Dara memperhatikan kakaknya yang sedang dilatih ibunya bagaimana caranya berjalan ke altar dengan sangat elegan, cantik, dan tentunya berkelas seperti putri yang lahir dan besar di kerajaan makmur. Sebab Dila akan menjadi nyonya Hartono dan Dila harus menjadi pemeran utama. Begitu di dalam otak Gina Mahira.putrinya harus paling bersinar dan menjadi sorotan semua mata. Gina ingin Dila dipandang dengan penuh pujian.
Yang Dara tidak mengerti itu mengapa ibunya sangat memaksa Dila untuk terus berjalan padahal kakaknya itu terlihat sudah kelelahan bahkan wajahnya pucat. Dila tidak dibiarkan istirahat.
“Aku pengen muntah banget, astaga!” kata Dila ketika ia sudah berlatih berjalan sebanyak lima kali dan ibunya berkata bahwa cara jalan Dila sudah benar, hanya saja bisa dibuat lebih cantik lagi. Gina ingin sesempurna mungkin sebab ia merasa anak perempuannya akan sempurna setelah menjadi nyonya Hartono.
Dara berdiri memegang makanan ringan rasa rumput laut dan sudah sejak sepuluh menit lalu ia ingin berkata, “Ma, biarin kak Dila istirahat. Lihat kak Dila sampai mau muntah dengan latihan jalan ala-ala putri kerajaan ini.”
“Aku mual. Aku gak tahan!” Dila langsung berlari ke kamar mandi setelah melepas heels berukuran tujuh centi miliknya yang akan dipakai saat hari pemberkataan. Ibunya berkata bahwa Dila harus mengenakan heels itu saat latihan agar terbiasa.
Sepatu cantik seharga puluhan juta itu dipungut oleh Gina, lalu wanita itu berjalan ke arah anak bungsunya dengan pandangan meremehkan. “Kamu tahu apa tentang cara berjalan dengan elegant, Dara?”
“Nggak tahu, mama.” Dara menjawab dengan cuek. “Tapi aku tahu kalau kakak aku kelelahan dan butuh istirahat. Kasihan sampai muntah begitu, mama.”
“Kelelahan sedikit bukan masalah yang penting sempurna saat hari H!” Gina mencecar Dara. Baginya, Dara selalu banyak omong padahal tidak tahu apa-apa.
“Terserah mama aja deh.” Dara enggan berdebat dengan ibunya yang perfeksionis dan agak ditaktor itu. Dara lebih memilih menyusul kakaknya yang sedang mengeluarkan seluruh isi perut ke dalam kloset. Itu juga kalau perutnya Dila ada isinya, sebab setahu Dara, ibunya menyuruh Dila untuk diet agar terlihat cantik saat menggenakan gaun. Mau secantik apa lagi? Badan Dila sudah bagus.
Dara menyentuh leher kakaknya kemudian memijatnya perlahan dengan tujuan agar Dila puas muntah dan lebih baik setelahnya.
“Apa kakak makan pagi ini?” tanya Dara, khawatir. Dila begitu lemas. Bukannya tampil sempurna, yang ada kakaknya masuk rumah sakit.
“Makan, kok.” Dila memngangguk sambil mencoba memegangi rambut coklatnya yang lurus dan panjang agar tidak terkena muntahan.
“Makan apa coba?” Dara curiga kakaknya tidak sarapan.
“Satu pisang.”
“Astaga.” Dara hampir tak habis pikir. “Pasti disuruh mama kan?”
Dila mengangguk. “I’m fine, Dara. Jangan khawatirin kakak.”
“I’m fine itu gak muntah,” sindir Dara. “Aku tahu kakak itu baik hati dan anak yang penurut, tapi kakak bisa protes kalau peraturan mama itu mulai gak masuk akal. Semua peraturan mama emang nggak masuk akal sih. Mama itu aneh."
Dila selesai muntah, ia menerima tisu yang disodorkan Dara. “Mama mau yang terbaik untuk kakak, Ra. Kakak akan jeIek kalau gaun pernikahan nggak muat dipakai.”
“Tapi, badan kakak itu udah kecil. Nggak perlu tuh makan sarapan hanya satu pisang.” Dara mengomel. “Kalau aku disuruh mama cuma makan satu pisang saat sarapan, aku pasti keburu mati sebelum jam makan siang.” Dara bergeridik membayangkan perutnya keroncongan.
“Dila tidak rakus seperti kamu karena Dila wanita elegant.” Gina Mahira datang membawakan air putih untuk anak pertamanya lalu kembali menyindir Dara, “Lagi pula tidak akan ada yang peduli pada tubuh kamu, Dara, maka dari itu kamu makan seperi orang kelaparan. Keluarga Hartono pasti akan meringis melihat porsi makan kamu."
“Aku tahu aku makannya banyak, dan jujur aja aku juga gak mau ada yang peduli dengan tubuh aku.” Dara tak pernah takut kalah jika urusan berdebat dengan ibunya. “Aku bebas makan apa pun yang aku mau tanpa perlu khawatir keluarga Hartono akan memikirkan apa tentang aku.”
“Itu yang membedakan Dila dengan kamu. Dila menjaga tubuhnya, memilih makanan yang sehat karena merawat diri itu bentuk dari rasa syukur pemberian Tuhan. Bukannya malah mengganti warna rambut seterang itu.”
“Hari Minggu masih lama, Ma. Cermahnya nanti aja,” sindir Dara. “Soal rambut, tenang aja nanti aku ganti warnanya. Lagian ini pake uang aku kok. Mama gak berkontribusi apa-apa.”
Gina Mahira menaikkan suaranya, “Kamu memang selalu kurang ajar sama mama, Dara! Tidak pernah sekali pun kamu sopan kepada mama!"
“Mama, Dara, jangan berantem. Tolong, ya.” Seperti biasa, Dila menjadi penengah. Dila lalu menatap ibunya, “Ma, boleh latihan jalannya selesai? Dila pusing banget, mau istirahat.”
“Oke, sayang.” Gina memelankan suaranya saat berbicara kepada Dila. “Kamu bisa istirahat. Kamu harus sehat untuk hari besar kamu.” Gina menyuruh Dila untuk meminum air putih yang ia bawa lalu memapah Dila ke kamar.
Dara hanya menatap adegan di hadapannya dengan ekspresi datar lalu bergumam, “Kayanya kalau gue yang muntah-muntah begitu bakal dikira hamil dan gak akan diperlakukan selembut kak Dila. But, who’s care?” Dara menggendingkan bahu, tak mau tahu. Mengharapkan perhatian ibunya lebih susah dari mendaratkan pesawat di Mars.
Pernah ketika SMA, Dara berniat ingin mengetes reaksi ibunya jika menemukan tes pack palsu di kamar mandi. Alih-alih bertanya siapa pemilik test pack itu, ibunya langsung berasumsi bahwa barang itu milik Dara. Padahal Gina memiliki dua anak perempuan. Tapi, Dila memang anak kesayangan Gina sedangkan Dara adalah anak yang Gina anggap selalu mempermalukannya.
Saat menemukan test pack itu, Gina Mahira menatap mata Dara sambil mengatakan, “Sejak kamu lahir, mama sudah tahu kamu akan jadi peIacur.”
Saat itu, Dara hanya bisa menangis hebat secara diam-diam, dan merasa ia tidak membutuhkan mamanya sebab mamanya saja tidak pernah menyayanginya.
Sampai sekarang, mamanya tetap sama.
***
"Ceritain kenapa kakak lo bisa kenal Arik Dierja, bahkan sebentar lagi menikahi lelaki seksi-kaya raya itu."
Dara mendengar Sharon, seorang temannya di tempatnya bekerja. Dara menjadi tattoo artist dan ia suka pekerjaannya, meskipun—tentu saja—mamanya menganggap pekerjaan dara hanya buang-buang waktu.
"Emangnya gue belum cerita ya?" Dara berbicara santai kepada Sharon yang terpaut umur 5 tahun dengannya karena mereka mengenal cukup lama. Sharon pula yang mengajaknya bekerja di Epione, kelab kecil di pinggiran Jakarta yang peminatnya selalu ramai setiap malam. Dara menjadi barista saat malam hari dan menjadi tattoo artist dengan bimbingan Sharon di siang hari. Dara suka mencari uang untuk membeli makanan.
"Kisah cinta mereka mirip n****+-n****+ romance," Dara mulai bercerita kepada Sharon. "Dila itu perawat di rumah sakit milik keluarganya Arik. Suatu malam Arik membawa korban keceIakaan tabrak lari dan Dila adalah petugas yang jaga di UGD. Lalu entah apa alasannya pangeran seperti Arik jatuh cinta begitu aja kepada kakak gue yang bukan siapa-siapa."
Sharon mengangguk-angguk paham. "Tapi Dila sangat cantik, pantas sih kalau Arik Dierja suka pada pandangan pertama."
"Ya, semua orang tahu Dila memang cantik dan yang terpenting hatinya juga cantik." Dara tersenyum bangga. Kakaknya memang seperti bidadari tanpa sayap.
"Maaf bukan merendahkan keluarga lo, Dara. Tapi kita semua tahu Hartono itu bukan keluarga sembarangan. Apa jalan kakak lo mulus untuk sampai ke tahap ini?"
"Orang tuanya Arik sayang banget sama Dila. Mereka kasih restu meski Dila nggak punya nama belakang terhormat. Mereka orang-orang baik,” kata Dara.
Sebenarnya, keluarganya tidak semiskin itu. Setelah ayahnya meninggal, ibunya memakai kembali nama keluarganya sendiri dengan alasan bahwa keluarga ayahnya memutuskan tali kerabat. Dara masih terlalu kecil dan belum mengerti sehingga ia tak pernah memikirkannama belakangnya. Dila pernah menjelaskan bahwa keluarga ayahnya mempermasalah kan harta gono-gini dan mereka memiliki alasan mengapa seluruh harta peninggalan sang ayah tidak jatuh ke kedua putrinya.
Setelah suaminya meninggal, Gina Mahira melanjutkan hidup—berusaha membesarkan kedua putrinya dengan bekerja sebagai presenter TV, sampai kini jabatannya sudah bagus.
"Satu minggu dari sekarang semua perempuan akan cemburu kepada kakak lo, Dara," ujar Sharon membayangkan resepsi mewah yang akan digelar keluarga Hartono. "She is going to marry The One and Only Arik Dierja Hartono. Daaamn, gue sangat iri."
"Iya..." Dara membalas kata-kata Sharon dengan suara kecil. "Semua perempuan mungkin akan cemburu, tapi gue senang kak Dila menikahi Arik. Mereka pasangan yang serasi, kan?" []