Jarum jam dinding berdetak seirama dengan ketegangan suasana yang tercipta.
Terhitung sudah tiga puluh menit semenjak Future mengatakan apa yang terjadi dengannya di depan mini market tadi, sikap Alan berubah 180 derajat dari sebelumnya. Yang tadi cerewet dan nyinyir kini, pemuda 22 tahun itu justru sibuk mengunci mulutnya.
“Alan, apa terjadi sesuatu denganmu?”
Alan menggeleng, “Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Sikapmu jadi aneh. Kau jadi lebih pendiam.”
Begitukah? Padahal Alan tidak merasa sedang seperti itu. Ia hanya sedang berpikir. Iya, memikirkan aduan Future barusan.
Tidak bisa dibilang barusan juga sih, keduanya bahkan nyaris seperti berada di tempat asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Baik Future maupun Alan senantiasa diam.
Tiga puluh menit.
“Selain signal itu, apa kau mendapatkan petunjuk lain lagi?” Kali ini Alan buka suara.
“Petunjuk mengenai asalnya signal tersebut tidak, tapi sistemku bisa meraba beberapa meter dari bekas signal yang pernah terhubung denganku dalam beberapa saat ke depan.”
Tring!
Mata lelah Alan membelalak lebar. Terbuka beberapa inchi seakan melupakan rasa kantuknya yang mulai menghampiri.
“Kenapa tidak bicara dari tadi Future! Astaga!!!” Di atas sofa maroon tersebut Alan misuh-misuh.
“Kalau begitu cepat aktifkan sistemmu. Cari tahu mengenai signal asing tersebut, masih bisa kan?”
“Iya, sebelum lebih dari tiga jam masih bisa,” jawab Future santai.
Santai yang menyiratkan makna tertentu. Santainya terlihat yakin namun pasti. Tidak terburu-buru dan terjamin.
Ya, kurang lebih seperti itulah sosok Future.
“Yasudah, kalau begitu cepat aktifkan sistem pelacakkanmu.” Dan justru Alan yang terlihat gegabah tidak sabaran di sini.
Dengan cepat, Future melaksanakan apa yang Alan katakan. Bunyi klik, yang dihasilkan dari pergelangan tangan Future menandakan bahwa ia mulai mengaktifkan sistem sensornya.
Kode-kode dan berbagai macam nomor beserta huruf berbaur menjadi satu. Ini adalah hal yang biasa Andrew kerjakan. Keahlian yang Future miliki benar-benar setara dengan sahabatnya yang suka bergonta-ganti wanita itu.
Namun, di detik yang sama Alan menjentikkan salah satu jarinya.
“Ah iya! Andrew pasti bisa diandalkan,” ucapnya semangat.
Membiarkan Future yang masih tampak serius mengutak-atik smart screen di pergelangan tangannya, Alan pun berinisiatif mengambil ponsel genggamnya untuk menghibungi Andrew.
Bagaimana pun Andrew tetaplah seorang hacker sejati yang keahliannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Serius, begitu-begitu Alan sayang kok dengannya.
Sayang sebagai sahabat bukan sayang yang lainnya.
“Halo, Al. Ada apa?” Suara di seberang sana terdengar.
“And, kau bisa ke rumahku sekarang?”
Sahutan Andrew adalah sebuah decakan.
“Harus sekarang banget? Besok saja ya, aku sedang mengerjakan proyekku, Al.”
“Sketch robot abal-abalmmu tidak terlalu penting dibandingkan dengan ini Andrew. Urgent! Cepat ya kutunggu sekarang.”
Panggilan berakhir. Alan yang memutus sambungan nirkabel itu lebih dulu.
Sementara di seberang sana, Andrew misuh-misuh dengan muka masam. Melirik jam di dinding menunjukkan waktu hampir tengah malam.
“Ck, ini yang benar saja dong si Alan sialann itu. Sebentar lagi mampir ke angka dua belas itu jarum jamnya astaga,” omel Andrew tidak terima.
Padahal ia sedang fokus bin serius. Di hadapannya sebuah sketchbook terbuka lebar menampilkan rancangan kasar robot-robot lengkap dengan rangkaian penyusunnya.
Kabel-kabel berbagai macam ukuran dan pertimbangan daya serta kekuatannya secara menyeluruh.
Tidak hanya itu, Andrew bahkan sudah setengah jalan mengerjakan tiap rinci sistem-sistemnya. Terlihat dari layar laptopnya yang menampilkan kode-kode hack sangat banyak.
Data-data rumit yang ampuh membuat Alan sakit kepala. Ya, setidaknya begitu menurut sahabatnya itu. Alan sudah sering kali berkata demikian padanya.
Pesan teks baru, masuk di aplikasi hijau milik Andrew. Sebelah tangannya yang kosong merambat mengambil ponselnya di atas meja.
“Siapa lagi nih!” gerutunya jengkel.
From : Alan Sialan
Titip kebab Pak Hadi ya, And. Kutunggu, sekarang!
“Ck!” Andrew berdecak part 2.
“Sebenarnya ada apa sih?! Kenapa tidak bicara di telepon saja coba!” Masih menggerutu.
Dengan raut wajah yang semakin suram, dan perasaan jengkel bukan main, Andrew beranjak dari meja belajarnya. Menutup laptop yang tadinya menyala, dan ia masukkan ke dalam ransel kesayangannya.
Tak lupa pula, turut menyelipkan sketchbook tercinta.
Ketika melirik ke arah weker kecil di dekat nakasnya, Andrew menghela napas panjang. Berpadu dengan kesal.
Ia bahkan sempat bergumam, “Jam-jamnya para hantu dan sejenisnya berkeliaran, aku juga akan berkeliaran.”
Karena semua jarum jam berhenti di angka 12. Tepatnya, 00.00 WIB.
“Tidak ada bedanya aku dengan para ghost-ghost itu. Ck, awas saja kau Alan sialann!”
Waktu lemburnya yang berfaedah jadi terganggu karena sahabatnya itu. Andrew jadi menyesal mengangkat panggilan dari Alan tadi. Tahu begitu ia biarkan saja sampai besok pagi ponselnya berdering terus-terusan.
Bila perlu akan ia nonaktifkan benda pipih pintar tersebut.
Hum ... sayang, waktu tidak bisa diputar kembali.
Oke, ini mulai berlebihan. Pikiran Andrew yang tadinya sangat fokus menjadi buyar hingga memunculkan praduga-praduga yang nyeleneh.
Well, Alan pun cukup menyebalkan. Oh, bahkan sangat menyebalkan!
Andrew garis bawahi itu.
“Kebab lagi ikut dibawa-bawa, astaga!” omelannya tidak habis-habis.
Tak membutuhkan lipstik, bedak, dan lain sebagainya. Andrew hanya menyambar jaket denimnya yang menggantung di dekat lemari pakaiannya.
Kemudian menyugar rambut dengan jari tangan sekadarnya. Parfum pun tak ia indahkan. Andrew cukup percaya diri dengan aroma tubuhya yang harum semerbak bak bunga kamboja.
Agak seram memang, tapi ya begitulah Andrew.
Terakhir, saat melewati meja pantry Andrew sambar dompet dan kunci motornya. Selesai, ia hanya perlu mengendarai kendaraan roda dua itu sampai ke rumah sobatnya yang mirip Bajang itu. Seperti itu Alan di mata Andrew malam ini.
***
Melupakan sejenak kekesalan Andrew yang dipaksa untuk keluar tengah malam oleh Alan, di sebuah rumah elit, Mr. Jazz tengah menyesap candunya di ruangan pribadi miliknya.
Segelas minuman mengandung kafein tanpa sugar, adalah hal favoritnya. Dan akan menjadi hidangan wajib untuknya.
“Aakhh ...”
Seulas senyum tipis terpatri di kedua sudut bibirnya, membentuk pola bagus yang cantik.
“Sebentar lagi aku akan menjadi manusia paling berpengaruh di dunia ini. Haha ...”
Duduk di kursi goyang yang mahal, Mr. Jazz tampak sangat bahagia.
“Tidak akan ada yang bisa mengalahkanku, karena aku memiliki Megan dan Benzie di sisiku. Hahaha ...” Lagi-lagi tawanya terlihat mengerikan.
Dourelio Jazz Vranks, atau yang lebih akrab disapa dengan Mr. Jazz itu pun menengguk habis sisa americanonya.
Malam yang dingin namun sejuk. Di batas dinding kaca yang dapat menampilkan langsung keadaan luar di bawah sana, pria berkepala tiga itu mengambil ponselnya dari dalam saku.
Mendial-up satu kontak yang menjadi kartu rahasianya.
“Megan dan Benzie memang bagus tapi, ditambah satu orang lagi juga tidak akan kalah seru. So, lets see,” gumamnya bangga.
Dan nada panggilan pun tersambung.
“Halo.”
***