Setelah mandi dan tidak menemukan kakaknya di kamar, Dara memakai celana jeans hitamnya yang seperti kulot, dipadukan kaus berwarna putih yang tidak ketat namun berbentuk crop top sehingga perutnya yang rata bisa terlihat jika tangannya sengaja diangkat ke atas.
“Yes!! Potongannya lumayan!” Sedang memesan ojek online, Dara kegirangan ketika ia mendapat promo dari aplikasi.
“Apa yang membuat kamu berisik pagi-pagi?” Ibunya, Gina Mahira memotong ekspreksi senang Dara.
Dara langsung menjawab, “Aku dapet promo ojek online.”
Gina yang sedang meminum tehnya terdengar tertawa—mengejek. “Kamu senang karena dapet diskon ojek online? Lihat Dila, karena kakak kamu memegang kartu kredit yang diberikan calon suaminya, Dila tidak perlu mencari promo untuk ojek online. Seperti orang tidak mampu saja.”
“Lumayan dapat potongan sepuluh ribu, Ma.” Dara tidak akan tersinggung dengan kata-kata ibunya. Ia membalas dengan santai. “Kemarin aku malah dapet potongan tujuh puluh persen. Keren, kan?”
“Hanya mendapat promo ojek online kamu bilang keren?” Gina mendengus.
“Itu bukan ‘hanya’, Ma. Menurut aku, keren. Karena promo nggak bisa didapet setiap hari. Kalau Mama mau tips dapet promo ojek online, bilang aku aja.”
“Konyol.” Gina menjawab. “Dengarkan baik-baik. Selama ini Dila tidak memperdulikan tarif ojek online, karena Arik memberikannya kartu kredit dengan limit yang banyak. Itu tandanya apa, Dara? Benar, kamu harus mencari calon suami seperti Arik.”
“Nggak tertarik.” Dara menganggkat bahu acuh tak acuh.
“Kamu lebih senang bergaul dengan pria yang memiliki banyak tattoo di lengannya. Apa pacar kamu pernah masuk penjara? Dia seperti anak berandalan.”
Dara mengerutkan keningnya. Ia tahu ibunya sangat tidak menyukai Evan sejak pertama kali pria itu Dara kenalkan saat makan malam. Respon Gina tentunya sangat berbeda saat pertama kali Arik diajak satu meja makan.
Di mata Gina Mahira, Arik seperti berlian sedangkan Evan adalah kotoran pada sepatunya.
Kata ibunya, gadis seperti Dara memang cocoknya dengan kelas seperti Evan.
Dara bertanya-tanya, di mata ibunya, memang ia gadis seperti apa?
“Evan baik, Mama.” Kebahagiaan kecil Dara yang semula dapat promo ojek online kini langsung luntur karena kata-kata ibunya sendiri.
“Iya, terserah kamu. Asal jangan bawa pacar berandalan kamu itu ke pesta pernikahan Dila.” Itu seperti sebuah peringatan keras dari Gina. “Dan kenapa kamu tidak mau menurut untuk mengganti warna rambut kamu, Dara?”
“Hari ini aku mau ke salon.” Dara menjawab sekenanya. “Jangan marah-marah terus, Ma. Nanti perawatan wajah mama yang berjuta-juta pakai uang kak Arik itu gak berguna lho.”
“Dara!”
“Bye, Mama. Ojek online aku yang dapat promo potongan sepuluh ribu rupiah udah ada di depan pagar.” Semakin ibunya meremehkan dirinya, semakin Dara ingin menunjunjukkan pemikiran ibunya yang tidak bisa menghargai kebahagiaan orang lain.
Dara pernah membaca sebuah kalimat, entah di mana. Begini; jika kamu melihat seseorang bergembira akan sesuatu, lalu kamu membuat dia merasa bodoh karena bergembira, kamu adalah jenis manusia yang paling buruk.
Sebenarnya Dara tidak mau menghakimi ibunya sendiri, namun ibunya selama ini juga selalu menghakimi Dara.
Apa yang diajarkan, itu yang ditiru. Benar, kan?
Dara memakai helm kesayangannya sehingga bapak ojek online tidak perlu menyodorkan helm untuknya. Dara ke mana-mana memang memakai ojek online atau motornya sendiri jika tidak sedang malas menyetir. Sehingga ia membawa helm untuk kenyamanan meskipun dengan ojek. Helm yang ia beli sendiri dengan cara menabung.
“Makasih, Pak.” Dara turun dari motor ojek ketika sudah sampai di pintu masuk apartemen sederhana milik Evan.
Tak lupa dara memberikan uang tip untuk supir ojek online. “Ini untuk Bapak, semangat kerjanya, Pak!”
“Terima kasih ya, neng.”
“Sama-sama, Pak.”
Dara melepas helm-nya sebelum masuk ke lift menuju unit apartemen milik Evan.
Jika Dara perlu menjelaskan secara singkat tentang Evan Prama, itu cukup mudah. Evan adalah pemilik Epione, sebuah kelab tempatnya bekerja. Evan membangun sendiri bisnisnya. Meski kelabnya tidak besar, tetapi pria itu memiliki pengunjung tetap yang loyal. Evan adalah pria yang menyenangkan. Senang membuat lelucon, pintar memasak, dan juga pintar mengatakan hal-hal yang nakal namun tetap dalam batas wajar. Singkatnya, Dara senang didekat Evan.
Saat pertama kali Evan menunjukkan ketertarik kepadanya, Dara bisa menangkap jelas sinyalnya. Evan adalah pria yang sangat terang-terangan jika sedang menyukai seseorang, dan Evan akan menunjukkannya. Berkata langsung kepada inti; bahwa pria itu akan mendekati Dara sampai Dara menjadi miliknya.
Dara tidak keberatan.
Evan adalah pria yang mudah disukai, Dara akui itu. Sikapnya lembut, meski wajahnya terkesan garang. Seluruh tattoo di tubuhnya bukan berarti sebuah tanda bahwa Evan adalah pria kasar. Sama sekali tidak. Bahkan Evan membayar pajak dengan jujur. Usahanya legal.
Namun, tentu saja itu tidak cukup untuk Gina Mahira. Bagi Gina, yang masuk ke dalam standarnya adalah pria-pria eksekutif berjas mewah seperti Arik Dierja Hartono. Mau sesopan apa pun Evan, Gina tidak akan bisa menerimanya. Bagi Gina, Evan hanya pria urakan yang kapan saja bisa berurusan dengan polisi dan masuk penjara. Ibunya masih baik tidak mengatakan Dara juga akan masuk penjara jika bergaul dengan Evan.
Dara sudah berada di depan pintu unit apartemen Evan. Ia tidak perlu mengetuk. Di samping tahu kode masuk, Dara sengaja ingin memberikan kejutan karena datang pagi-pagi.
Evan pasti masih tidur karena pulang pagi setelah mengurus kelab. Pria itu senang menutup kelabnya dengan tangannya sendiri. Benar-benar pekerja keras.
Detik ini Dara akan mengendap-endap ke atas kasur lalu membangunkan pacarnya. Mungkin dengan gelitikan atau kecupan di pipi?
Satu kelebihan Evan yang lainnya yang membuat Dara kagum adalah pria itu tidak otoriter atau berlagak berkuasa.
Meski pria itu adalah pacarnya, namun di tempat kerja pria itu adalah boss-nya. Dan bukan hanya kepada Dara saja, Evan menganggap semua karyawannya adalah keluarganya.
Evan bukan tipe atasan yang akan marah-marah jika karyawannya terlambat, atau boss yang gampang memotong gaji untuk urusan sepele. Sehingga orang-orang yang bekerja dengan Evan menjadi menghormatinya, bukan takut kepadanya.
Menurut Dara, semua orang bisa menjadi boss namun tidak semua orang bisa memimpin.
Karena Dila akan menikah, Dara diberikan cuti seminggu oleh Evan. Sedangkan di tempatnya menjadi tatto artist, Dara mulai cuti hari ini sampai dua hari ke depan. Dara akan langsung pulang setelah pemberkatan kakaknya.
Setelah memasukkan kode apartemen, Dara membuka pintu unit pacarnya. Ia tahu arah kamar Evan sebab ia beberapa kali menginap di sini. Entah benar-benar tidur karena kelelahan kerja, atau menginap untuk... kau taulah, kegiatan orang dewasa.
Sesuai prediksi Dara, Evan memang ada di tempat tidur.
Namun, pria itu tidak sendiri...
Dara berdiri terpaku menyaksikan Evan yang berada di atas seorang wanita yang Dara kenali. Sharon membuka kedua kakinya, meneriakkan nama Evan, dan lelaki itu terus bergerak untuk memasuki Sharon. Sama-sama mendesah, seolah kegiatan mereka sangat menyenangkan.
Tubuh keduanya tidak tertutup selimut sehingga Dara bisa melihat dengan jelas penyatuan itu. Suara menjijikan saat tubuh mereka berdua bergesekan—saling memuaskan.
Sharon yang semula hanya fokus menatap mata Evan saat pria itu menyetubuhinya, melirik ke arah pintu dan langsung menepuk-nepuk tangan Evan ketika melihat Dara. “Stop! Evan, stop!”
Evan mengerutkan kening, lalu ia mengikuti arah pandang Sharon. Sama terkejutnya.
“Dara, baby,” Evan menjauhkan dirinya dari Sharon. Langsung memungut celana yang tergeletak di lantai dan memakainya. “Baby, kamu kenapa di sini? A-aku bisa jelasin.”
Dara mengerutkan kening. Ia sangat enggan mendengar kata-kata Evan yang menurutnya tidak masuk akal.
Apa yang perlu dijelaskan? Semua sangat jelas. Pacarnya dan temannya sedang behubungan seks di depan matanya sendiri. Dara bahkan tidak tahu bagaimana mengutarakan perasaannya sekarang.
“Baby...” Evan mencoba menggapai tangan Dara, namun gadis itu mundur dengan cepat.
“Sejak kapan?” Dara bertanya kepada Evan dan Sharon, bergantian. Sekuat tenaga nadanya tidak pecah. “Jangan dijawab. Kalian pasti punya alasan. Bla... bla... bla... oke, lanjutin aja.”
“Dara,” Evan menangkap pergelangan tangan gadis itu. “Dengerin penjelasan aku dulu.”
“Aku nggak perlu dengerin penjelasan palsu dari orang yang selingkuh dengan teman aku sendiri,” kata Dara, sambil menatap mata Evan. “Aku berhenti dari Epione, dan berhenti jadi pacar kamu juga. Dasar pria menjijikan.”
Lalu Dara pergi dari sana, mentulikan telinganya dari Evan yang terus memanggil namanya. Meminta maaf, merasa bersalah.
Langkahnya kosong, hatinya seperti ditarik paksa, pikirannya runtuh, namun ia tidak menangis sama sekali.
Dara tidak akan menangisi pria sialan yang sudah mengkhianatinya. []