Yu sedang berada di kantin bersama kedua temannya yaitu Xioba dan Yohan. Walaupun ia juga cukup dekat dengan mahasiswa yang lain, tapi ia selalu bersama dengan Xioba dan Yohan.
"Oh ya, Yu. Apa kamu menolak Sakura?" tanya Xioba.
"Apa?" Yohan terkejut. Bahkan mulutnya terbuka saking mendalami karakter bagaimana seseorang jika sedang terkejut.
Yu menutup mulut Yohan dengan tisu. Tentu saja Yohan sedikit tidak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh Yu. Bukannya merasa bersalah, Yu malah tertawa. Dia tertawa karena memang tingkah Yohan lucu.
"Kenapa menolak Sakura?" tanya Xioba lagi.
"Sakura yang mana?" Yohan masih syok.
Xioba memberikan tatapan tajam. "Apa ada nama Sakura lain yang kita kenal?"
Yohan menyengir. "Kali saja Sakura yang lain. Tapi tunggu..."
Yohan menatap Yu. "Sakura suka dengan pria ini?" Yohan menunjuk Yu dengan wajah sedikit tidak percaya.
"Begitulah." Xioba sebenarnya tidak terlalu terkejut, apalagi wajah Yu cukup tampan. Yu juga tidak suka tebar pesona walaupun ia tergolong pria berwajah tampan. Oleh karena itu, banyak wanita yang menyukai dirinya. Bahkan ada yang mengungkapkan perasaan secara langsung. Selama ini Yu selalu menolak, meskipun yang mengungkapkan perasaan adalah wanita cantik dan pintar sekalipun.
"Bagaimana bisa?" Yohan masih tidak bisa menerima fakta bahwa Yu sudah menolak wanita yang bernama Sakura itu.
"Yu jauh lebih tampan dari kamu, jadi mohon sadar diri." Xioba memegang pundak Yohan. Ia tahu bahwa Yohan tertarik dengan Sakura. Bahkan dari semester awal.
"Aku tau," balas Yohan dengan kesadaran penuh. "Kenapa kamu menolaknya?" ujar Yohan kepada Yu.
"Aku tidak suka saja." Yu selalu memberikan jawaban yang sama.
"Sayang sekali, padahal Sakura sangat cantik." Xioba tidak tahu isi kepala Yu. Entah siapa wanita yang ia sukai. Xioba menatap Yu, tatapan yang tengah mencurigai sesuatu.
"Apa?" tanya Yu langsung. Dia merasa tidak nyaman dengan tatapan Xioba
"Apa kamu tidak normal?" Xioba bertanya dengan hati-hati, bahkan dengan suara pelan agar tidak ada yang mendengar.
Yohan bereaksi sangat berlebihan. Dia bahkan menjaga jarak dari Yu seakan-akan takut jika temannya itu memang tidak normal.
Yu melotot. "Aku normal," ungkapnya.
"Syukurlah." Yohan dan Xioba sama-sama lega.
"Apa kamu tidak tertarik dengan wanita di negara ini?"
Yu tidak menjawab pertanyaan dari Xioba. Tatapan matanya mengarah ke pintu masuk kantin. Ia terlalu fokus menatap ke arah sana sehingga tidak menghiraukan pertanyaan Xioba.
"Yu..." panggil Xioba karena tidak kunjung mendapat respon.
"Aku tidak jadi makan, kalian habiskan saja." Yu berdiri dan langsung meninggalkan kedua temannya itu.
Xioba dan Yohan sama-sama bingung. Padahal Yu belum sempat menyentuh makanannya tapi dia sudah pergi.
"Kita bagi dua," ucap Yohan. Mumpung sudah dibayar jadi lebih baik dinikmati.
Xioba setuju. Mereka menikmati makanan sedangkan Yu tengah mengikuti seseorang. Siapa lagi yang bisa menarik perhatiannya kecuali wanita yang terkenal menakutkan oleh sebagian besar mahasiswa kampus.
Yu mengikuti sampai ke taman yang cukup sepi. Namun ia tidak bisa lebih mendekat, apalagi wanita tersebut tengah berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
Sebenarnya Yu tidak ingin menguping. Namun mendengar bagaimana Arabella tampak frustasi, ia semakin penasaran.
"Ternyata Papanya," ujar Yu dari dalam hati. Yu hanya menunggu sambil bersandar dipohon. Dia tidak ingin pergi dari sana.
Tidak lama panggilan selesai, Yu melihat Arabella menangis. Tentu saja ia terkejut. Baginya hal ini adalah sesuatu yang baru. Kalau saja Yu tidak waras, ia mungkin akan merekam momen tersebut.
"Apa tawaran kemarin masih berlaku, Prof?" tanya Yu setelah tangisnya mereda.
Tentu saja pertanyaan Yu membuat Arabella sangat terkejut. Jangankan tentang pertanyaannya, kehadirannya sudah sangat mengejutkan. Arabella terjatuh ke tanah saking terkejutnya. Namun Yu tidak berinisiatif untuk membantu atau hanya sekedar mengulurkan tangan. Yu masih berdiri dengan wajah polos. Kacamata tidak lepas dari matanya.
"Bagaimana, Prof?" Yu kembali bertanya dengan wajah polos. Berhubung tidak ada respon, Yu harus bertanya kembali untuk memastikan. Kali saja saking kagetnya, Arabella tidak mendengar perkataan Yu.
Arabella tidak menyangka Yu bisa bertanya dengan wajah polos seperti itu. Apalagi saat keadaan Arabella memalukan seperti sekarang. Apa dia bodoh sampai tidak bisa memahami keadaan? Arabella tidak mengerti. Kepalanya sudah cukup pusing.
"Pergi!" usir Arabella yang sudah bangkit dari tanah. Ia membersihkan tangan dan kain bagian belakang tubuhnya yang terkena tanah. Dari banyaknya manusia, Arabella paling tidak ingin bertemu dengan pria didepannya ini. Kalau boleh pilih, lebih baik bertemu dengan Prof Takashi daripada Yu.
Yu menggaruk leher yang tidak gatal. "Pergi kemana?" tanyanya.
Arabella ingin berteriak saking muaknya. Pria di depannya tidak hanya gila, tapi juga bodoh. Dia tidak bisa memahami situasi dan malah membuat Arabella tambah malu. Lebih baik Arabella yang pergi sebelum terjadi wajah tampan pria itu rusak karena dirinya.
Arabella berusaha mengabaikan Yu. Anggap saja seperti pohon yang tidak bersuara sama sekali.
"Prof..." panggil Yu.
Arabella pura-pura tidak dengar. Langkah demi langkah membuatnya menjauh dari Yu. Arabella kembali ke ruangannya. Disana lebih baik untuk menenangkan diri sementara waktu.
Yu tidak mengejar. Dia masih berdiri sambil menatap sosok yang sudah hilang dari pandangan. "Menarik," lirihnya sambil tersenyum penuh arti.
Yu memutuskan untuk kembali ke kantin. Ternyata perutnya masih lapar. Lebih baik Yu mengisi perut terlebih dahulu sebelum menghadapi Arabella kembali.
Disisi lain saat sampai di ruangan, Arabella mengambil cermin di laci. "Memalukan," lirihnya saat melihat bagaimana wajahnya di cermin tersebut. Make up tipisnya luntur sehingga pada bagian bawah matanya berwarna hitam.
Arabella sudah menunjukkan dua hal memalukan kepada Yu. Selanjutnya apa lagi? Apa perlu ia jungkir balik? Akhir-akhir ini hidupnya seperti tidak tertebak sama sekali. Biasanya Arabella menjalani hari dengan tenang. Namun sekarang tidak lagi.
Arabella mengambil tisu dan mulai membersihkan wajahnya. Kalau dipikir-pikir, kenapa tadi ia menangis? Arabella tidak pernah menangis di tempat terbuka. Pilihan yang paling baik adalah di kamarnya sendiri atau di kamar mandi. Tapi tadi dia menangis di tempat umum.
***
Arabella sudah sangat lelah. Ia butuh ranjang untuk merebahkan tubuh. Banyak yang terjadi seharian ini. Apalagi ia harus mencari seorang pria untuk dikenalkan kepada Papanya. Sampai matipun, Arabella tidak mau menikah dengan Brian. Apapun akan ia lakukan walaupun menikah dengan orang asing sekalipun.
Arabella melangkah sambil membawa tas laptop. Dia menuju ke mobil.
Arabella membuka pintu mobil. Kemudian meletakkan tas laptop di kursi belakang.
"Selamat sore, Prof."
Deg! Jantung Arabella berdetak dengan cepat. Suara yang tidak asing, bahkan dia sangat mengenal suara tersebut tanpa melihat orangnya.
Arabella menutup pintu kursi belakang. "Ada apa?" tanyanya langsung. Arabella ingin segera kabur. Dia tidak ingin berurusan dengan sosok pria di depannya lagi.
Arabella sudah mengambil keputusan yang salah. Seharusnya dia tidak mencari pria untuk dinikahi dari mahasiswa di kampus ini. Arabella memang bodoh.
Yu memberikan secarik kertas. Tentu saja Arabella kebingungan.
"Apa ini?"
"Nanti malam jam delapan, kita bertemu di cafe ini," jelas Yu.
"Saya ti-"
"Apa Anda ingin kabur, Prof?" Yu tersenyum sampai matanya menyipit.
Bukannya terpikat, Arabella malah semakin kesal melihat senyum pria tersebut.
"Baiklah. Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita." Lebih baik Arabella segera menyelesaikan benang kusut diantara mereka. Lebih tepatnya menjelaskan apa yang sudah Arabella lakukan kemarin.
"Kita lihat saja nanti, " balas Yu. Setelah itu, dia pergi menjauh dari Arabella.