Tatapan Ayah terlihat tanpa ada makna di dalamnya, namun Kamania merasa gugup dan sedikit gemetar. Pikiran buruk langsung berkeliaran, Kamania takut kalau kedatangan Shaka selama dua minggu berturut-turut ini telah diketahui ayah. Sudah Kamania usahakan agar tidak menonjolkan perubahan kalau ada yang mengunjunginya setiap siang, bahkan Kamania menolak semua benda-benda yang Shaka berikan, dengan dalih tidak bisa menerima karena Kamania merasa itu bukan haknya.
“Ke-kenapa?” tanya Kamania dengan isyaratnya. Berusaha Kamania menarik kedua sudut bibir, berharap agar merasa santai. Namun alih-alih demikian, justru itu terlihat kaku. “A-ada yang tertinggal?”
Ayah menggeleng. “Dahimu ... jangan lupa diobati dan diperban.”
Tanpa sadar Kamania menyentuh luka yang dimaksud ayahnya, kemudian tersenyum kering. Dengan cepat Kamania mengangguk. “I-iya. Langsung Kama obati ... sehabis ini.”
Setelah mengangguk, kali ini Ayah benar-benar pergi bekerja. Tanpa menoleh sedikit pun, sementara Kamania masih betah menatap punggung yang dulunya tegap itu kini mulai membungkuk. Sampai sekarang, Kamania tidak pernah tahu apa pekerjaan ayah. Yang Kamania tahu hanyalah, ayah pergi pukul delapan pagi lalu pulang hampir pukul sepuluh malam. Membawa kebutuhan dapur, serta obat dan perban yang sering Kamania perlukan.
Ayah sudah tidak terlihat lagi keberadaannya, maka dari itu Kamania bergerak untuk menutup pintu. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti karena bunyi klakson yang belakangan akrab didengar. Itu mobil Shaka. Kamania langsung kaget, jelas saja karena ini bukan pukul sebelas siang. Setahu Kamania, Shaka selalu datang di jam itu.
Tidak lama Shaka keluar, kedua tangannya tidak pernah kosong. Selalu ada saja barang yang ia bawa, entah itu makanan, buku, laptop, bahkan MP3 yang berisi lagu-lagu khusus dari penyanyi kesukaan Kamania.
“Kamu baik sekali, Kama. Ini pertama kalinya aku disambut, tanpa perlu mengetuk pintu berulang-kali seperti sebelum-sebelumnya.” Shaka menyeringai jahil. Begitu tiba di depan Kamania, Shaka mengacak-acak rambutnya tanpa permisi. “Muka ini tidak jelek padahal kamu tidak memakai bedak. Mungkin karena lebam serta luka-luka itu yang menjadikannya seksi.”
Sontak saja Kamania menepis, pipinya diam-diam merona malu karena pujian sedangkan gerak-geriknya menunjukkan salah tingkah dan kesal di saat yang bersamaan. “Shaka, jangan jahil. Kama tidak suka.”
“Wow! Tolong pelankan gerakan tanganmu, aku tidak bisa membacanya kalau terlalu cepat.”
Kamania melongos, pura-pura merajuk dan tidak ingin menjelaskan kembali. Detik itu juga Kamania berbalik, masuk ke dalam rumah lebih dahulu dengan harapan dalam hati Shaka mengikutinya serta tidak lupa untuk menutup pintu.
“Lihat di sini, Kamania kita sudah bisa merajuk. Dia bahkan tega memberikan punggungnya sendiri pada temannya. Padahal, temannya sangat baik karena mau saja memuji tanpa mengharapkan imbalan.”
Melihat Kamania tidak terusik sama sekali, Shaka terkekeh. Ia menutup pintu kemudian mendekati meja untuk meletakkan barang bawaannya. “Kama, kamu sudah makan? Aku belum. Sepertinya perutku ingin mencicipi masakanmu. Tenang saja, sebagai gantinya aku membayar dengan es krim.”
Masih punggung yang Shaka lihat. Benar-benar Kamania, kalau bertindak begini saja ia bisa keras kepala. Sementara dinasihati untuk kebaikan, menolak detik itu juga mentah-mentah. “Serius kamu tidak tertarik dengan bayaranku? Ini rasa cokelat, Kama. Bisa dikatakan kamu sakit kalau menolak es krim favoritmu ini.”
Belum sempat Shaka berkedip, Kamania sudah lebih dulu merespon dengan menoleh ke arahnya, juga menampilkan senyum dikulum. Tingkah menggemaskan Kamania sukses membuat Shaka menggeleng-gelengkan kepala, namun geli di saat yang bersamaan.
“Dasar Kama murahan. Diiming-imingi es krim mau saja.”
Cibiran Shaka membuat Kamania melebarkan mata, bibirnya mengerucut tanda tidak suka. Sementara kedua tangannya menyilang di depan d**a, dengan kepala menggeleng-geleng berulangkali.
“Iya, iya, aku hanya bercanda, Kama.”
“Keterlaluan!” omel Kama dalam sekali gerakkan tangan. Wajahnya masih cemberut, namun itu tidak menghentikan langkahnya untuk mendekati Shaka. Saat sudah berada satu langkah di hadapan Shaka, tangan Kamania terulur dengan telapak membuka. “Mana es krimnya? Diberikan dulu, baru Kamania siapin makan buat Shaka.”
“Astaga! Darimana gadis ini belajar bersikap begini?”
Kamania tersenyum polos. Ia menggeleng seraya tetap kekeh harus mendapatkan es krimnya, baru Shaka bisa mendapat keinginannya. Hingga akhirnya Shaka mengalah dengan memberikan es krim, Kamania langsung bersorak kegirangan sembari berucap terima kasih dengan gerakan tangan yang lambat.
Shaka mendengkus melihat itu. Akhirnya Kamania mau juga pelan-pelan, tadi saja Shaka meminta pengulangan karena tidak bisa membaca gerakkan tangannya yang cepat, Kamania tidak mau. Tapi, diam-diam sudut bibir Shaka melengkung ke atas, tingkah Kamania seperti anak kecil. Shaka menyukainya, apalagi saat Kamania tersenyum. Luka yang ada di wajah Kamania itu, sama sekali tidak ada artinya kalau Kamania sudah bertindak semenggemaskan ini.
Dua minggu yang tidak sia-sia. Dulu setelah Kamania akhirnya menerima kedatangan Shaka, keakraban tentu saja tidak langsung menjalin. Setiap Shaka datang, Kamania menyambut tetapi terkesan menjaga jarak. Bicara saja ia masih sungkan, padahal Shaka yang selalu berusaha memulai percakapan.
Hingga berlangsung pada hari kelima, barulah Kamania tertarik untuk memangkas jarak. Itu pun karena Shaka sedang menonton video klip dari penyanyi kesukaan Kamania dengan volume yang sengaja dibesarkan. Awalnya Shaka menjelaskan makna yang ada pada lagu itu, bahkan sampai berapa album yang sudah terjual semenjak lagu ini rilis. Jelas Kamania mendengarkan semuanya dengan saksama, karena ini menyangkut penyanyi kesukaannya.
Hingga setelah hari itu sampai sekarang, mereka benar-benar kembali seperti dulu. Di mana keduanya sama-sama bercerita, berdebat dan mengejek. Shaka juga diajari bahasa isyarat oleh Kamania. Saking niatnya, hari berikutnya Shaka membeli buku belajar dan membaca bahasa isyarat. Sampulnya terlihat seperti buku anak-anak, namun Shaka sama sekali tidak begitu peduli. Yang paling penting, ia harus bisa.
Dan benar adanya, buah dari pelajaran sunguh-sungguh Shaka menunjukkan kemajuan. Ia bisa membaca gerakan tangan Kamania, dengan catatan harus pelan. Sementara untuk berkomunikasi dalam bahasa itu sendiri, Shaka lumayan kesulitan. Karena yang itu lumayan tidak mudah.
***
Shaka menyandarkan punggungnya di kursi, dengan tangan menepuk-nepuk perutnya. “Kalau saja sebelumnya aku tahu masakanmu lumayan enak, aku lebih memilih makan di sini dibandingkan di luar. Padahal ini hanya kangkung, tahu tempe, ikan goreng dan sambal terasi, tetapi cara makanku seperti orang kesetanan.”
Kamania tersenyum geli di sela kegiatannya mencuci piring. Ada-ada saja Shaka, terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan. Padahal ini hanya masakan biasa, namun sepertinya Shaka menyukainya. Mungkin ini karena Shaka jarang menemukan makanan sederhana di lingkungan tempatnya tinggal.
“Kama, masih ingat dulu awal-awal kita berkenalan? Kamu selalu memanggilku ‘Kak Shaka’. Tapi setelah dekat, tidak ada lagi embel-embel itu. Malah kamu lancang. ‘Shaka, apa pendapat Shaka tentang blablabla’, ‘Shaka, Kama mau nyanyi’, ‘Shaka, bagaimana suara Kama?’.”
Shaka mempraktikkannya persis seperti Kamania dulu berbicara, hal itu mau tidak mau memancing tawa Kamania. Selesai dengan cuciannya, Kamania mengeringkan tangan dengan lap kemudian berbalik. “Itu bukan salah Kama, karena Shaka sendiri yang meminta untuk tidak memanggil Kakak lagi,” jelasnya dengan wajah serius. “Padahal dulu Kama merasa tidak enak, tapi sekarang ...”
“Sekarang apa?” ulang Shaka.
Bibir Kamania berkedut malu, ia menunduk untuk menghindari tatapan Shaka. Tangannya bergerak pelan dan terkesan dilambat-lambatkan. “Sekarang ... Kama sudah terbiasa. Akan tidak enak kalau Shaka ... meminta merubahnya lagi.”
“Hm, Kamania mulai menentang juga sekarang. Aku benar-benar terkejut.”
Gerakan Shaka yang mengusap dagunya sukses memancing tawa Kamania lagi. Setelah mengusap sudut mata yang berair, Kamania mengajak Shaka untuk keluar dari dapur yang merangkap ruang makan. Katanya tadi Shaka membawa n****+, sebelum habis jam mereka, Kamania ingin menyempatkan membaca walau hanya sampul muka.
Kamania selalu menjadikan ruang tamu sebagai tempatnya dan Shaka mengobrol, karena menurut Kamania, ruangan ini satu-satunya ruangan yang luas. Terlebih pintu berada tidak jauh dari mereka.
“Shaka, buku ini tebal dan berat,” kata Kamania setelah mengeluarkannya dari dalam paper bag. “Berapa harganya? Pasti mahal sekali ...”
“Kalau tidak salah, hampir seribu halaman. Jangan pikirkan harganya, yang penting kamu harus baca. Aku membelinya karena kamu menyukai tipe n****+ yang seperti ini.”
Kamania tidak senang dengan tindakan Shaka. Itu sama saja menghambur-hamburkan uang. Padahal sudah Kamania peringati, tapi Shaka masih saja ngotot selalu membeli benda apa yang menjadi kesukaan Kamania.
“Lalu, mau diapakan buku ini? Juga barang-barang yang Shaka beli selama menemui Kama? Tidak mungkinkan dibuang?”
Lama Shaka membaca gerakkan Kamania. Ia sesaat fokus karena berusaha mengeja kata-kata, hingga setelah mengerti, Shaka langsung menjawab, “Tentu saja tidak dibuang. Aku menyimpannya di tempat oma dan opa. Aku bahkan membeli lemari, khusus untuk menaruh barang-barangmu. Nanti kamu akan melihatnya langsung.”
“Tapi, itu ...” Kamania agak ragu mengatakannya, namun tetap meneruskan, “Tidak akan terjadi. Kama ... tidak pernah bisa melihatnya.”
“Siapa bilang?” Sebelah alis Shaka terangkat. “Tentu saja kamu bisa,” katanya.
Kamania diam, lebih tepatnya tidak ingin menanggapi lagi. Mengiyakan jelas saja tidak bisa, menolak pun sepertinya bukan hal yang tepat juga. Karena jujur, Kamania ingin sekali ke sana.
“Jangan terlalu keras berpikir, keningmu sampai mengerut,” sentil Shaka pelan pada dahi Kamania. Ia sempat terkekeh, kemudian bangkit. “Ya sudah, hari ini cukup dulu. Setelah dari sini, aku ada janji dengan opa. Katanya ada yang mau dibicarakan.”
“Kalau begitu ...” gerak Kamania lamat-lamat. “Terima kasih banyak, Shaka ... sampaikan salam Kama pada opa dan oma Shaka.”
“Tidak bisa.” Shaka menyentil Kamania lagi. “Sampaikan saja sendiri. Nanti ...”
Sebelah mata Shaka mengedip penuh makna, membuat Kamania bingung. Tetapi Kamania tidak ingin dibuat pusing memikirkannya, maka dari itu Kamaia memilih memasukkan n****+ yang belum sempat dibacanya ke dalam paper bag, kemudian menyerahkannya pada Shaka. “Hati-hati di jalan. Sampai bertemu besok, Shaka ...”
“Kamu juga. Sampai bertemu besok, Kama. Tetaplah hidup, aku tahu kamu lebih dari sekadar kuat.” Shaka menyentuh semua lebam yang ada di wajah Kamania, dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak, namun ia tulus mengatakan itu.
***