“Dara,”
“Dara,”
“Dara, bangun.”
Gadis yang namanya dipanggil beberapa kali itu merasakan guncangan pada bahunya. “Apa ada gempa?” gumamnya masih setengah mengantuk dan enggan menutup mata.
“Dara, gak ada gempa, tapi kamu harus bangun.” Dila tetap mengguncang bahu adiknya.
“Masih ngantuk.” Dara merengek, gadis itu menarik selimutnya sampai ke leher sebagai pertahanan diri.
“Ayo bangun, Dara, sebelum mama marah.”
“Kenapa mama harus marah?” Meski Dara mendengar suara Dila sepenuhnya, ia enggan membuka mata. Ia tidak tahu jam berapa ini, tapi pasti masih pagi.
“Karena nanti malam kita harus ke bandara, dan rambut kamu masih merah.” Dila menjelaskan. “Kamu janji sama mama akan ganti warna rambut. Mama pasti ngamuk kalau kamu berangkat ke Bali dengan rambut seperti ini.”
“Kak Dila jadi team mama?” Dara membuka mata dengan terpaksa.
“Bukan begitu.” Dila menggeleng. “Tapi kakak gak mau kamu kenal omel mama.”
“Apa bedanya? Dari aku lahir aku selalu kena omel.” Dara akhirnya duduk di atas tempat tidur. Percakapan membawa-bawa ibunya membuat keinginan melanjutkan tidur menjadi hilang.
Dila menghela napas, ia ikut duduk di sebelah adiknya lalu mengusap rambut Dara dengan penuh perhatian. “Kakak yakin mama nggak berniat untuk mengomel. Mama sayang kita berdua.”
Sebenarnya Dara sudah tidak peduli jika Gina Mahira hanya menyayangi Dila. Dulu, mungkin Dara akan bertanya-tanya apa salahnya karena selalu dimarahi untuk alasan yang tidak jelas. Gina juga tidak pernah memanggilnya ‘sayang’.
Tetapi sekarang, semua itu tidak penting. Dara lelah mengemis perhatian ibunya sendiri. Untung saja ia punya kakak yang tulus seperti Dila. Kalau tidak, sudah jelas Dara akan kabur dari rumah sejak dulu.
“Ayo kakak antar ke salon.” Dila memberi penawaran sambil merapikan rambut Dara yang sebenarnya sangat bagus. Adiknya itu memiliki rambut hitam yang lurus alami. Dara hanya senang bereksperimen sesuatu yang menurutnya keren.
“Biarin aku ketemu Evan dulu. Dia belum lihat rambut merah aku.” Dara mengingat pacarnya yang terus mengirimkan pesan nakal tentang kemungkinan apa yang akan pria itu lakukan dengan rambut merahnya.
Dila tahu siapa itu Evan. Pria berumur dua puluh tujuh tahun, seorang pemilik kelab yang menjadi tempat Dara bekerja sebagai bartender. Dara selalu bergurau soal itu. Katanya, seolah-olah para gadis dari keluarga Mahira ditakdirkan memacari atasan mereka di tempat kerja.
Meski Evan tidak memiliki nama belakang seberpengaruh Arik, tetapi tetap saja Evan adalah seorang boss.
“Kalau gitu kita ke salonnya setelah kamu ketemu pacar kamu, gimana?” tanya Dila. “Jangan lama-lama, ya.”
“Ketemu sama pacar gak bisa sebentar, kak.” Dara menaik-turunkan alisnya. “Aku bukan kak Dila yang cuma pegangan tangan doang sama kak Arik. Aku dan Evan punya agenda menyenangkan saat lagi berdua.”
Dila geleng-geleng kepala dengan kata-kata adiknya. “Jam sepuluh kamu harus sudah ada di salon Tietie. Salon biasa tempat favorit kakak dan mama di mall Selorin. Tahu, kan?”
“Kenapa harus di salon favorit kakak dan mama? Mahal, ah. Aku beli cat rambut sepuluh ribuan aja terus nanti Evan yang bantu ratain catnya di rambut aku.”
“Ke salon aja, Ra. Supaya rapi. Kakak yang bayarin, deh.”
“Kakak banyak uang? Cieee, mentang-mentang mau jadi calon nyonya Hartono nihhh.” Dara menusuk-nusuk pipi kanan kakaknya menggunakan telunjuk.
Dila terkekeh. “Jangan gitu, kakak malu.”
“Kenapa malu? Memang kenyataannya kak Dila akan jadi Nyonya Hartono, kok! Tiga hari lagi. Sharon—temen kerja aku, kakak inget kan?—dia bilang bahwa dia iri sama kakak.”
Kening Dila mengerut. “Iri?”
“Iya, karena kakak akan menikahi Arik Dierja Hartono. Yang artis kan adiknya, tapi ternyata kak Arik juga terkenal, ya. Pasti karena wajahnya yang seperti pangeran.” Dara mengoceh sesuai informasi Sharon, yang seolah tergila-gila kepada Arik Dierja Hartono padahal hanya melihat di artikel.
Dan yang dimaksud Dara ‘adik artis’, adalah salah satu adik kembar Arik yaitu Janied. Seorang penyanyi pop favorit negeri, khususnya idaman ibu-ibu.
Jika Dara boleh jujur, untuk sifat menyenangkan dan keseruan, Janied menang telak dari Arik yang kaku. Sejak awal bertemu, Dara selalu berpikir Arik akan jadi zombie. Yang bisa meaktifkan syaraf-syaraf pria itu hanya si cantik jelita Dila Mahira.
“Kalian berdua itu seperti ditakdirkan bersama, kak.” Dengan perlahan Dara menabrakan bahunya kepada bahu Dila. Dia selalu suka membuat kakaknya itu tersipu. Sudah bersama Arik selama empat tahun lamanya tetapi senyum di bibir Dila selalu terlihat seperti anak remaja yang baru jatuh cinta. Menunjukkan betapa bahagia dirinya bersama Arik.
“Jangan menggoda kakak terus. Sekarang kamu bangun, mandi, dandan, terus ketemu Evan.” Dila menarik tangan adiknya sebelum Dara mencoba untuk tidur lagi. Gadis itu agak sulit dilepaskan jika sudah menempel dengan kasur. “Kita ketemu jam sepuluh di salon Tietie. Tidak boleh telat.”
“Jam sepuluh mall-nya juga baru buka, kak.” Dara mengeluh. “Nanti kita kesannya rajin banget melebihi OB. Atau kita mandi si Selorin aja sekalian?”
“Bukan seperti itu.” Dila mencubit pipi adiknya dengan gemas. “Kita harus datang lebih awal ke salon karena mengganti warna merah kamu ini pasti butuh waktu yang lama, Ra.”
“Oke-oke, aku nurut aja, lagian kakak yang akan bayarin.” Dara selalu senang jika uangnya tetap utuh dan ada si ibu peri—yaitu kakaknya—yang bisa menjadi ATM berjalan.
Dara melirik jam dinding di kamar ini, menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gadis itu berpikir jika ia bercinta dengan Evan hanya satu jam, mungkin ia bisa ke salon tepat waktu. Karena apartemen Evan cukup jauh dari mall Selorin, Dara tidak bisa lama-lama. Yang penting fantasi Evan yang ingin menarik rambut merahnya saat menyatu dari belakang bisa terwujud.
“Kamu mau naik ojek online ke tempat Evan?” tanya Dila kepada Dara.
Dara mengangguk. “Iya, kak.”
“Kakak udah kirim saldo ke akun kamu. Untuk ongkos pergi, ya.”
”Ya ampun kak Dila baik banget!!” Dara langsung memeluk sang kakak. “Aku gak tahu deh kalau gak ada kakak. Rasanya aku masih gak rela kakak akan dibawa pindah sama kak Arik.”
Dila mengusap-usap rambut adiknya. “Kamu tetep bisa temuin kakak setelah kakak pindah. Nginep juga boleh.”
”Aku tahu.” Dara mengangguk. “Aku hanya belum siap kehilangan kakak aku yang baik hati.” []