Arik adalah pria yang tidak membutuhkan jam beker, alarm, atau semua yang dipakai untuk membangunkannya dari tidur. Semalam apa pun dia sampai di atas kasur, atau selelah apa pun tubuhnya, Arik Dierja Hartono selalu siap di jam yang sama di pagi hari. Disiplin. Tak pernah malas-malasan. Tubuhnya di-setting selalu siap.
Arik adalah tipe anak yang akan dilirik orang tuamu dan menjadikannya patukan di segala aspek. Membandingkan kecerdasannya dan kemampuannya denganmu. Tetapi kamu tidak bisa iri sebab Arik memang seperti itu—paket lengkap. Pintar di sekolah, favorit dosen, dan hebat di dalam pekerjaannya.
Hidup Arik berjalan seperti apa yang ia inginkan. Seperti apa yang ia rencanakan ketika yakin masuk ke jurusan bisnis untuk pertama kalinya. Goals yang ia dapatkan hari ini adalah hasil dari kerja kerasnya belajar dan keteraturan dalam mengelola waktu.
Arik tidak melakukan hal-hal bodoh atau yang bisa membuang kesempatannya. Arik adalah pria yang akan menentukan dan memilih sesuatu dengan matang. Memanfaatkan setiap peluang, lalu berada di puncak.
Meski Arik gila kerja—karena tahu dirinya henat di sana—pria itu juga manusia biasa (yang tampan) yang memiliki hobi. Salah satunya adalah mengoleksi mobil mewah.
Arik membeli sebuah rumah tingkat satu dengan bangunan minimalis namun fasilitasnya terasa seperti hotel bintang lima. Arik tinggal sendiri, rumahnya nyaman.
Arik bahkan memiliki satu robot buatan dengan tinggi setengah badannya yang dirakit oleh tiga remaja yang ia biayai kuliahnya. Salah satu bentuk dari kedermawanan Arik. Ia memberikan banyak beasiswa untuk anak-anak yang pintar serta layak membutuhkannya.
Sebenarnya rumah yang Arik tempati sekarang dibeli khusus untuk hunian yang akan ia tinggali bersama Dila. Sebentar lagi kekasihnya itu akan pindah ke sini dan Arik memastikan semuanya sudah sempurna. Alex bahkan akan membiarkan halaman belakang dan depan rumah ini dipenuhi tanaman sebab Dila suka merawat bunga. Apa pun untuk Dila.
Arik sedang memakai dasinya ketika sebuah telepon tersambung ke ponselnya.
Arik menerima telepon itu, menggunakan loud speaker. Karena dia tidak akan menghabiskan waktunya untuk menelepon ketika ‘harus’ memakai dasi. Arik bisa melakukan keduanya secara bersamaan.
“Kak Arik,” suara dari Jayler Haidan Hartono—sepupunya yang berbeda lima tahun lebih muda dari Arik, yang terkenal playboy—terdengar dari telepon. “Mau apa?”
Arik mengerutkan kening. “What do you mean, Jayler?”
“Hadiah pernikahan kakak.”
“Apa kamu biasanya bertanya kepada yang mau kamu beri hadiah?”
“Well, aku orangnya gak mau ribet.” Jayler terkekeh. “Just tell me.”
“Apa aja, Jayler. Sebenarnya gak perlu hadiah, kamu datang saja sudah cukup.”
“Oke, aku pasti dateng tenang aja. Tapi hadiah juga harus. Apa mobil yang belum kakak punya?”
“Banyak, Jayler.”
“Tapi mobil yang udah kakak punya juga banyak.”
“Lebih banyak mobil kamu.” Sebenarnya sama saja. Jayler adalah pria yang hobi mengoleksi mobil mewah sama seperti Arik. Mereka berdua bahkan mengenal beberapa orang dengan hobi yang sama karena itu.
“Tunggu aja hadiah aku dateng,” kata Jayler. “Dan selamat untuk pernikahannya ya, kak. Sampai ketemu tiga hari lagi di Bali.”
“Oke, Jayler.”
Arik mematikan telepon dan dasinya juga sudah terpasang rapi. Hari ini Arik akan pergi ke kantor untuk yang terakhir kalinya sebelum cuti untuk melangsungkan pernikahan. Sore nanti juga Arik beserta keluarganya akan terbang ke Bali, tempatnya melangsungkan pemberkataan dengan Dila. Kekasihnya itu berkata ingin menikah di pinggir pantai, dan Arik mengabulkannya.
Tiga hari lagi dan Arik sangat bersemangat. Ia memimpikan hidup bahagia bersama Dila, wanita yang sangat ia cintai.
Dan sebentar lagi mimpi itu akan terwujud.
***
Pertama kali Arik bertemu Dila, sebenarnya agak dramatis. Setidaknya dari sudut pandang pasien yang sedang ditangani oleh Dila ketika sang perawat itu membersihkan lukanya.
Arik menemukan seorang pengendara motor korban tabrak lari di pinggirs jalan yang kesusahan sebab kaki kanannya terluka. Arik menelepon ambulan yang bisa membawa si pengendara motor itu ke rumah sakit. Seharusnya itu saja sudah cukup, namun Arik ingin memastikan pengendara itu selamat.
Arik membawa si pengendara motor ke rumah sakitnya karena kebetulan jarak dari Arik menemukan si pengendara lumayan dekat dengan Vale Medical Center.
Setiap kebetulan yang terjadi, dan dilanjutkan dengan kebetulan lainnya, membuatnya bukan lagi menjadi kebetulan.
Hari itu kebetulan berkelanjutan yang didapatkan oleh Arik adalah Dila bertugas di UGD sehingga mereka berdua bisa bertemu.
Dila membuat Arik—yang biasanya tidak memperdulikan perempuan—menjadi menatap wajahnya untuk lima detik. Ekspresi Dila yang tenang saat membersihkan luka pada kaki pasiennya, serta caranya berbicara dengan lembut, serta senyum ramah yang terpancar dari bibirnya, menarik perhatian Arik.
Tetapi hanya sampai di situ. Hanya sampai pada Arik melihat seorang perawat yang mampu membuat Arik memandangnya.
Dan ternyata bukan hanya di sana. Kebetulan-kebetulan lain terjadi lagi.
Karena Vale Medical Center adalah milik keluarga Arik, saat itu pria itu juga menjabat sebagai direktur rumah sakit, Arik jadi sering bertemu dengan Dila. Meski kantin petinggi rumah sakit dan pegawai berbeda, Arik melihat Dila di lorong panjang yang memiliki arah ke kantin masing-masing.
Karena setelah beberapa minggu Arik hanya bisa melihat Dila dan perasaan tertarik di hatinya masih ada, suatu sore saat Dila menunggu kendaraan umum di halte rumah sakit, Arik menghentikan mobilnya dan membuka kaca mobilnya.
Tidak banyak orang yang berdiri di halte, lagi pula mobil Arik tepat di hadapan Dila sehingga sudah dipastikan bahwa pria itu ingin berbicara dengan Dila.
“Selamat sore, Pak Arik.” Dila menyapa Arik dengan ramah karena setahu dirinya, pria yang menghentikan mobil mewah berwarna putih itu adalah petinggi di rumah sakit tempatnya bekerja. Nama Arik Dierja Hartono terpampang sebagai direktur Vale Medical Center. Dan sebagai karyawan yang baik, tentu saja Dila harus menghapal atasannya.
“Kamu pulang dengan bus?” tanya Arik to the point.
Dila yang masih bingung mengapa seorang direktur rumah sakit bertanya bagaimana dirinya akan pulang, hanya mengangguk kepada Arik.
“Saya bisa antar kamu.” Arik mengatakannya dengan datar namun dari sorot matanya bisa terlihat bahwa pria itu sungguh-sungguh.
“Tidak usah, Pak. Nanti merepotkan.” Dila menolak karena ia tidak enak. Lagi pula mengapa orang dengan jabatan paling tinggi di tempat bekerja ingin mengantarkannta pulang?
Dila mulai berpikir mungkin dirinya melakukan kesalahan, tetapi jika begitu, seharusnya pimpinan UGD yang melaporkannya.
“Saya tidak merasa direpotkan. Masuk, Dila. Nama kamu Dila, kan?”
Mendengar suara Arik yang memanggil namanya, Dila tidak menyangka Arik tahu namanya. Karena sepertinya tidak mungkin seorang boss menghapal seluruh nama karyawannya.
Ada apa ini?
“Maaf, Pak, apa saya... melakukan kesalahan?” Hanya itu yang berada di pikiran Dila. Karyawan biasa sepertinya tidak mungkin secara random diajak bahkan ditawari untuk diantarkan pulang. Dila sering ikut bersama perawat lain yang membawa kendaraan, tetapi itu sesama perawat. Posisi pekerjaannya sama.
Jika Arik Dierja Hartono, direktur Vale Medical Center menawarkan untuk mengantarnya pulang, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Arik mengerutkan kening untuk pertanyaan Dila. “Kenapa kamu berpikir sudah melakukan kesalahan? Kamu tidak melakukan kesalahan. Masuk ke mobil, Dila. Saya akan mengantarkan kamu pulang.”
Tetapi Dila tetap diam saja. Kakinya yang memakai sepatu pantopel seharga seratus ribu bagaikan di paku pada lantai halte.
“Dila, nanti keburu ada bus dan mobil saya menghalangi. Masuk, Dila. Saya hanya ingin mengantar kamu.”
Otak Dila masih mencerna kata-kata Arik, sedangkan respon tubuhnya bergerak lebih cepat. Kaki yang semula sepeti dipaku itu mulai melangkah dan tangannya membuka pintu mobil Arik. Pintu belakang.
“Apa saya supir kamu?” Arik melirik kepada Dila.
“Maafkan saya, Pak.” Kecanggungan Dila itu membuatnya langsung menutup kembali pintu belakang dan membuka pintu depan lalu duduk di sana.
“Sabuk pengaman,” ucap Arik memberikan intruksi. “Saya ingin mengantarkan kamu selamat sampai tujuan.”
“B-baik, Pak.” Dila tidak tahu mengapa tangannya gemetar saat menarik sabuk pengaman.
Arik berlikir Dila tidak bisa memasangnya dengan benar sehingga ia melakukannya untuk Dila. “Like this,” ujar Arik setelah sabuk pengaman terpasang.
“Terima kasih.” Dila masih belum mengerti mengapa ia berada di dalam mobil mewah atasannya. Apa yang sudah ia lakukan sehingga bisa berada di sini?
Setahu Dila, pagi tadi ia masih sarapan bubur bersama temannya yang sesama perawat di kantin rumah sakit. Shift Dila sampai sore, ia bekerja di UGD yang tidak terlalu ramai hari ini. Lalu sekarang ia satu mobil dengan Arik Dierja Hartono. Sangat aneh.
“Dila, saya tidak tahu rumah kamu.” Mobil sudah berjalan namun arahnya belum ditentukan.
“Oh, maaf, Pak.” Dila merutuki kecerobohannya lalu memberikan alamat rumahnya kepada Arik.
Arik merasa Dila sangat polos. “Jangan meminta maaf terus.”
“Iya, maaf, Pak.” Sadar bahwa ia mengatakannya lagi, Dila semakin gugup.
Arik melirik Dila di sela-sela menyetir. “Apa saya membuat kamu kurang nyaman?”
Dila balas melirik Arik lalu menggeleng sebagai jawaban. Sebenarnya Dila diam karena memproses apa yang baru saja ia lihat. Meski hanya beberapa detik, namun Dila yakin bahwa Arik sangat tampan dengan jarak sedekat ini.
Dila melirik Arik lagi, kini pria itu memusatkan matanya ke depan. Dila melihat Arik dari samping dan tetap tampan.
Sekarang Dila tahu mengapa banyak karyawan di Vale sering membicarakan direktur mereka yang katanya wajahnya seperti Dewa. Hari ini Dila bisa membuktikannya sendiri.
“Itu rumah saya, Pak.” Dila menunjuk bangunan bertingkat dua yang sederhana dengan banyaknya tanaman di halaman depannya. Pagar berwarna hitam tidak menghalangi tanaman-tanaman itu saking banyaknya.
Ketika Arik menghentikan mobilnya, bersamaan dengan pagar rumah Dila dibuka oleh seseorang yang memakai helm, menggendong tas ransel berwarna biru tua. Setelah orang itu berbalik, Arik bisa melihat bahwa si pembuka pagar adalah seorang gadis.
“Terima kasih, Pak.” Dila tidak tahu apa yang harus ia katakan. Atasannya baru saja mengantarnya pulang ke rumah.
Arik mengangguk kepada Dila namun fokusnya teralihkan oleh gadis yang memakai helm di kepalanya karena sekarang dia mencoba membuka pagar lebih lebar namun macet. Bukannya dibuka dengan perlahan, dia menendang pagar itu dengan kakinya.
“Dara, astaga.” Dila mengenali gadis yang menendang pagar. Ia lalu keluar dari mobil Arik setelah melepas sabuk pengaman dan sekali lagi berterima kasih kepada atasannya itu.
Arik sebenarnya ingin mengatakan hal lain kepada Dila namun ia dengan cepat keluar dari mobil untuk meghentikan si gadis helm.
“Dara, jangan ditendang.”
“Pagernya macet. Pot-pot kak Dila ngehalangin.” Si gadis helm yang dipanggil ‘Dara’ itu mengoceh. “Kak Dila keluar dari mobil itu?”
Dila mengangguk setelah berhasil membuka pagar dengan hati-hati, tidak seperti adiknya.
“Diantar siapa?”
Arik masih bisa mendengar sebab ia belum beranjak dari sana. Masih memperhatikan.
“Atasan di rumah sakit.” Dila tampak ragu mengatakannya. Ia melirik kepada mobil Arik yang masih terparkir di depan rumahnya.
Lalu Dila mengetuk pelan kaca mobil Arik dan pria itu menurunkannya. “Maaf, pak, apa ada hal lain yang bisa saya bantu?”
Arik menggeleng. “Saya hanya diam sebentar untuk menelepon,” itu sebuah alasan.
“Baiklah kalau begitu.”
“Pacar ya, kak?” Dara tiba-tiba menghampiri Dila lalu melihat Arik yang duduk di kursi kemudi. “Ganteng juga pacar kakak.”
“Dara, ini bukan pacar kakak.” Dila memastikan adiknya tidak salah paham dengan cara mendorong lembut bahu adiknya.
“Saya akan pulang,” kata Arik kepada Dila. “Kamu ada shift besok?”
“Ada, Pak.”
“Pagi?”
Dila mengangguk.
“Sampai ketemu besok.” Arik lalu menutup kembali kaca mobilnya.
Sebelum membawa mobilnya pergi dari sana, Arik mendengar si gadis helm berkata, “Apa kak Dila tahu pacar kakak bawa mobil apa? Itu Lexus terbaru, kak. Harganya empat miliyar! Gokil!”
Dila menghela napasnya. “Dara, dia atasan kakak, bukan pacar kakak. Namanya Arik Dierja Hartono, dan tolong jangan bilang sama mama kalau aku dianterin pulang oleh pria.” []