02. Si Rambut Merah

1393 Kata
Satu bulan kemudian.... "Mama," Janied Elang Hartono menyapa ketika melihat ibunya bersama asisten rumah tangga di mansion utama Hartono sibuk merapikan meja makan. Meski Selina Hartono adalah seorang nyonya, ia menempatkan diri sebagai ibu dari 4 anak. Selina sering memasak untuk keluarganya jika mereka makan malam bersama. Karena kesempatan ini jarang terjadi. Setelah anak-anaknya dewasa, Selina harus merelakan mereka semua memiliki kehidupan sendiri. "Hai, anak mama yang ganteng. Cobain ini,” Selina menyuapkan panacota kepada Janied. "Enak nggak?" "Enak soalnya aku makannya gratis." Janied terkekeh. Selina meminta putranya untuk tidak mengganggunya yang sedang menyiapkan makan malam, sehingga Janied berjalan mencari kakaknya yang sebentar lagi akan menikah. “Tuan Arik Dierja Hartono Yang Terhormat, lo mau menikah lima hari lagi tapi masih aja kerja. Gila sih, kak." Janied melihat Arik duduk di meja dekat kolam renang bersama dua orang pria berpakaian rapi. "Kakak lagi meeting," kata Arik kepada adiknya. "Tunggu, Janied." Arik melihat Janied kembali masuk ke rumah dan lelaki berumur tiga puluh lima tahun itu berkata kepada koleganya, "Saya ingin taman di rumah kaca siap secepat mungkin. Itu untuk istri saya nanti. Anda mendengar sendiri pernikahan saya tinggal lima hari lagi.” "Baik, Pak Arik. Kami yakin bisa merampungkannya sesuai target waktu. Bunga yang dipesan Pak Arik juga sudah siap dikirim oleh warga sekitar. Kami membeli bibit dan pupuk dari warga lokal, sesuai intruksi Pak Arik.” "Oke." Arik menyelesikan pertemuannya dengan arsitek yang ia sewa untuk mendesain sebuah rumah kaca. Bangunan itu akan menjadi hadiah untuk Dila, wanita yang sangat ia cintai—yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Lima hari yang akan datang status mereka berdua akan berubah. Hanya menunggu lima hari lagi. "Janied, ada apa?" Arik menghampiri adiknya yang sedang selca. Narsis, pasti foto yang barusan Janied ambil akan diposting ke sosial media. Janied adalah seorang penyanyi, penggemarnya pasti suka diberikan update. "Gaun yang kakak pesen untuk adiknya Kak Dila udah selesai," kata Janied. "Ada di mobil gue. Mau kakak yang anterin ke rumahnya atau supir aja?” Arik menjawab Janied, "Kakak yang akan nganterin sendiri." *** Baru saja lambang dan suara khas Netflix terputar, ada seseorang yang mengetuk pintu depan. Dara menghela napas, harus rela meninggalkan semangkuk mie rebus dengan telur setengah matang untuk berjalan ke pintu—melihat siapa yang datang. Pastinya bukan Dila, sebab kakaknya itu tidak mengetuk. Karena, hei, ini rumahnya. Lebih jelasnya, rumah Gina Mahira—ibu Dila dan Dara. “Oh, hallo, kakak ipar!” Dila melihat Arik Dierja Hartono berdiri menjulang di depan pintu. “Kak Dila pergi sama mama. Katanya girls day? Atau apa itu aku gak paham.” Ibunya dan kakaknya selalu pergi berdua tanpa mengajak Dara, dan Dara tidak peduli. Memangnya siapa yang mau seharian jalan-jalan membeli baju, sepatu, tas, lalu menghabiskan uang di salon? Mengerikan. “Saya tahu,” kata Arik dengan datar, namun kerutan di keningnya tak bisa bohong setelah melihat pemandangan kurang biasa dari Dara. Arik tidak mengerti mengapa gadis di hadapannya mewarnai rambutnya dengan sangat terang. Rambut Dara berwarna merah cerah mirip Ariel si putri duyung di buku komik anak-anak. Seingat Arik, minggu kemarin rambut Dara masih berwarna hitam. Tapi, Arik tidak peduli. Warna rambut Dara bukan urusannya. “Ini untuk kamu.” Arik memberikan paperbag kepada Dara. Dara mengambilnya dan langsung melihat isinya. “Ini gaun untuk apa? Aku udah punya baju untuk resepsi kak Dila dan kak Arik. Kak Dila yang ngasih. Dia maksa aku, mungkin takut aku akan pakai jeans robek-robek. Aku bisa menyesuaikan acara, kok.” Dara sangat tahu kakaknya yang cantik menikahi siapa, dan Dara tahu Arik berasal dari keluarga seperti apa. Hartono bukan hanya old money yang terkenal menguasai bisnis real estate, tetapi mereka benar-benar masuk ke daftar 10 keluarga konglomerat di Indonesia. Nomor satu dalam daftar. Hartono tidak merangkak dari bawah, nenek moyang mereka sudah kaya raya sejak dulu. Apa rasanya ya punya privilege seperti itu? Dara yakin Arik dan keluarganya tidak pernah merasakan botol shampo kosong diisi oleh air agar berbusa. Arik tidak butuh penjelasan Dara, ia ke sini hanya memberikan gaun. “Pakai gaun ini saat pemberkataan di gereja,” ujar pria itu. “Kenapa?” Sifat Dara yang selalu ingin tahu terkadang muncul. “Keluarga saya dan keluarga kamu memakai gaun yang sama. Gaun kamu dan gaun adikku, Jessy, telat selesainya.” “Ohhh.” Hanya itu respon Dara. “Oke.” “Saya permisi.” Arik lalu pergi begitu saja. Terkesan kaku serta dingin. Dila menggedikan bahu, kembali masuk ke rumah untuk melanjutkan makan mie rebus sambil nonton Netflix. Tapi, fokus Dara teralihkan kepada paperbag pemberian Arik. Gaunya sangat halus dan cantik, berwarna putih tulang. Dara yakin harga gaun ini sangat mahal. Drrt... “Sh..it.” Dara sedang mengagumi detail gaun sehingga ia terkejut ketika ponselnya yang berada di atas meja kaca menampilkan sebuah pesan dari satu lelaki yang Dara kencani lima bulan terakhir ini. Hai cantik. Sedang apa? Begitu isi pesan baru yang masuk. Dara mengambil foto dirinya sendiri memegang mangkuk, lalu mengirimkannya. Dara mendapat balasan lagi tak kalah cepat. Daaaamn babe. Rambut kamu merah? Dara mengetik balasan... Yep. Apa seperti fantasi kamu? Pacarnya membalas; Rambut kamu sangat cantik.Sedang memikirkan menariknya dari belakang.SiaI sayang aku terangsang. Dara mendapatkan foto pacaranya menunjukkan bagian tubuh bawah pria itu yang menyembul di balik celana boxer. Dara langsung tertawa lalu mengirimkan emoticon cium. *** "Darimana gaun ini?" Ibunya, Gina Mahira berjalan ke arah Dara dengan kening mengerut. “Apa mama tidak bisa mengetuk?” “Ini rumahku.” Sudah tiga hari Dara pulang ke rumah ibunya karena Gina menginginkan Dila—sang calon pengantin, anak kesayangan Gina—mendapat perhatian penuh. Sebenarnya Dara tidak mau ikut pulang, tetapi kakaknya itu memaksa. "Arik," balas Dara sekenanya. "Panggil Arik dengan sopan. Dia akan jadi kakak ipar kamu," ujar Gina dengan penuh penekanan. "Apa kamu minta dibelikan gaun oleh Arik?" "Tentu aja nggak." Dara menjawab langsung pertanyaan ibunya yang terkesan seperti tuduhan. Dara bukan orang yang suka memakai gaun. Pakaian di lemari Dara hanya tiga warna; hitam, putih, dan abu-abu. Kebanyakan celana jeans dan kaus oversize, jadi untuk apa Dara meminta gaun mahal kepada Arik? Yang pantas memakai gaun itu Dila, bukan Dara. "Keluarga Hartono sangat baik, bukan cuma kepada Dila tapi kepada kamu juga." Gina menatap putrinya dengan serius. "Jangan malu-maluin Mama, Dara." "Bagian mana dari aku yang malu-maluin Mama?” “Apa kamu melihat cermin?” “Soal rambut aku yang warna merah ini?” Dara tahu ke mana arah pembicaraan ibunya. Untuk Gina Mahira yang begitu elegant, pasti rambut merah adalah hal yang tidak bisa ditoleransi. “Rambut aku membuat Mama malu? Memangnya rambut aku ngapain?” "Kamu terlihat sangat urakan, Dara. Astaga! Kenapa, sih, harus diwarnai? Lihat kakak kamu—" "Iya, rambut asli kak Dila yang warna coklat itu cantik. Kak Dila kan memang selalu cantik," potong Dara. Ia malas berdebat, sungguh. "Yang mau menikah itu kak Dila, bukan aku. Harusnya aku bebas mau punya warna rambut seperti apa. Para tamu pasti fokusnya ke pengantin, Ma." Gina berujar sinis, "Lebih baik kamu nggak usah dateng ke acaranya Dila." "Mama, kakak aku mau menikah, masa aku nggak boleh dateng?" Dara mendebat ibunya. "Aku juga putri kandung Mama." "Kalau begitu ganti warna rambut kamu!" Gina sedikit membentak. "Keluarga calon suami kakak kamu itu keluarga terhormat, Dara. Kita nggak punya apa-apa dibandingkan mereka. Jangan rusak kebahagiaan Dila, bisa?" "Warna rambut aku nggak akan menghancurkan kebahagiaan kak Dila." Dara tidak mengerti mengapa ibunya berkata seperti itu. "Apa Mama takut keluarga Hartono menghentikan pernikahan kak Dila dan putra sulung mereka ketika melihat rambut merah aku? Konyol." "Mama nggak mau kamu datang kalau warna rambut kamu belum berubah." Gina berujar sangat dingin disertai nada memerintah. "Mama akan fokus kepada Dila, bukan kepada kamu. Jangan bertingkah, Dara. Dila menikahi Arik Dierja, sebentar lagi akan jadi nyonya Hartono. Sedangkan kamu, apa? Nggak ada satupun pencapaian kamu yang membuat Mama bangga, Dara." Dara tahu sangat tidak sopan berdecak kepada ibunya, namun ia tetap melakukannya. "Kalau Mama udah selesai me-review hal yang nggak bisa dibanggakan dari aku, aku permisi mau mandi dan mencoba gaun dari KAK Arik Dierja Hartono—calon menantu Mama yang sangat sempurna itu." “Dara! Kamu ini sangat—“ Dara tidak akan membiarkan ibunya menyakiti hatinya lagi sehingga ia mengatakan kata-kata final kepada ibunya, "Aku akan mengganti warna rambut aku. Mama tenang aja, aku nggak akan mempermalukan Mama atau kak Dila di hari berharga kalian." []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN