Kamania meringis pelan setelah meminum obat, karena luka di sudut bibirnya tidak sengaja terkena pinggiran gelas. Bergegas Kamania memeriksanya di cermin, dan detik itu juga ia mengembuskan napas lega, karena lukanya tidak berdarah.
Tidak perlu lagi Kamania jelaskan ia memperoleh luka ini darimana. Tapi, satu hal yang Kamania syukuri, karena sebagian memar-memar yang sudah lebih dulu ada, mulai terlihat samar. Mungkin besok akan hilang.
Setelah selesai dengan semua obat-obatannya, Kamania meletakkan kembali kotak P3K kecil yang dibelikan oleh ayah, juga mengumpulkan bungkus obat yang sudah kosong untuk dibuang. Saat melewati nakas yang berada di dekat lemari, langkah Kamania terhenti. Ada benda yang mencuri perhatiannya. Hingga menarik Kamania untuk mendekat, lalu segera mengambil benda itu.
Bandana putih dengan kedua kuping sebagai hiasan terlihat sangat lucu. Ini pemberian dari Shaka, katanya Shaka ingin melihat Kamania memakainya. Tapi, waktu itu Kamania menolak untuk memakai langsung setelah mau menerima. Karena Kamania malu, mungkin ia tidak selucu yang Shaka pikir. Karena wajahnya yang memar-memar, tidak mendukung memakai aksesoris perempuan.
Lalu hari ini tiba-tiba saja Kamania terpikir untuk memakainya. Bukan semata untuk memenuhi keinginan Shaka, tapi karena ia benar-benar menyukai bandana ini. Dulu, ibu yang membelikan berbagai jenis hiasan rambut untuk Kamania, bahkan ibu sering menata rambutnya secantik mungkin. Karena kata ibu, selain memiliki kulit yang bersih, Kamania juga mempunyai rambut yang indah.
Bergegas Kamania mendekati cermin, memasang badana itu lebih dulu sebelum kemudian mengurai rambutnya yang sedari tadi diikat. Pelan-pelan sudut bibir Kamania melengkung ke atas, menandakan ia benar-benar senang dengan penampilannya.
Di saat Kamania masih betah memandangi wajahnya dari pantulan cermin, terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Bergegas Kamania keluar dari kamar, dengan perasaan antusias memenuhi karena Kamania tahu itu adalah Shaka. Kamania tidak sabar, ingin tahu benda apa lagi yang akan Shaka bawa.
Kunci yang Kamania sembunyikan dari ayah belakangan menjadi berguna karena adanya Shaka. Dengan cepat Kamania memutar handle pintu lalu menariknya dengan sekuat tenaga. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat Shaka berdiri tepat di depan pintu, bahkan tanpa sadar Kamania melambai-lambaikan tangan.
Shaka berdehem, ia sempat memalingkan wajah karena sedikit malu. Penyambutan macam apa yang Kamania lakukan ini? Karena demi apa pun, Shaka merasa Kamania ... imut. Terlebih lagi, dengan bandana yang dipakainya.
“Kamu kenapa?” tanya Shaka pura-pura acuh. “Di dalam membayangkan apa, sampai tersenyum selebar ini? Aku bahkan hampir bergidik saat melihatnya.”
“Benarkah?” Dengan polosnya Kamania menggerakkan tangannya. “Ah, mungkin karena bandana ini. Shaka ... apa Kama terlihat makin jelek?”
“Ya, sangat jelek. Sampai mataku gatal.”
Keantusiasan tadi langsung padam begitu saja. Tangan Kamania langsung menyentuh bandananya, berniat ingin melepaskan dalam satu tarikan. Namun Shaka tiba-tiba bertanya, “Hei, kenapa memegangnya seperti itu?” Membuat pergerakan Kamania terhenti. “Jangan bilang, kamu tersinggung dengan ucapanku?”
Sekarang Kamania jadi bingung, tadi kata Shaka jelek sampai membuat matanya gatal. Sekarang, ditanya apakah Kamania tersinggung. Jadi, apa mau Shaka sebenarnya?
“Tetap pakai saja. Selagi kamu menyukainya, abaikan pendapat orang lain.” Shaka berdehem lagi. “Kalau dilihat-lihat, makin lama makin cocok juga bandana itu di kepalamu.”
Bibir Kamania langsung mengerucut. Sengaja ia menekankan pergerakan tangannya, agar Shaka merasa tertohok, “Dasar Shaka plin-plan!”
Mau tidak mau Shaka terkekeh. Mereka masuk bersamaan, dengan Kamania yang masih betah menyentuh bandananya sementara Shaka melepaskan tas gitar yang memang sedari tadi berada di pundaknya.
“Kama, kamu tidak menanyakan benda ini?” tunjuk Shaka dengan kendikkan wajahnya. “Aku tidak membawa paper bag lagi, melainkan gitar. Tidakkah kamu penasaran untuk apa?”
“Memangnya untuk apa?”
“Kamu sama sekali tidak bisa diajak kerja sama. Seharusnya sedikit terkejut, atau apa pun itu. Bukan sebiasa ini.”
“Eh ... Kama salah lagi?”
Shaka berdecak. Dengan mengabaikan Kamania, ia membuka tas gitar kemudian duduk di kursi tunggal. Beberapa saat ia terlihat fokus dengan gitar tersebut. Sampai Kamania yang perlahan mendekat pun tidak membuat Shaka beralih pandang.
Hingga beberapa saat kemudian, Shaka akhirnya bicara, “Kama, kamu mau bernyanyi untukku? Gitar ini terhitung baru kubeli. Aku berlatih keras menggunakannya untuk satu lagu. Dan hari ini, aku ingin menunjukkannya di depanmu.” Kemudian Shaka mendongak, tatapan mereka langsung bertemu. “Aku belum pernah menunjukkan permainan gitarku di depan orang lain. Karena, aku ingin kamu menjadi orang yang pertama.”
Permintaan Shaka ... membuat Kamania diam. Ini berat. Bukankah selama ini Shaka tahu, kalau Kamania tidak pernah berbicara. Satu-satunya komunikasi mereka dengan bahasa isyarat juga bahasa tubuh. Kalaupun Kamania menggerakkan bibirnya, tidak akan ada suara yang keluar dari sana.
“Apa terlalu berlebihan?” tanya Shaka.
Kamania menunjukkan raut sedih, dengan sendu ia menggerakkan tangannya. “Bukan. Shaka tidak pernah meminta apa pun dari Kama, ini adalah yang pertama. Tapi ... maaf, Kama tidak bisa. Maaf, Shaka ...”
Shaka menggeleng. “Hei, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Tapi, sebagai gantinya, maukah kamu mendengar permainan gitarku?”
“Tentu saja,” jawab Kamania cepat.
Shaka tersenyum. Ia mengangguk kemudian bersiap dengan gitarnya. Kamania pun begitu, memperbaiki duduknya agar nyaman mendengarkan.
Hingga Shaka mulai memetik gitar dan terdengar bunyi yang ditimbulkan dari sana. Untuk beberapa saat, Kamania berpikir karena merasa ini seperti tidak asing. Kamania pernah mendengar lagunya, tapi Kamania lupa itu lagu apa.
Beberapa saat terlewat, Shaka mulai rileks memainkannya sementara Kamania menikmati. Bisa dikatakan, Shaka bagus untuk ukuran orang yang baru belajar. Jari-jari besarnya terlihat tidak kaku.
Sampai di penghujung lagu yang Shaka nyanyikan dalam hati, ia melambatkan tempo petikannya. Shaka mendongak, ia tersenyum pada Kamania hingga lagu berakhir. Segera Shaka letakkan gitar di atas meja, tidak lupa Shaka meregangkan hari-jarinya yang terasa penat.
“Bagaimana?” tanya Shaka dengan alis dinaik-turunkan.
“Bagus.” Kamania bersungguh saat mengatakan itu. “Sepertinya tidak asing ... apa Kama dan Shaka pernah mendengar lagu ini?”
“Tentu saja pernah. Aku yang menyuruhmu untuk menghapalkan liriknya. Harapan tersemat di situ, ingin kamu bernyanyi. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa membawakannya sendiri dengan gitarku.”
“Maaf, Shaka ...” pinta Kamania dengan wajah memelas.
“Sudah, jangan merasa bersalah seperti itu. Wajahmu seperti anak kucing.”
Gagal sudah Kamania sedih, ia menggeleng dengan mata sedikit melebar. Katanya, “Jangan disamakan Kama dengan binatang.”
“Anak kucing ‘kan imut,” ujar Shaka tak mau kalah. “Jadi, kamu mau tahu lagu apa yang tadi?”
Kini Kamania mengangguk kuat. Ia kembali memasang wajah seriusnya, seolah seperti menunggu soal ulangan yang akan diberikan guru. Wajah Kamania yang ini berhasil membuat Shaka terkekeh geli.
“Figh for Fighting. Masih ingat tidak? Seminggu yang lalu kita mendengarkan ini.”
“Ah, pantas saja Kama lupa. Rupanya, sudah lumayan lama ...”
“Ingatanmu buruk sekali.”
“Tapi, Shaka, untuk apa lagu ini?” tanya Kamania penasaran.
Shaka berdehem. Ia mengusap tengkuknya tanda sedikit malu. “Aku ... ulang tahun, Kama. Hari ini.”
“Benarkah?” Kamania melotot. “Kenapa tidak memberitahu Kama lebih awal? Setidaknya ... setidaknya Kama bisa memberikan ucapan selamat, saat tidak bisa membeli kado atau pun membuat kue ...”
“Tidak perlu.” Tangan Shaka mengibas-ngibas. “Dibandingkan itu, lebih baik kamu mengabulkan satu permintaanku saja.”
“Apa ...?” tanya Kamania lamat-lamat. Ia takut, karena mungkin saja Shaka meminta hal yang aneh-aneh.
“Ya atau tidak? Aku tidak akan membertahu permintaannya sebelum kamu mengatakan ‘ya’.”
“Shaka, kok, begitu? Mana bisa Kama tahu kalau Shaka tidak memberitahu permintaannya.”
“Ini ulang tahunku, Kama. Tolong angguki, sekali saja ...” Wajah Shaka berusaha dibuat memelas, namun gagal. “Kita berteman. Tidak mungkin ada teman yang menolak permintaan temannya.”
Kamania bimbang sekarang. Kalau saja ia tidak dalam kondisi ini, pasti tanpa pikir panjang Kamania langsung mengangguk.
“Kama, aku menunggu jawabanmu ...”
Shaka sudah banyak memberi Kamania. Bahkan bisa dibilang, hari-hari Kamania berwarna semenjak kedatangan Shaka. Apakah ia harus mengabulkan permintaan Shaka?
“Karena kamu tidak bernyanyi, maka aku meminta ini saja. Tolong katakan ‘ya’ untukku, Kama ...”
Kamania menghela napas berat. Beberapa saat kemudian, Kamania akhirnya mengangguk. Membuat Shaka yang tadi uring-uringan tidak jelas, langsung menegakkan punggungnya detik itu juga.
“Benar? Kamu mengabulkan apa saja keinginanku?”
“Iya ...” kata Kamania, dengan ragu tentunya.
Shaka tersenyum. Ia sempat berdehem sebentar sebelum kemudian memberitahukannya, “Keluar satu hari bersamaku besok. Kita akan mengunjungi berbagai tempat.”
Ada binar kaget dari mata Kamania. Ia langsung menggeleng. “Tidak, Shaka! Kama tidak bisa!” tolaknya panik. “Ayah ... Kama takut ayah tahu.”
“Ayolah. Bukankah selama ini kita sudah melakukannya dengan baik? Kamu bilang, ayahmu selalu pulang malam. Aku janji, kita tidak akan lebih dari pukul lima Kama.”
“Tidak bisa ... Kama tidak bisa mengabulkan keinginan Shaka ...”
“Sekali ini saja. Bukankah kamu tadi setuju untuk apa pun?”
Kamania sedih. Rupanya ini alasan Shaka memintanya menjawab sebelum diberi pertanyaan.
“Kama ... aku janji, tidak ada yang terjadi saat kita keluar. Semuanya akan aman.”
“Tapi, Shaka, Kama ... takut.”
“Aku yang akan bertanggungjawab.”
“Shaka, ayah ak–”
“Kama ...” mohon Shaka. Kali ini ia benar-benar serius dalam meminta. Tidak ada lagi binar bercanda.
Kamaia merasa serba salah. Ia terlanjur mengabulkan apa saja, sementara permintaan yang Shaka ajukan terlalu berat.
“Kamania ...”
Lagi-lagi, Kamania tidak akan tahan dengan permintaan seperti ini. Kembali ia terpaku pada kata, Shaka sudah banyak memberi Kamania, sedangkan ia belum pernah sama sekali. “Apa ... apa dengan ini, Shaka senang?” tanyanya lirih.
“Ya. Ada banyak yang ingin kutunjukkan padamu, Kama. Aku ingin membawamu keluar dari sangkar ini, walau hanya satu hari ...”
“Shaka janji ... kalau ini tidak apa-apa?”
“Aku usahakan tidak akan ada yang terjadi setelahnya.”
“Kalau Shaka maunya begitu ... Kama bisa apa? Lagipula, bukannya Kama harus setuju apa pun permintaan Shaka?”
Detik itu juga Shaka mendongak. Tangannya mengepal ingin bersorak, tapi sebisa mungkin ditahan. Alhasil, ia hanya bisa berdehem untuk meredam semuanya. “Terima kasih, Kama,” ucap Shaka berusaha kalem.
Kamania diam sesaat, sebelum mengangguk. Ada banyak ketakutan yang bercokol, tapi ia percayakan semuanya pada Shaka. Mereka besok ... akan baik-baik saja, bukan?
***
“Ini waktunya Anda mengunjungi rumah besar. Beliau selalu menanyakan, kapan cucunya akan menengok. Beliau bilang rindu. Anda sulit ditemui dan susah diminta untuk datang. Ini sudah dua bulan lamanya.”
Sebelah tangannya terangkat, tanda meminta untuk berhenti. Sementara itu tidak ada jawaban yang terlontar, seolah ia terbiasa bersikap semena-mena seperti ini.
“Saya akan mengosongkan jadwal besok. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk Anda mengelak.”
“Indra,” gumamnya memperingati.
“Tidak untuk kali ini. Penolakan jenis apa pun, tidak diterima lagi. Temui beliau, satu dua jam tidak apa-apa.”
Geraman rendah terdengar. Namun, seseorang dengan nama Indra itu terlihat tenang. Ia sudah terbiasa. Segala sifat tuan mudanya, hampir semua diketahui oleh Indra. Bisa dibilang, ia orang terlama bersama pria ini.
Sebelum menjadi asisten seorang Rajata Bagaspati Adyatama, Indra lebih dulu bekerja pada orang tuanya. Tetapi karena kejadian naas yang menimpa, sekejap mata semuanya berubah. Pada Rajata-lah Indra bekerja. Bisa dibilang ia menyaksikan tumbuh-kembangnya anak ini, dari usia 15 tahun yang sama sekali belum memikul tanggung jawab, sampai umur 30 tahun mengemban perusahaan inti Adyatama Group sebagai seorang CEO.
“Bukankah hanya ini yang kau sampaikan?”
Indra mengangguk sekali. “Kalau begitu, sampai bertemu besok. Saya akan mengingatkan Anda lagi.”
Rajata melirik tanpa ekspresi, hanya anggukan kaku yang ia layangkan. Bibirnya membentuk garis lurus, menandakan bahwa ia tidak ingin direpotkan lagi, meski hanya mengeluarkan sepatah-kata.
***