Aku Malu

1962 Kata
"Besok, besok, kalau Mama suruh ini itu, kamu jangan langsung nurut," ucap Saskia dengan nada kesal. Saskia dan Juan kini berada dalam satu mobil yang sama; mobil Juan. Keduanya akan meluncur ke kantor Saskia. "Terus saya harus bagaimana?" tanya Juan bingung. "Kan, gak mungkin juga saya menolak." "Haaa..., jadi kalau kamu diminta Mama nyemplung ke sumur, kamu mau aja, gitu?" Juan hanya bisa memberikan sengirannya yang seperti kuda jika tertawa. "Gak gitu juga, sih." "Terus?" "Ya.... Kalau itu saya bisa dan tidak memberatkan, kenapa juga saya harus menolak?" "Haaa..., terang aja kamu bilang begitu. Karena mencium saya, itu tidak sulit dan tidak memberatkan," ucap ketus Saskia. Juan mau tak mau hanya bisa terkekeh geli. Kekesalan Saskia, tak membuat Juan ikutan kesal. Justru ia senang melihat Saskia uring-uringan dan dalam dirinya timbul keinginan untuk terus menggoda Saskia. Kalau perlu sampai Saskia marah. "Sebenarnya..., dari pertama datang, saya sih sudah mau menciummu. Biar drama pertunangan kita itu terasa real, nyata. Gak terlihat kaleng-kaleng alias main-main." "Serius?" Saskia mendelik ke Juan yang menyetir dengan pandangan ke depan. Hanya sesekali saja Juan menoleh menatap Saskia. "Iya. Serius. Saya kan harus berakting mesra di depan Julia, musuh bebuyutanmu. Saya kira tadi saya belum terlambat datang. Jadi, saya akan duduk di sebelahmu dan sebelumnya mencium keningmu. Setidaknya begitu rencana awal akting saya." "Dengar, ya Juan. Jangan sekali-kali kamu mencium saya sembarangan! Jangan kurang ajar kamu. Kamu harus profesional sebagai orang yang saya sewa. Jadi, jaga sikap ama saya," tegas Saskia. Meskipun begitu, dalam hati terdalam Saskia ada perasaan malu. Karena sampai saat ini, Juan belum meminta apa-apa sebagai bayaran menjadi tunangan bayangan. Jadi, jika dikata menyewa, belum ada perjanjian materi di antara kedua belah pihak. "Nah! Karena kamu yang galak begini, saya jadi bingung tadinya harus bagaimana pas mamamu memberi saran untuk mencium keningmu agar romantismenya sama dengan masa lalu beliau dengan papamu." "Bingung, bingung juga tetep kamu cium," gerutu Saskia sembari mencebik. "Hehehe..., ya kan namanya juga orang tua yang menganjurkan. Masak iya saya tolak." Saskia merasakan pipinya hangat karena semakin Juan tertawa, semakin jantungnya berdebar. Semakin Juan menggoda, ia semakin salah tingkah. Kemarahannya hanyalah topeng agar perasaannya yang sebenarnya tidak keluar dan terbaca oleh Juan. Saskia melengos dan mengalihkan pandangan ke jalanan di sisinya. Ia pelu pengalihan objek penglihatan agar fokusnya tak melulu ke Juan. Tapi, ia kemudian teringat sesuatu. Kemunculan Juan yang tiba-tiba. Alasan Juan datang pagi-pagi. Padahal tidak ada komunikasi sebelumnya. "Kamu kenapa pagi-pagi datang?" tanya Saskia kemudian. Kangen kamu. "Mengikuti perasaan saja. Perasaan saya mengatakan kalau kamu butuh kehadiran saya." "Br3ngs3k." Kembali Saskia melengos menatap ke sisi jalan. Sedangkan Juan bergulat dengan hatinya. Memaki hatinya yang asal menyeletuk dan membuat bibirnya hampir melontarkan kata-kata yang sebenarnya ia rasakan. Semalaman Juan teringat Saskia saat makan siang bersama. Bola mata Saskia yang bagai magnet. Bibir Saskia yang seolah memanggil-manggil untuk dinikmati kelembutannya. Rambut Saskia yang bermain-main di sekitar wajah Saskia saat angin berembus, semakin menggoda Juan agar membelainya. Hasrat yang terpendam atas Saskia, membuat Juan malu di sepanjang sisa malamnya. Ia tak ingin berpikir m***m untuk Saskia. Gadis itu berbeda dan Juan hanya ingin mengistimewakannya. Juan tak ingin menjadikan Saskia sebagai bayangan sensual. Juan melirik ke arah Saskia yang masih menatap jalanan di sisinya. Melihat kesibukan orang-orang yang berjalan kaki, bersepeda, atau bis-bis trans yang lewat. Juan mengingatkan dirinya untuk profesional. Menggoda Saskia adalah bagian kesenangan pribadi dan itu harus disudahi. Karena ini bisa gawat bagi perasaan Juan sendiri. "Saya hanya berpikir, kalau saya harusnya bisa memberikan pemandangan yang alami sebagai pasangan kekasih. Sebagai tunangan." Ucapan Juan mengalihkan tatapn Saskia yang kini menoleh menatap Juan. "Kata seorang teman, kekasih apalagi tunangan, sesekali akan mengantar dan menjemput. Makanya saya tadi datang pagi-pagi ke rumahmu. Saya kira Julia masih duduk di kursinya. Dengan begitu saya bisa membantumu meyakinkan Julia bahwa kita sebanar-benarnya tunangan." Dan kehadiranmu telah membantu situasi saya yang terjepit, batin Saskia dengan senyum dalam hati. "Yah..., Julia masih meragukan hubungan pertunangan kita. Tadi pagi saja, dia sudah dengan tegas tak mengakui pertunangan kita karena tidak dihadiri kedua orang tua kita. Saya sudah kebingungan bagaimana meyakinkannya. Beruntung kamu datang. Terima kasih." Ucapan terima kasih Saskia, tak membuat Juan senang. Ini semacam ucapan atasan kepada bawahannya, yang jika bawahannya bisa membantunya, maka Saskia akan dengan formal mengucapkan kata terima kasih. Namun, meski tak suka, Juan juga tak bisa apa-apa. Kenyataannya, hubungan dirinya dan Saskia adalah hubungan yang dilandasi perjanjian yang didalamnya terkandung materi. Dan jika ditarik garis profesionallitas, maka kedudukan Juan memang adalah bawahan. Juan mengembuskan napas lelah. Biar bagaimana pun, dia harus bersikap profesional. Tak boleh terbawa perasaan alias baper. "Jadi, karena itu suasananya tegang waktu saya masuk?" Saskia mengangguk. "Julia bilang kalau siang nanti Onel akan datang dan mengajak saya untuk berasama-sama mencari kado untuk Mama. Saya menolak karena saya bilang kalau saya akan pergi dengan tunangan saya. Dari situ Julia ngomel-ngomel." Ahhh..., andai benar saya tunangan kamu, keluh Juan. Cara Saskia menyatakan sikapnya perihal Juan sebagai tunangan, membuat d**a Juan membuncah. Ia kembali senang dan kepalanya kembali mengingatkan Juan akan statusnya. "Kalau begitu, nanti siang, saya akan datang ke tempatmu. Kita cari kado buat Tante, sama-sama." "Kalau ada Onel, bagaimana?" "Kemarin siang kan ada Onel. Kenapa untuk hari ini jadi bingung. Kita pergi ya pergi saja. Kalau Onel mau ikut ya biarkan saja." "Kok, biarkan saja?" tanya Saskia bingung. "Iya. Biarkan saja dia ikut. Kan lumayan buat ngusir lalat atau nyamuk saat kita jalan." Saskia tertawa geli. Ia suka dengan cara Juan menyelesaikan masalah. Kekaguman kembali menyusup di hati Saskia. Sayangnya, ini semua sandiwara dan Saskia menjadi sendu mengingat itu. Juan yang merasa perubahan sikap Saskia, jadi penasaran. "Kenapa?" tanya Juan. "Kamu gak mau Onel jadi obat nyamuk?" "Ini gak ada kaitannya dengan Onel," jawab Saskia sewot. "Trus?" "Gak ada apa-apa." "Kalau gak ada apa-apa, kok tiba-tiba aneh?" "Kalau dibilang gak ada apa-apa, ya berarti gak ada apa-apa." Saskia melengos. Kembali mengalihkan tatapannya keluar. Cara Juan bertanya membuat jantungnya kebat-kebit. Juan terlalu peduli padanya dan Saskia baru ini merasakan kesenangan diperhatikan seperti itu meski hanya berupa pertanyaan. Sebelumnya tak ada pria yang mampu menggugah perasaannya. Perhatian-perhatian para pria selalu ditanggapi sinis oleh Saskia karena Saskia beranggapan mereka begitu ada maunya. Berbeda dengan Juan. Saskia justru mengharap Juan terus seperti ini. Peduli padanya dan perhatian untuk dirinya. Hanya untuk dirinya. Mungkinkah? tanya batin Saskia dengan sendu. Juan sendiri tidak nyaman dengan perubahan sikap Saskia yang aneh. Ia pikir ia sudah memberikan solusi. Tetapi reaksi Saskia justru tidak jelas. Juan jadi bingung sendiri dan mulai bertanya-tanya dalam hati. Apakah Saskia gak suka saya posisikan Onel sebagai orang asing? Kalau Saskia gak suka ada orang lain menjadikan Onel sebagai pengusir nyamuk, lalu untuk apa sandiwara ini ada? Atau.... Juan menatap wajah Saskia yang termenung diam menatap keluar. Saskia terlihat seperti patung dewi-dewi dalam posenya berpikir. Begitu indah sekaligus misterius. Ada yang sedang Saskia pikirkan. Jangan-jangan..., sebenarnya Saskia menyukai Onel? Tapi karena yang menjodohkan adalah Julia, maka Saskia ingin membatalkannya sebagai bentuk penolakan atas semua yang dilakukan Julia. Atau.... Juan teringat saat pertama kali kenal Saskia. Ada insiden di mana dirinya dan Saskia memergoki Onel bersama wanita lain di dalam kamar hotel. Sandiwara ini hanya untuk  Onel. Untuk melukai perasaan Onel yang sudah berkhianat. Saskia menyukai Onel! Pikiran Juan membuat Juan kecewa. Perasaan kecewa yang tidak pada tempatnya. Sejak awal Saskia memang bukan untuk dirinya. Ia hanya melakukan peranan yang diminta Saskia dan dirinya membutuhkan Saskia sebagai perantara atas pelampiasan dendamnya terhadap Julia. *** Kemarin siang Hartono sudah dijelaskan perihal waktu makan dan di mana tempat makan bagi para pekerja di keluarga Pamungkas. Hartono menyempatkan bertanya perihal bagaimana perawat Pamungkas makan. Pelayan menjelaskan bahwa akan ada yang mengantarkan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk si perawat. Karena Soraya belum ada kepentingan untuknya dan suasana di depan sibuk dengan kesibukan yang Hartono tidak tahu harus apa. Maka diambillah kesempatan Hartono untuk beraksi. Ia cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Hartono kemudian menghampiri pelayan yang akan membawakan sarapan untuk perawat Pamungkas. Dengan alasan sekalian jalan menuju ruang utama untuk menemui Soraya, Hartono menawarkan untuk membawakan sarapan untuk Reni. Untungnya si pelayan sangat tak keberatan. Karena hari ini hari sibuk, jadi ketika ada bantuan, maka si pelayan tak menyia-nyiakannya. Diserahkan nampan makanan ke Hartono dengan rela juga tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Tak lupa si pelayan menjelaskan bahwa nampan makanan cukup diletakkan di meja luar kamar Pamungkas. Nanti Reni akan keluar sendiri dan makan. Pamungkas diingatkan untuk tak mengetuk agar tak menganggu istirahat sang Tuan Besar. Hartono mengangguk memahami. Namun, sampainya di depan kamar Pamungkas, setelah meletakkan sarapan pagi yang lengkap untuk Reni, memutuskan tak langsung pergi seperti kata pelayan. Ia memilih duduk dan diam menunggu. Perkiraannya, tak lama lagi, Reni akan keluar. Gadis itu pasti sudah memahami waktunya makanan diantar dan tersedia. Dugaan Hartono benar. Belum ada lima menit Hartono menunggu, pintu kamar Pamungkas terbuka dan Reni keluar. "Pak Hartono...!" Reni benar-benar terkejut ada yang menunggunya di luar kamar Pamungkas. "Pegi, Mbak Reni. Saya tadi bantu bawakan sarapannya Mbak Reni," ujar Hartono yang langsung berdiri dan mempersilakan Reni duduk. Perasaan Reni langsung tidak karu-karuan. Ia disapa dengan lembut oleh seorang pria di awal hari. Diperlakukan dengan sangat sopan bagai dirinya adalah seorang yang istimewa. Reni benar-benar melambung. Tak pernah ada seorang pria yang memperlakukannya seistimewa ini. Reni duduk di sofa panjang yang di depannya sudah ada meja, yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang sofa. Hartono langsung duduk di sebelah Reni dan membantu melepaskan perekat plastik yang digunakan sebagai pelindung makanan agar terhindar dari lalat dan debu. "Silahkan sarapan dulu, Mbak. Biar ada energi menjaga orang sakit." Hartono menawarkan sembari meletakkan sendok dan garpu di atas piring nasi. "Terima kasih, Pak. Jadi merepotkan Pak Hartono," ucap Reni dengan senyum terbaiknya. "Saya gak repot, kok. Lagi pula Ibu Soraya juga belum butuh bantuan saya. Ayo, Mbak dimakan sarapannya. Atau mau saya suapin?" "Ah, Pak Hartono genit lagi, ih." "Siapa yang genit. Saya seriusan, lho. Kalau Mbak Reni males makan, biar saya suapin aja." "Memangnya, Pak Hartono gak malu kalau keliatan orang sedang suapin saya?" "Kenapa musti malu? Yang ada mereka iri melihatnya. Mau saya suapin?" tantang Hartono. "Gak usah, ah. Saya yang malu." Reni tertawa geli dan mulai menyuapi makanannya. "Mbak Reni harus habiskan makanannya. Mbak Reni kan butuh tenaga lebih karena menjaga Bapak selama dua puluh empat jam." "Sebelumnya, saya gak diminta jagain Bapak selama ini, Pak," ucap Reni di sela-sela makannya. "Saya jagain Bapak dari jam tujuh pagi sampai jam tujuh malam atau sampai Bu Julia pulang kerja." "Oh, ya? Terus?" "Gak tau saya kenapa, yang jelas, beberapa malam lalu, Bu Julia menawarkan saya kenaikan gaji sampai tiga kali lipatnya. Dengan syarat, saya tidak pulang-pulang." "Jadi tidak ada liburnya?" "Ada, Pak. Hari Minggu saja. Tapi itu saya pulang jam tujuh pagi dan kembali Senin, jam tujuh paginya." "Pasti berat, ya." "Berat gak berat, sih, Pak. Tapi, dari pada kembali kerja di rumah sakit, kerja di sini masih lebih enak." "Enaknya bagaimana?" "Gajinya besar, pekerjaannya ringan." Reni tertawa terkekeh diikuti Hartono. "Memangnya, Bapak gak rewel?" tanya Hartono hati-hati. "Gimana mau rewel, wong Bapak Cuma tidur." "Kalau Bapak tidur, Mbak Reni ngapain?" "Gak ada, Pak. Paling mainan HP." Hartono tersenyum. Reni pasti bosan. Kesempatannya masuk lebih besar. "Kalau bosan, telpon saya, ya, Mbak. Nanti saya temani biar gak bosan dan kesepian." Kata kesepian, menggelitik perasaan Reni. Ada pengharapan dari kata itu sebagai bentuk kehangatan untuk hatinya juag dirinya. Reni menatap Hartono dengan caranya yang berbeda. Membayangkan dirinya berada pada d**a Hartono yang bidang. Lelaki tua yang tak tua. Reni mengangguk. Dan Hartono senang, setidaknya untuk pagi ini dia mendapatkan informasi. Bahwa Julia sedang pada masa kekhawatirannya. Kemungkinan memperketat penjagaan atas Pamungkas dilakukan sejak Juan masuk ke dalam rumah. Julia pasti tidak ingin kecolongan. Kalau sudah begini, semakin jelas, bahwa ada hal jahat yang Julia lakukan pada keluarga Pamungkas. Dimulai dari Pamungkas yang Julia lumpuhkan. Benar-benar anak gadis yang mengerikan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN