08. Calon Adik Ipar

1414 Kata
Menurut Dara, orang yang menghkianati pasangannya, adalah jenis manusia yang tidak akan pernah ia maafkan. Apa pun alasannya, perselingkuhan adalah hal yang menjijikan. Jika memang sudah tidak mau, sudah bosan, atau sudah tidak sayang, lebih baik selesaikan dahulu dengan pasangan terlebih dahulu, kemudian setelah itu terserah ingin melakukan apa. Sejak dulu, Dara tidak pernah posesif kepada mantan pacarnya, atau menyusahkan mantannya yang sudah bosan. Ia bukan tipe perempuan yang akan mengemis jika diputuskan saat masih sayang. Meski sakit hati, Dara akan melanjutkan hidupnya. Dan, jika pacarnya ketahuan berkhianat, tidak ada kata maaf bagi Dara. Dara pernah menangis seperti ada keluarganya yang meninggal ketika untuk pertama kalinya ia diselingkuhi. Saat itu Dara sedang menyelesaikan skripsinya, dan pacarnya yang sialan memakai itu sebagai alasan. Dara sibuk, tidak ada waktu untuknya, sehingga pria sialan itu mencari wanita yang bisa diajak haha-hehe. Dara masih ingat ketika mengetahui mantan pacarnya–semasa kuliah–berselingkuh dengan gadis lain, ia pergi ke halte Vale Medical Center tempat kakaknya bekerja. Dara hanya ingin bertemu kakaknya, sehingga ia menunggu Dila selesai bekerja. Namun saat itu Dara lupa, bahwa beberapa hari belakangan ini ada pria yang mengantar kakaknya pulang, sehingga bisa dipastikan hari ini Dila juga akan pulang bersama Arik Dierja Hartono yang Dara juluki ‘Si Pria Lexus’. Tak lama kemudian, sebuah mobil Lexus berwarna hitam yang mengkilap–yang Dara kenali karena mobil mewah itu setiap hari mengatar Dila–berhenti di halte, tepat di depan Dara yang menangis berantakan. Kaca mobil terbuka, menunjukan pengemudinya, tentu saja Si Pria Lexus. “Kamu adiknya Dila, benar?” tanyanya kepada Dara dengan kerutan di keningnya. Dara langsung menyeka wajahnya yang basah menggunakan ujung jaketnya. Gadis itu mengangguk kepada Arik. “Iya.” “Kamu menunggu Dila?” Suasana hati Dara sedang tidak bagus. Ia baru saja mengetahui pacarnya selingkuh–atau lebih cocok disebut mantan pacar sebab Dara juga diputuskan. Sehingga menurut Dara, pertanyaan Arik itu biasa saja namun emosinya belum stabil. Dara menjawab Arik, “Iyalah, nunggu kakak saya. Masa nungguin Anda?” Arik menaikkan alisnya mendengar jawaban agak judes dari adiknya Dila. “Kamu menunggu Dila sampai menangis?” tanya Arik lagi. Entahlah mengapa ia ingin tahu. Mungkin karena Dara adalah adik Dila, dan Arik ingin terkesan memperdulikan keluarga wanita yang ia sukai. Arik sedang berusaha mengambil hati Dila. “Bukan.” Dara menggeleng. Gadis itu memakai ujung jaketnya lagi untuk menyeka air mata yang terus turun. Dara mulai merasa konyol karena dirinya menangis di halte. “Pakai ini,” Arik menyodorkan tisu dari kaca mobil. Dara yang duduk di halte, hanya menatap Arik dan tisu yang disodorkan pria itu. “Nggak perlu, ujung jaket saya udah cukup.” Karena berpikir adiknya Dila tidak akan berhenti menangis dan gadis itu terlihat sangat sedih, akhirnya Arik membawa sekotak tisu itu lalu keluar dari mobilnya untuk menghampiri Dara. Arik Dierja Hartono adalah pria dewasa yang memiliki jabatan di Vale Medical Center. Jas mahalnya berbanding terbalik dengan Dara si mahasiswi semester akhir yang hanya menggunakan jaket tipis berwarna hitam dan juga celana olahraga berwarna senada. Rambut gadis itu dikuncir satu, berantakan. Jangan lupakan mata sembabnya. “Ambil ini.” Arik berdiri di hadapan Dara menyodorkan sekotak tisu. “Yaudah, kalau maksa.” Dara mengambil dua lembar tisu, langsung ia pakai untuk air matanya yang terus ke luar. Arik duduk di sebelah Dara, sekotak tisu yang ia bawa dari mobilnya menjadi penyekat antara dirinya dan gadis itu. “Kenapa Anda nggak balik ke mobil?” Dara kira Arik hanya akan memberikannya tisu. “Saya menunggu kakak kamu,” kata pria berjas itu. “Dila ada pasien darurat yang harus ditangani.” “Ohh…” Dara mengangguk mengerti. Mungkin sekarang ia harus memikirkan bagaimana caranya pulang. Karena ia harus segera pergi sebelum Dila datang. Dara tahu Si Pria Lexus yang duduk di sebelahnya ini sedang mendekati kakaknya, dan Dara tidak mau merusak usaha Arik. Karena jujur saja, Dara juga setuju jika Dila bisa memiliki hubungan spesialdengan Arik. Bukan karena lelaki itu punya Lexus dan sudah dipastikan datang dari keluarga kaya raya, namun Arik terlihat bisa bertanggung jawab. Dila membutuhkan sosok seperti itu. “Boleh minta tisunya lagi?” Dara melirik sedikit kepada Arik, lalu kepada tisu di artas kursi. “Sure.” Arik mengangguk. “Pakai aja sepuas kamu.” “Terima kasih.” Dara mengambil lagi tisunya, kali ini ia pakai sebagai media tampung untuk ingusnya. Tanpa canggung sama sekali, Dara membersihkan hidungnya di dekat Arik. Arik mengerutkan kening dengan kelakuan Dara. Arik dibesarkan dengan keluarga yang sangat menjunjung tinggi sikap serta adab. Di lingkungannya, hal seperti ini tentu saja tidak biasa. Agak kurang sopan. Seharusnya Dara memalingkan wajahnya agar orang di dekatnya tidak merasa terganggu. Arik tahu ada orang-orang yang tidak gengsian–apa adanya, tetapi orang-orang seperti itu harus tahu juga di mana, bagaimana, dengan siapa, menempatkan diri. Dara tampaknya tidak terlalu peduli. Selagi menurutnya hal itu biasa saja dan tidak menyusahkan individu lain, ia akan melakukannya. “Anda suka sama kakak saya, ya?” Tiba-tiba Dara bertanya seperti itu kepada Arik setelah ia membuang tisu ke tempat sampah. “Jujur aja, santai.” Arik memang suka kepada Dila, namun ia tidak menduga perasaannya akan ditanyai oleh adik dari wanita yang ia sukai. “Iya.” Arik mengangguk dengan mudah untuk pertanyaan Dara. “Kelihatan kok kalau Anda memang suka sama kak Dila,” kata Dara. “Kakak saya memang cantik dan baik.” Arik setuju, sehingga ia mengangguk lagi. “Saya belum tahu sih sifat Anda gimana…” Dara menatap Arik dari atas samapai ke bawah, “tapi, saya dukung. Asal Anda jangan main-main.” Jujur, Arik sering mendapat tatapan memuja dari para perempuan. Tapi, diobservasi seperti itu oleh mata seorang gadis–seolah dirinya adalah tersangka pembunuhan–ini baru pertama kali. Seolah-olah Dara sedang menginterogasi Arik. “Saya nggak main-main.” Arik memang sepenuhnya tertarik kepada Dila Mahira, si perawat UGD yang memiliki senyum dan tatapan lembut. “Bagus. Jangan seperti mantan pacar saya yang sialan!” Dara jadi ingin menangis lagi mengingat kelakukan mantan pacarnya. Tetapi di samping itu, ia marah dan kesal. “Tukang selingkuh sangat menjijikan. Totally asshole!” Apa Arik baru saja mendengar gadis di sebelahnya mengumpat di tempat umum? “Kamu menangis karena diselingkuhi?” tanya Arik, hati-hati. Ia paling tidak mau berurusan dengan masalah percintaan orang lain, namun sudah terlanjur mendengar ucapan Dara. “Ya, gitu, deh.” Dara menjawab Arik sekenanya. “Saya harap Anda bukan tipe pria dengan mental tukang selingkuh.” Arik memiliki kedua orang tua yang saling mencintai. Selama pernikahannya, Haris Hartono dan Selina Hartono adalah pasangan yang saling menghargai. Arik memiliki contoh nyata betapa bahagianya menjadi setia, dan Arik akan terapkan itu untuk pasangannya kelak. “Sama seperti kamu, saya juga tidak menyukai pengkhianatan.” Arik berkata sungguh-sungguh kepada Dara. “Menurut saya itu adalah perbuatan yang sangat fatal.” Dara menatap Arik dan memperhatikan ucapan pria itu yang terkesan tenang namun serius. Pria itu melanjutkan, “Dan menurut saya seorang pengkhianat tidak pantas ditangisi. Kamu boleh menangis, tapi bukan untuk orangnya, melainkan untuk waktu dan kenangan yang sudah kamu habiskan bersama orang yang salah.” Dara termenung dengan kata-kata Arik, kemudian gadis itu berdeham. “Apa selain jadi direktur, pekerjaan sampingan Anda itu penyair mendayu-dayu?” “Hanya direktur,” kata Arik. Pria itu lalu melihat ponselnya yang mendapatkan pesan dari Dila. “Kakak kamu sudah selesai kerja, dan menuju ke sini.” Dara mengangguk mengerti, lantas bangkit berdiri. “Semangat deketin kak Dila. Semoga jodoh!” “Kamu mau ke mana? Saya pikir kamu nunggu Dila?” Arik mengerutkan kening melihat Dara yang beranjak. “Saya baru inget harus beli sesuatu di toko buku.” Dara berbohong. Lalu Arik tidak menanggapi Dara lagi. Sebelum benar-benar pergi, Dara bertanya kepada Arik, “Kenapa Anda nungguin kak Dila di halte? Kenapa gak langsung bareng dari rumah sakit?” “Dila yang minta.” Arik menjelaskan bahwa Dila tidak mau karyawan lain berpikir hal yang tidak-tidak sehingga menimbulkan gossip. Meski sebenarnya sudah ada beberapa perawat yang melihat Dila masuk ke mobil sang direktur setiap kali pulang kerja. “Kak Dila memang begitu.” Dara berkomentar. “Intinya, anterin kak Dila dengan selamat sampai ke rumah ya, Pak Direktur!” Arik mengangguk. “Tentu.” “Tunggu-tunggu, kita belum berkenalan secara resmi kayanya, ya?” Dara berbalik lagi untuk menatap Arik. “Saya Arik.” Pria itu mengulurkan tangan. "Arik Dierja Hartono." Gadis itu menerima uluran tangan Arik. “Saya Dara, calon adik ipar Pak Direktur Yang Terhormat.” []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN