Sepertinya Shaka senang membelikan hiasan kepala untuk Kamania. Buktinya kali ini ia mendapat topi kupluk wol hitam, yang tidak tertinggal adalah kedua kuping yang menyembul, membuatnya terkesan lucu. Kamania memakainya dengan rambut diurai, membuat terasa pas saat dilihat.
Mobil Shaka melaju membelah jalanan. Kamania seperti pertama kalinya melihat dunia, ia takut namun tidak bisa diam karena setiap yang dilewati selalu saja dilihatnya. Bahkan Kamania rela menoleh ke belakang, hanya untuk melihat tulisan tugu selamat datang yang warna catnya seperti baru.
Kedua tangan Kamania saling meremas, ada keringat di dalam sana yang membuat terasa lembab. Padahal mobil Shaka ber-AC, tapi itu rupanya tidak berefek apa-apa pada Kamania. Rasanya berdebar sekali, karena ini pertama kalinya Kamania keluar lagi setelah hampir sepuluh bulan lamanya terkurung di rumah.
Sementara itu, Shaka sesekali melihat Kamania. Dalam diam ia mengamati, sambil berusaha membagi fokusnya antara jalanan dan Kamania. Shaka belum ingin mengajukan pertanyaan. Ia biarkan Kamania dulu dengan apa yang dilihat gadis itu. Shaka berikan waktu untuk merekam semuanya, karena mungkin saja setelah ini, tidak ada kesempatan lagi untuk mereka keluar bersama.
Tempat pertama yang akan Shaka tuju adalah wahana hiburan. Ini memang ulang tahunnya, tapi demi apa pun Shaka ingin membuat Kamania bahagia. Dengan mengunjungi tempat-tempat yang membuat Kamania terhibur, agar sedikit bisa melupakan apa saja yang selalu didapatnya di dalam sangkar itu.
Mereka tiba di wahana hiburan yang bernama Taman Impian Esia. Shaka memberikan kebebasan pada Kamania untuk menaiki wahana apa saja begitu mereka berada di dalamnya, namun karena Kamania merasa bingung sekaligus linglung, akhirnya Shaka sendiri yang memutuskan.
Dengan memberanikan diri, Shaka menggenggam tangan Kamania. Menuntunnya untuk membeli tiket, kemudian ikut masuk barisan. Hingga beberapa saat kemudian tiba bagian mereka menaiki wahana kora-kora. Shaka sengaja duduk di paling akhir bersama Kamania, karena menurutnya tempat paling seru memang di sana.
Semua tempat sudah penuh, kemudian kora-kora perlahan bergerak. Awalnya pelan lalu semakin lama semakin cepat. Shaka tidak henti-hentinya mengamati Kamania. Jika perempuan-perempuan yang ada di sini menjerit, maka berbeda dengan Kamania. Ia hanya memejamkan mata erat-erat, dengan sebelah tangan mencengkram lengan Shaka, sementara tangan yang lain berpegangan sandaran yang ada di depan mereka.
Sesaat Shaka tertawa, kenapa ia jadi merasa gemas alih-alih khawatir? Karena jujur saja, Kamania masih keras kepala menyimpan suaranya, alih-alih mengekspresikan dengan teriakan yang keras. Padahal tindakan itu lumayan melegakkan sebenarnya.
Lalu setelah kora-kora, ada halilintar lagi yang mereka naiki. Ini juga merupakan pilihan Shaka. Kenapa ia selalu melabuhkan pada yang ekstrim? Karena ia ingin, saat mereka di luar, Kamania bisa bebas sebagaimana asalnya. Tetapi, sudah Shaka bilang gadis ini keras kepala. Ia juga tidak berteriak lagi di wahana halilintar ini.
Hinggga Shaka memutuskan untuk menyudahi setelah menaiki dua wahana tersebut. Sebelum keluar, mereka sempat membeli minuman juga makanan ringan sebagai ganjalan perut selama di perjalanan.
Jam menunjukkan pukul sebelas saat mereka sudah memasang sabuk pengaman. Shaka menyalakan mesin mobil, namun tidak langsung menjalankan. Ia sepenuhnya menatap Kamania lagi, yang sepertinya masih terguncang dengan wahana yang barusan mereka naiki. Bahkan wajahnya terlihat pucat, namun sama sekali tidak menunjukkan keluhan di sana.
“Apa ini bisa disebut syok? Seharusnya aku meminta izin padamu lebih dulu, bukan memutuskan tanpa persetujuan.”
Seolah tersadar, Kamania lekas balas menoleh kemudian menggeleng cepat. Tangannya bergerak, meski terlihat seperti gemetaran. “Tidak. Kama ... tidak apa-apa. Lagipula ... ini ulang tahun Shaka, Kama harus mengabulkan semuanya, termasuk ... menurut dengan apa yang diinginkan Shaka.”
Tiba-tiba Shaka ingin tertawa. Tapi karena ia tidak mau membuat Kamania tersinggung, maka dari itu Shaka menjadikan punggung tangannya sebagai alibi untuk menyembunyikan. “Terima kasih. Kupikir, kadomu hanya menyetujui ajakanku. Ternyata ... apa yang menjadi pilihanku seharian ini, itu juga termasuk bentuk persetujuanmu.”
Lamat-lamat Kamania mengangguk pada Shaka. Ia mencoba menarik kedua sudut bibir, menampilkan senyum di sana untuk membunuh rasa tegang, takut dan gugup yang sedari tadi menerornya. “Kama yang berterimakasih, karena Shaka ... membayar ini semua. Seharusnya ... Kama-lah yang mentraktir, tapi ... Kama tidak punya uang ...”
Kali ini Shaka tidak bisa menahannya lagi. Ia tergelak, dengan tangan terulur mengacak-acak rambut Kamania karena gemas. “Sama-sama, Kama ... sama-sama ...”
Perjalanan kembali berlanjut, dengan Kamania mulai minum sedikit demi sedikit es yang mereka beli. Kamania juga bantu Shaka meminum miliknya sendiri, ini bukan kemauan Kamania, tetapi atas permintaan Shaka.
Dalam hati Kamania bertanya-tanya, akan ke mana lagi mereka? Namun begitu tiba di depan sebuah restoran, pertanyaan Kamania terjawab sudah. Mobil terparkir, mesinnya pun sudah dimatikan. Shaka melepas sabuk pengaman sembari berbicara, “Kamu harus tahu, ini restoran favoritku. Menu seafood di sini enak.”
Mendengarnya membuat Kamania penasaran. Mungkin dulu ia pernah merasakan makanan jenis ini, tapi sekarang ia sudah lupa bagaimana rasanya. Begitu melihat Shaka keluar, Kamania bergegas mengikuti. Namun ia gagal, karena tidak bisa membuka pintu mobil. Hingga bantuan dari Shaka-lah yang membuatnya berhasil keluar.
“Tidak perlu membuka sendiri, aku yang akan membukakan untukmu,” kata Shaka begitu mereka beriringan memasuki restoran. “Kama, jangan sungkan bertanya. Aku akan menjelaskan apa saja yang ingin kamu ketahui.”
Kamania mengamati sekitar dengan kagum, namun ia masih mendengar apa yang Shaka katakan. Maka dari itu Kamania mengangguk, sementara fokusnya tidak berada pada Shaka. Tangan Kamania ditarik lagi, mereka menuju tempat duduk yang berada di dekat kaca. Kamania dipersilakan duduk lebih dulu oleh Shaka, barulah Shaka mengisi tempat di seberang Kamania.
Pelayan datang dengan menyerahkan buku menu pada keduanya. Namun karena Kamania yang bingung, ia serahkan buku itu kemudian berkomunikasi dengan Shaka menggunakan bahasa isyaratnya. “Kama tidak mengerti, Shaka ...”
“Tidak apa-apa. Aku yang memilihkan untukmu,” jawab Shaka.
Pelayan itu sedikit kaget dengan interaksi keduanya, namun berusaha menormalkan ekspresinya. Shaka langsung menyembutkan apa-apa saja pesanan mereka, yang dengan sigap dicatat oleh pelayan itu. Setelah selesai, dengan sopan pelayan itu mengambil buku menu lalu pamit pergi.
Sambil menunggu, Kamania kembali lagi mengamati sekitarnya dengan kagum. Restoran ini benar-benar bagus, dengan banyak hiasan aneka hewan laut yang ada di setiap dinding. Bahkan ada kepiting paling besar, membuat Kamania tertarik melihatnya lama-lama.
“Jadi, sejauh ini apa yang kamu rasakan, Kama?”
Pertanyaan Shaka menarik fokus Kamania. Ia segera menoleh pada Shaka, lalu terdiam beberapa saat, atau lebih tepatnya sedang berpikir. Karena butuh waktu untuk mendeskripsikan apa yang Kamania rasakan.
Hingga beberapa saat kemudian, barulah ia terlihat menggerakkan tangan, “Kama awalnya takut, tapi ... makin lama perasaan itu makin hilang, berganti dengan rasa antusias dan takjub. Jantung Kama sampai berdebar, Kama selalu penasaran akan ke mana Shaka membawa. Tapi, Kama tidak ingin bertanya, sebab anggap saja itu seperti kejutan.”
Sudut bibir Shaka melengkung ke atas. Ada rasa bangga karena ia berhasil membuat Kamania menikmati. “Lalu ... apa tidak ada keinginan, untuk berhenti berbicara dengan bahasa isyarat?”
Mata Kamania sedikit melebar, namun dengan lekas ia menggeleng. “Tidak! Setidaknya, ini bisa mengingatkan Kama, bahwa semua yang kita lakukan ini sama seperti mimpi. Agar setelah Kama bangun, Kama tidak sepenuhnya terlena dengan semuanya.”
Shaka cukup mengangguk sekali, ia memaklumi dan menghormati keinginan Kamania. Ia tidak akan memaksa lagi. Karena sudah cukup, permintaan ini saja sebenarnya berat untuk Kamania, namun ia rela menyetujui demi Shaka.
Pesanan mereka tiba. Kamania kaget mendapati berbagai jenis menu di depannya. Namun saat Shaka bilang nikmati saja semua, perlahan-lahan Kamania ingin mencoba. Dimulai dari masakan kerang, udang bahkan cumi dan kepiting. Benar saja yang Shaka bilang, rasanya enak. Kamania juga menyukainya.
Makan berlangsung tanpa ada percakapan. Hingga setengah jam kemudian mereka selesai, dengan semua menu yang disapu habis oleh Shaka. Kamania tidak banyak mencicipi karena ia rasa perutnya tidak akan sanggup menampung.
Setelah membayar, mereka langsung keluar. Melanjutkan agenda yang hanya Shaka sendiri ketahui. Jam menunjukkan pukul dua belas siang, cuaca benar-benar terik membuat siapa saja tidak tahan berlama-lama di luar.
Tujuan Shaka selanjutmya adalah kedai es krim. Ia akan membelikan es krim kesukaan Kamania dan makan langsung di sana. Kemudian setelah dari kedai es krim, tempat terakhir yang akan mereka kunjungi adalah rumah opa dan oma Shaka.
Mobil memasuki halaman besar dan luas kediaman Ardian Adyatama bersama sang istri, Fatmawati Adyatama. Sebelumnya Shaka tidak memberitahu kalau ini tempat tinggal opa dan omanya, hingga yang ia saksikan sekarang tatapan terpana Kamania dengan bibir sedikit membuka.
Saat mobil Shaka bergabung bersama barisan mobil-mobil lainnya, ada sedikit kernyitan heran. Shaka melihat mobil yang tidak asing. Bahkan Shaka mengingat betul siapa pemilik dari mobil ini.
Rasa senang langsung menghinggapi Shaka, mungkin saja akhirnya sekarang ia bisa bertemu abangnya. Setelah sekian lama abangnya menghindar dari pertemuan keluarga, bahkan menghindari Shaka sendiri.
Dengan sedikit bersemangat Shaka mengajak Kamania keluar. Sebentar, ia akan mengajak Kamania berkeliling-keliling lebih dulu, melihat lemari khusus barang-barang Kamania lalu terakhir menemui opa dan oma untuk mengenalkan Kamania. Setelah mereka berbincang-bincang sebentar, mungkin saja Shaka akan membawa Kamania pada abangnya, ikut mengenalkan Kamania juga pada abangnya.
Kamania yang sedari tadi bingung dengan situasi, segera saja menarik lengan kemeja Shaka. Sebelum mereka masuk lebih jauh, alangkah baiknya Kamania tahu dulu. “Shaka ...” panggilnya dengan gerakan pelan. “Ini ... tempat siapa?”
“Ah, aku lupa memberitahu. Ini rumah opa dan oma.”
Kontan saja Kamania ternganga. Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu menatap Shaka lagi. “Sebesar ini?!”
“Seperti yang kamu lihat,” kata Shaka. “Lebih baik kita masuk, kamu akan mengetahui seperti apa isinya.”
Masih dengan takjub, Kamania mengikuti Shaka. Keramik lantai di bagian teras, tiang-tiang, bahkan tanaman yang menghiasi semuanya terlihat begitu elegan. Kamania saja yang menginjak merasa sungkan dan ragu, dalam hati ia bergumam, apakah pantas ia masuk ke rumah ini?
Pintu besar yang mereka dekati tiba-tiba terbuka secara otomatis, membuat Kamania terkejut lalu memandangi Shaka. Ia kira ada yang salah, namun Shaka dengan tertawa menjelaskan kalau pintu ini akan terbuka otomatis saat anggota keluarga datang. Ada sistem yang terpasang, hingga bisa mendeteksi orang-orang dengan mudah.
Di dalam ruangan yang luas, Kamania berpapasan dengan beberapa wanita yang memakai pakaian yang sama. Mereka terlihat sibuk, ada-ada saja benda yang mereka pegang. Lalu saat melihat Shaka, mereka berhenti sesaat hanya untuk menunduk hormat.
Inilah dunia n****+ yang sesungguhnya, pikir Kamania. Dan Shaka merupakan tuan muda, sementara ia sendiri adalah jelmaan upik abu yang bernasib tragis namun beruntung mempunyai teman seperti Shaka.
“Kama, aku akan menunjukkan tempat penyimpanan barang-barangmu.” Shaka menarik Kamania, keduanya sedikit berlari lalu memasuki sebuah ruangan. Ada banyak rak-rak buku besar, yang tentu saja isinya dipenuhi bermacam jenis buku. Dari yang tipis sampai yang paling tebal. Ada sebuah meja yang tertata rapi, juga satu set sofa yang terlihat indah sekali berada di tengah-tengah ruangan.
“Di sana,” tunjuk Shaka pada sebuah lemari paling pojok. “Aku sudah meminta izin pada opa, dan beliau dengan senang hati mengizinkannya.”
Mereka mendekati lemari yang dimaksud Shaka. Untuk kesekian kalinya, Kamania tidak bisa berkata-kata lagi. Dimulai dari memasuki ruangan ini saja, ia merasa ini adalah tempat paling nyaman yang sesungguhnya. Di mana ada aroma buku-buku yang menenangkan, membuat Kamania rileks. Lalu semua pembelian Shaka untuknya, begitu tertata rapi di dalam lemari. Kamania juga menemukan tulisan yang pernah ia buat dulu.
Kamania Arshavina, gadis yang hebat.
Langsun saja Kamania tertawa. Darimana Shaka mendapatkan ini? Padahal kalau tidak salah, sudah Kamania buang.
“Itu ... aku memungutnya,” kata Shaka seolah bisa membaca pikiran Kamania. “Dimasukkan ke dalam sini terlihat tidak buruk juga.
“Terima kasih, Shaka ...” ucap Kamania tulus saat menatap Shaka. Ditambah lagi gerakkan tangannya, “Kama banyak merepotkan Shaka, tapi ... Shaka teman terbaik yang Kama punya.”
Shaka tersenyum tipis. Ia menyudahi drama ucapan terima kasih, karena mendengar kata teman entah kenapa Shaka jadi tidak nyaman. “Kamu bisa menunggu sebentar di sini? Aku ingin menanyakan di mana keberadaan oma dan opa.”
“Tidak!” jawab Kamania spontan seraya menggeleng. “Kama ... bisa menunggu di luar saja? Di sini terlalu berlebihan.”
“Di mana? Di ruang tamu?”
“Tidak. Bisakah di ... di taman saja?”
Shaka terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk setuju. “Baiklah,” katanya.
***
Dua jam sudah Rajata di sini. Sepertinya waktu sedang mencemoh ia yang tidak berbakti, buktinya kedatangan Rajata menjadi hal yang sia-sia karena opa dan oma yang ingin ditemui, tidak berada di tempat.
Rajata memilih menunggu di kamar yang kadang ia tempat saat di sini, dengan mencoba memperpanjang kesabaran. Ia menjadikan sofa sebagai tempat untuk menunggu, sembari memejamkan mata layaknya orang mengantuk yang bersiap akan tidur. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, namun tidak ada kantuk yang menyerang. Percayalah, ini sudah biasa, jadi Rajata tidak kaget dengan kondisinya.
Ia masih bertahan seperti orang tidur. Dengan kedua tangan menopang dagu angkuh, sementara telinga dipasang awas untuk mendengarkan sekitar. Bunyi dahan pohon yang ditiup angin, serta daun-daun yang bergesekan membuat Rajata mengernyit dalam tidur palsunya.
Hingga di antara suara berisik yang menyebalkan, samar-samar Rajata mulai mendengar suara seseorang. Makin lama suara itu makin terdengar jelas, dari sini Rajata bisa menangkap kalau itu adalah sebuah nyanyian.
Suaranya merdu. Tidak, bisa dikatakan unik dan merdu. Kuping Rajata bisa menerimanya dengan baik, bahkan berhasil merilekskan tubuhnya. Lagu apa yang dinyanyikan orang ini? Rajata baru pertama kali mendengarnya.
Semakin lama rasanya semakin aneh. Ada hal lain yang Rajata rasakan karena nyanyian ini, matanya memberat dan perasaan lelah menyerangnya. Ini sangat mustahil, tapi benar adanya. Karena suara ini, Rajata berhasil merasakan kantuk yang luar biasa. Sesuatu yang sangat sulit sekali ia temukan di siang hari dan tidak akan ia dapatkan tanpa olah raga berlebihan di malam hari.
Keinginan untuk tidur atau melihat si pemilik suara itu berperang di kepala Rajata. Di satu sisi, ia tidak ingin melewatkan kesempatan langka ini begitu saja. Sementara di sisi lain, kalau ia tahu siapa pemilik suara ini, maka akan berguna juga untuknya.
Setelah banyak pertimbangkan, Rajata akhirnya menurunkan ego dengan melupakan kantuknya. Ia membuka mata, menampilkan iris cokelat yang begitu tajam. Dengan aura menakutkan, Rajata bangkit lalu mendekati jendela besar. Dengan teliti ia mengamati, tanpa ada ekspresi yang berarti.
Dan, ya, Rajata menemukannya. Di bawah pohon mahoni yang besar, Rajata bisa melihat sedikit punggung seseorang. Terlihat kecil sekali, mungkin akan patah dalam sekali cengkram Rajata. Tapi tenang saja, Rajata tidak akan mengusik seseorang menguntungkan untuk dirinya. Ia hanya sekadar penasaran.
Dalam sekali lompat, Rajata berhasil melewati jendela. Langkahnya begitu santai namun terkesan mengincar. Semakin terpangkasnya jarak, semakin tajam Rajata mengawasi. Nyanyian yang sempat terhenti tadi, kini terdengar kembali.
Rajata melihat ada helai rambut yang berkibar. Satu langkah lagi ia bisa mencapai batang pohon mahoni, namun tiba-tiba entah darimana suara seseorang terdengar memanggil, membuat Rajata menghentikan langkah lalu bersembunyi di balik pohon.
“Aku mencarimu. Sekarang ayo kita pulang, sebentar lagi pukul lima.”
Hanya itu yang Rajata tangkap, karena selanjutnya terdengar langkah menjauh. Geraman rendah keluar, menunjukkan kalau Rajata tidak senang dengan apa yang terjadi. Kepalanya memiring ke samping, dengan seringaian sinis muncul di sana. Sepertinya ... Rajata harus tahu pemilik suara ini.
***