat penurut dengan orang yang saya sukai." "Saskia itu lugu. Dia mana tahu kebusukanmu. Kalau kamu memang menyukainya, jangan bikin susah dia. Jauhi gadis itu. Dia berhak dapat yang lebih layak." Juan diam. Memainkan potongan buah di piring kecil dengan garpunya. Memotongnya menjadi lebih kecil lagi. Itu membuat bunyi khas aduan garpu dengan piring. "Dan kamu berhak untuk menjadi bagian mereka?" Juan yang kepalanya sedikit saja menunduk, melebarkan kelopak matanya, membuat lipatan dalam yang menegaskan bola mata Juan yang marah. "Meraka tidak tahu bagaimana keji dan busuknya kamu terhadap keluargamu sendiri. Lalu kamu kini berlagak paling 'wah', paling bersih, dan dengan sesuka hatimu menggurui saya sekaligus meminta saya menjauhi keluarga Pamungkas. Gak may kamu pada dirimu sendiri saat mengucapkan kata-kata tadi? Atau, kamu perlu cermin?" Julia tidak tahan. Julia mengambil tasnya yang ia letakkan di kursi sebelahnya dan mengeluarkan kartu kredit sebagai  alat pembayarannya. Ia mengedarkan pandangan. Seorang pelayan tanggap akan maksud Julia, apalagi ia melihat kartu di tangan Julia. Pelayan itu mengangguk dan menuju meja kasir untuk meminta bill Julia. "Buru-buru? Kita baru bertemu." "Saya tidak sepertimu, Juan. Saya sibuk dan saya harus bekerja." "Ooo.... Iya lupa. Kamu seorang pebisnis handal. Sedangkan saya, hanyalah seorang penjaga restoran, yang diam-diam saja. Benar. Saya tidak sepertimu, yang sesudah menjilati p****t orang kaya, lalu menjadi budaknya." Plash! Siraman air putih yang masih utuh, yang memang disediakan, sudah tersiram ke wajah Juan. Pelayang yang membawa tagihan, langsung memekik lirih dan melongo bingung. Segelintir orang yang tersisa, termasuk beberapa pelayan, juga Robi dan Nina, ikutan melongo. "Kita sama-sama tukang jilat p****t, Juan. Untuk itu perhatikan wilayah teritori kita. Pamungkas adalah wilayah saya. Kamu..., carilah wilayah teritori lain. Sampai sini, paham?" Julia berbalik, menyenggol pelayan yang masih memegang nampan yang di atasnya terdapat secarik kertas tagihan. "Bilang sama kasir, tidak ada p********n dari kakak tercinta saya." Ucapan Juan terdengar Julia yang kemudian mendengkus. Ia melangkah dengan cepat dan tidak berhenti di meja kasir. Percuma juga membayar, kasir pasti akan menolak dan itu akan jadi perdebatan yang gak perlu. Di luar, Julia menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya terlalu sesak. Baru ini ada seseorang yang merendahkannya dan itu adiknya sendiri. Di dalam, pelayan yang tadi membawa tagihan segera mendekati bosnya. Ia segera menyodorkan sekotak tisu yang memang tersedia. Tatapan Juan tak sengaja keluar. Ke trotoar yang tepat di sebelah restorannya. Saat itu, ia melihat ayahnya dengan pakaian lusuh, berjalan gontai. Juan membeliak, tubuhnya menegang. Matanya terus mengikuti tubuh ayahnya. Ayahnya akan bertemu Julia di parkiran. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN