Tubuh Hartono bergetar mendengar apa yang Juan ucapkan. Sebuah nama yang sudah menghantuinya bertahun-tahun, tiba-tiba tersebutkan dari bibir putranya. Ada perasaan gamang antara mempercayai atau tidak.
"Apa katamu?" tanya Hartono dengan suara bergetar.
Juan menelan ludahnya. Ada perasaan menyesal karena terburu-buru meginformasika perihal Julia pada ayahnya. Ia merasa belum waktunya. Sayangnya Juan sudah melontarkannya.
Bukan tanpa alasan jika Juan kebablasan bicara. Ia semakin tidak tega melihat keadaan ayahnya yang semakin berantakan. Lebih banyak gentayangan di jalanan sebagai preman. Mencari-cari Julia sepanjang waktunya.
Saat Juan berada dalam keadaannya yang setengah melamun, tak terduga Hartono mendengkeram kerah kemeja Juan, membuat tubuh Juan menjadi sangat tegak dan kepala mendongak.
"Ulangi apa yang kamu katakan tadi?" Suara Hartono menggelegar, menuntut dengan kemarahan.
Tak ada pilihan bagi Juan. "Saya menemukan Julia."
"Di mana? Di mana?!"
Juan memegang lengan ayahnya dengan lembut. "Bapak duduk dulu. Saya bukan penjahat yang harus dibeginikan."
Hartono tersentil. Juan bukanlah anak kecil lagi atau remaja bau kencur. Juan di hadapannya adalah seorang pria dewasa yang memiliki harga diri. Mencengkeram dengan gaya buas dan ditanggapi dengan santai oleh Juan, justru membuat Hartono malu sendiri.
Perlahan Hartono melepaskan cengkeramannya dan terpaksa kembali duduk.
"Jadi, di mana kamu melihat S*ndal itu?"
Juan tak berniat meralat julukan yang ayahnya berikan untuk Julia, meskipun sebenarnya Juan tidak setuju.
"Apa yang akan Bapak lakukan jika nanti Bapak tahu di mana Julia?"
"Saya akan menyeretnya ke ibunya dan menebus semuanya."
"Menebus semuanya bagaimana? Membeli rumah kita kembali? Membeli tanah-tanah dan sawah kita yang dijual untuk pendidikannya?"
"Iya. Itu semua."
"Lalu apa? Lalu apa yang akan Bapak lakukan setelah semua tuntutan Bapak dipenuhi?"
Hartono tercenung. Ia tak punya jawaban lebih dari yang ia inginkan. Ia tak memikirkan sampai sebegitu jauhnya, yang ia inginkan adalah Julia mengembalikan semuanya dan tak peduli setelahnya.
"Keadaan Julia sekarang jauh lebih baik, Pak. Bahkan dia berada sangat tinggi di atas kita. Permintaan Bapak yang sifatnya hanya tekanan materi, dalam semalam mampu dikabulkan Julia. Apakah itu sepadan? Apakah itu sepadan dengan apa yang sudah terjadi terhadap kita selama bertahun-tahun begini?"
Tak ada jawaban. Hartono bisa saja menjawab dengan jawaban 'iya', tetapi ia memilih diam karena putranya pasti lebih paham.
"Kamu ingin Bapak bagaimana?" tanya Hartono serius. Ia merasa yakin jika putranya punya rencana yang jauh lebih baik ketimbang hanya tuntutan harta yang versi putranya akan mudah dipenuhi Julia.
"Kita harus punya rencana. Julia harus menerima pembalasan yang berlipat-lipat. Penderitaan kita bukan hanya perihal materi, Pak."
"Apa kamu punya rencana."
Juan mengangguk. Sebuah rencana yang baru ada, tetapi Juan sudah mengolahnya matang.
***
Julia benar-benar tidak terima dengan sikap dan kata-kata Juan. Tak pernah ada seorang pun yang bisa merendahkannya. Bahkan saat kuliah di Amerika, Julia pernah menabrak seseorang yang sudah meremehkan dan mempertanyakan jati dirinya.
Julia tak ingin diseret lagi pada masa lalunya. Pada kubangan yang baginya hina. Sedari kecil, Julia sangat tahu jika orang tuanya sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi mesin pencari uang, sebagai seseorang yang akan mengangkat kematerian keluarga. Dan sedari kecil, Julia tidak mau menanggung beban itu.
Bagi Julia, jika memang ada tuntutan imbal balik, ia merasa sudah membayarnya lunas. Ia selalu memberikan prestasi baik akademik ataupun non akademik. Prestasi yang selalu membuat ayahnya tertawa lebar di hadapan orang-orang yang mengagumi keberhasilan Julia. Prestasi yang membuat ibunya tersipu malu setiap ada pujian terkait Julia.
Jadi, sekarang Julia tidak mau dituntut ini itu oleh keluarganya terlebih itu dilakukan oleh Juan. Saat ia memutuskan untuk memisahkan diri dengan keluarganya, Julia hanya mengambil apa yang seharusnya memang menjadi bagiannya sebagai anak. Setelahnya, ia tak pernah mengganggu keluarganya.
Julia harus memutuskan rantainya. Ia harus mendepak Juan dari kehidupannya.
Sampainya di perusahaan keluarga Pamungkas, Julia bergegas menuju lantai di mana ruangan Saskia berada. Ia harus bisa membuat Saskia menjauhi Juan.
Tapi, sampainya di lantai ruangan Saskia, Julia tidak langsung keluar dari lift. Julia kembali menutup pintu lift dan langsung menuju lantai puncak di mana suaminya kerja. Julia merasakan bahwa melakukan konfrontasi dengan Saskia saat ini akan menjadi sangat percuma. Lebih baik melalui suaminya yang bisa disetir.
Julia terkejut mendapati Saskia sudah bersama Anggara. Keduanya duduk berhadapa-hadapa di meja kerja Anggara.
Anggara tersenyum lebar, sedangkan Saskia menoleh dengan dingin menatap Julia. Ini tak terduga dan Julia harus cepat membuat rencana baru.
"Hai semua," sapa Julia dengan riang dan sesantai mungkin. Ia berjalan cepat ke sisi suaminya, memberikan ciuman ringan di bibir, dan memberikan pujian.
Saskia yang melihat itu, jadi mulas. Ia sangat tahu kalau Julia sedang bersandiwara. Ia kemudian menyibukkan diri membereskan berkas-berkas di meja, berniat kembali ke ruangannya sendiri.
"Saskia, tadi setelah mengantar anak-anak ke sekolah, saya sarapan di restoran Juan, lho." Julia sengaja mengejutkan Saskia yang sok sibuk dengan berkas-berkasnya. Terselip kesal, karena seolah-olah kehadirannya mengganggu hingga harus buru-buru pingin keluar.
"Oh, iya. Saya lupa kasih tau kamu, Sas," ucap Anggara. "Bagaimana di sana?"
Pertanyaan Anggara yang polos, membuat Julia kesal. Ini seolah sedang memberitahukan ke Saskia kalau Julia ke restoran Juan untuk mencari tahu. Dan Julia bisa melihat ekspresi tidak suka Saskia. Karena sudah dimulai, Julia tak bisa mundur.
Julia duduk di pangkuan suamiya dengan manja dan menatap Saskia dengan senyum termanisnya. "Ternyata berbeda dengan semalam."
"Bedanya?" tanya Anggara.
"Mmm..., gimana, ya?" Julia memberikan mimik wajah cemberut. "Dia tak seakrab dan seramah seperti semalam. Apa karena saya datang tanpa Saskia, ya?"
"Apa urusannya dengan saya? Kalau sampai dia begitu, berarti ada yang salah denganmu," sahut ketus Saskia. Ia tahu, saat ini Julia sedang mencari-cari kesalahan Juan di hadapan kakak tirinya. Dan Saskia bersiap untuk itu.
"Maksud kamu apa? Saya kan baru kenal Juan. Jadi salah saya apa?" tanya Julia selugu mungkin. Ia tak boleh terpancing dengan keketusan Saskia. Suaminya masih berdiri di belakangnya, karena Julia bisa memainkan peranan sebagai si penderita, dan Julia mempertahankan itu.
"Tidak tahu. Nanti saya tanyakan Juan." Saskia mendekap semua berkasnya di d**a.
"Saskia, jika seseorang memiliki dua perilaku bak siang dan malam, kamu harus sudah mawas diri."
"Julia benar, Sas. Orang kok bisa berubah secepat kilat. Pasti ada maksud tersembunyi ia mendekatimu." Seperti biasa, Anggara membeo dengan argumen istrinya.
Saskia sudah biasa begitu. Ini seperti dia harus berhadapan dengan dua orang sekaligus, padahal musuh utamanya adalah Julia.
"Memangnya Juan tadi melakukan apa, sampai-sampai kamu harus mengeluh dan berkesimpulan sendiri?" tanya Saskia pedas.
"Kok, kamu kayaknya kesal. Saya kan omong apa adanya." Julia mengelak. Ini karena ia tak punya jawaban.
"Tapi bukan berarti kamu harus berkesimpulan, 'kan? Kamu belum kenal siapa Juan."
Dia adik saya, t***l! batin Julia.
"Memang. Karenanya saya ingin lebih mengenalinya sebagai calon ipar. Tapi dia justru dingin dan ketus. Seolah-olah kedatangan saya adalah hal yang amat sangat menganggu. Baru juga punya restoran, tapi gayanya selangit."
"Restorannya semewah apa, Sayang?" tanya Anggara.
"Kamu lihat aja sendirilah. Nanti kalau saya memberikan pendapat saya, ada yang gak terima." Julia melirik Saskia dengan jelas.
Saskia geram. Menjadi kebiasaan Julia memberikan gambaran samar yang menjatuhkan setiap apa yang menjadi langkah atau pilihan Saskia. Penjegalan dengan cara yang halus.
"Tapi, kamu memang sangat mengganggu. Pagi-pagi datang ke restorannya dan menemuinya untuk...." Saskia melihat jam tangannya. "Dua jam? Atau bahkan tiga jam di sana? Kamu mau sarapan atau mau mengajak Juan bergibah seperti ibu-ibu komplek?"
"Kok, kamu jadi ketus gitu, Sas? Saya kan bermaksud baik."
Cuih! Baik dari Hongkong, batin Saskia nyinyir.
"Sas. Jaga mulutmu. Julia ini kakakmu," tegur Anggara tidak suka.
Saskia paling tidak suka pembelaan sepihak dari Anggara. Ia berdiri dari kursinya. "Saya akan tanyakan Juan apa yang sudah terjadi. Mendengar dari salah satu pihak yang..., entah apa kepentingannya, akan tidak adil bagi posisi kekasih saya."
Saskia langsung berbalik. Melangkah mantap keluar dari ruangan kakak tirinya. Ia merasakan punggungnya hangat. Saskia yakin, Julia sedang menatapnya dengan amarah karena sudah diabaikan.
***