Setelah Cerai (10)

1601 Kata
Arka Harum kopi buatan Letia menguar mengusik Indra penciumanku. Istri cantikku membuatkannya spesial untuk menemani malam ini. Tak lupa sepiring pisang goreng dan kacang kulit yang dibelinya di waralaba terdekat membuat acara nonton tim bola kesayangan terasa sempurna. Sambil menimang Thalita yang setengah terlelap aku mengoyangkan tubuhnya dengan sepenuh persaan. Bayi tiga bulan ini terasa hangat dan lembut. Tubuhnya montok dan menggemaskan. Harum minyak telon dan baby cologne dari merk terkenal terasa lembut menubruk Indra penciuman membuatku makin ingin melesakkan hidung dalam- dalam di tubuh montoknya. Letia tampak hilir mudik menyiapkan makan malam kami. Perempuan itu memang sangat manis akhir- akhir ini. Semenjak Rumaisha pergi, Letia memang menjadi lebih dewasa dan keibuan. Empat bulan sudah Letia melahirkan, dia tak lagi banyak ke luar rumah. Dia juga belajar menjadi istri dan ibu yang baik. Tangan lentiknya kini akrab dengan cucian dan sapu. Letia juga ternyata jago memasak. Soal rasa masakannya, tak jauh beda dengan Rumaisha. Makin hari sikapnya makin membuatku sayang. Aku memang selalu mengirimi Gaza, anakku dari Rumaisha, uang bulanan. Aku juga tidak mempersulit pembagian harta gono-gini. Semua hak Rumaisha dan Gaza sudah aku transfer. Di luar dugaan, sikap Letia terlihat sangat mendukung. Dia juga yang menemani aku ngantri di bank, setelahnya kami menghabiskan senja dengan makan di Paris Van Java sebuah komplek perbelanjaan di kawasan padat di jalan Setiabudi. Di dalam bangunan swalayan yang megah, terdapat kafe yang berjejer menyediakan aneka menu. Kebanyakan menu Korean food dan masakan kekinian, itu malah membuat Letia senang. Selain makanan dan pemandangan eksotis dari pepohonan yang di tata cantik, deretan lampu dan air terjun langit di atap swalayan juga kerlip lampu kota Bandung menjelang malam sukses membuat mata Letia mengerjap indah. Dia bahkan tidak memintaku menginap di hotel apalagi minta belanja baju. Sebegitu manisnya Letia sekarang. Kemanisan yang bahkan sukses membuat aku perlahan melupakan bayangan Rumaisha dan Gaza. Thalita menggeliat halus, dia sudah tertidur dengan nyenyak. Sementara ibunya masih sibuk di dapur, aku membawa bayi mungil ini ke kamar biar aku tidurkan di kasur khusus bayi. Bayi mungil itu tidak bergerak saat tubuh gemoynya aku turunkan. Wajah cantiknya bahkan seolah tidak terganggu saat aku mengecup pipinya. Seperti Letia, Thalita pun sangat manis sikapnya. Bayi mungil ini berhasil membuat aku jatuh cinta dan mabuk kepayang. Wajah mungilnya terlihat begitu cantik. Mata, hidung dan semua yang dimilikinya adalah milik Letia. Milik perempuan yang selalu mengisi relung hatiku yang paling dalam. Setelah Thalita tidur sempurna aku meregangkan otot, agak pegal menggendong tubuh montok itu kalau kelamaan. Tapi asyik bukan? Aku bahkan kini tidak perlu aquarium untuk membuat rileks sepulang kerja. Apa kabar Aquarium kesayangan? Aku memberikannya pada pembeli rumah yang dulu kutempati bersama Rumaisha sebagai bonus. Aku juga menghadiahkan semua tanaman anggrek kesayangan Rumaisha. Letia tidak suka bunga, memberikannya pada yang lebih hobby akan membuat pekerjaan dia menjadi enteng. Apa kabar semua foto keluargaku bersama Rumaisha dan Gaza? Benda- benda itu masih teronggok begitu saja di gudang dalam kardus yang sengaja kulakban biar tak berdebu. Aku tidak sedikitpun memajang foto mereka. Mereka telah pergi. Bukankah kisahku dengan mereka telah selesai. Betul Rumaisha dan Gaza adalah masa lalu. Bahkan kenangan tentang mereka, tentang manisnya Rumaisha, tentang penurutnya Gaza, tentang cinta dan kelembutan perempuan berwajah sendu dengan mata bening itu telah pupus seiring hadirnya Letia dan Thalita dalam hidupku. Ibarat goresan di pasir pantai, kenangan tentang Rumaisha dan Gaza terhapus dengan sempurna saat ombak bahagia yang diberikan Letia datang dan berhasil menghapus dan menggantikan jejak mereka. "Sayang, aku tungguin. Kirain kemana." Sebuah pelukan di pinggang membuyarkan lamunan. Letia rupanya menyusul ke kamar. Meski habis memasak perempuan ini tetap cantik dan mempesona. "Jangan banyak ngelamun. Nanti kesambet, lho," Letia menggodaku . Aku tertawa, mengikut saja saat tanganku digandengnya ke meja makan. Untuk sekian kalinya Letia memberiku rasa yang tidak pernah aku dapat dari Rumaisha, tergila- gila. *** Waktu rasanya terlalu cepat berlalu. Tak terasa setahun sudah sejak Rumaisha pergi dari hidupku. Sungguh aku tidak lagi menyesali sosoknya yang kini hilang dalam hari- hariku. Aku bahkan nyaris melupakan dan menutup lembaran kisah yang pernah kulalui bersamanya. Bahkan aku tidak lagi banyak bertanya tentang Gaza. Terakhir Rumaisha mengabariku kalau Gaza akan melakukan operasi kembali. Operasi ketiga ini dilakukan setelah usia Gaza lima tahun. Aku hanya menulis kalimat berisi dukungan moral. Waktu Rumaisha menanyakan aku akan menunggui Gaza di rumah sakit, dengan cepat kujawab kalau aku sibuk. Sekejam itu memang aku yang sekarang. Apapun tentang Gaza dan Rumaisha rasanya sangat tidak menarik. Ibarat lembaran kertas yang makin buram, kehadiran mereka makin lama makin sirna ditelan masa. Aku menyeruput kopi di meja kerjaku dengan santai. Bukankah bersamaku kini ada Letia dan Thalita? Dua bidadari jelita ini sungguh memalingkan aku dari dunia. Mataku menerawang melihat jalanan di sebrangku berada. di bawah lampu jalan dan senja yang mulai merah, deretan kendaraan terlihat padat merayap.Teringat biasanya jam seperti ini aku sudah pulang. Dan selalu, hal yang aku lakukan adalah bercengkrama dengan Letia dan Thalita. Kalau pun aku ke luar rumah itu adalah agenda liburanku bersama mereka. Manis sekali. Aku tidak ingin kemanisan ini berakhir, kalau bisa untuk selamanya. "Bro, gue sudah sampai." Pesan Aidil kembali menghias layar ponselku. Hari ini aku ada janji dengan sahabat lamaku. Tak terasa pertemuan terakhir adalah empat tahun yang lalu. "Gue tunggu di lobby hotel." Aidil tidak tinggal di Bandung. Dia juga tidak sering ke sini, kalau pun sekali-kali mampir jika ada agenda kerja saja. Sebagai dokter spesialis di rumah sakit besar di Jakarta Aidil cukup sibuk. Begitu juga diriku semenjak diangkat menjadi projects manager di perusahaan yang biasa menangani proyek pembangunan infra struktur berskala cukup besar membuat hari- hariku makin padat. "Oke." Aku tidak perlu berpikir lama untuk mengiyakan. Aku juga sudah lama tidak berjumpa dengannya. Semenjak kecelakaan mobil yang dikemudikan pria berparas cool dan good looking itu hampir empat tahun lalu, aku nyaris tidak lagi saling bertemu. Kesibukan aku dan Aidil serta tempat tugas yang jauh membuat teman dekat semasa ngekost itu tak lagi saling berjumpa. "Aku di jalan Dago." Aidil menyebut nama salah satu Hotel bintang tiga yang cukup familier karena letaknya nyaris di belakang Institut technologi tempat aku dulu menimba ilmu. "Cepetan, Baraya. Gue kangen." Emot ketawa. Play boy satu ini belum berubah. Masih humble dan menyenangkan. Tak butuh lama, meski jalanan Bandung menjelang malam cukup padat, tapi karena jaraknya tidak terlalu jauh setelah menyetir sekitar tiga puluh menit aku sudah sampai. Aidil menunggu di salah satu pojok Kafe. Ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok. Setelah aku berpelukan dan memesankan satu lagi cangkir kopi untukku, pria tinggi yang dulu digandrungi para cewek itu mulai membuka percakapan. Suasana menjelang malam dengan angin yang terasa mulai dingin tak membuat suasana menjadi kaku. Kami berbicara panjang lebar sambil sesekali tertawa saat memutar kenangan sewaktu masih bersama. Termasuk membicarakan kehidupan keluarga masing- masing. Aidil hanya diam waktu aku bercerita tentang Rumaisha dan Letia. "Lo serakah banget. Gue menikah satu kali pun belum. Haha." Play boy satu ini ternyata masih bujangan. Aneh. Tapi aku tidak bermaksud kepo. Biarlah semua orang punya alasan dibalik pilihan hidupnya. "Lo normal ternyata. Gue pikir kakiku Lo, agak pincang setelah peristiwa kecelakaan itu." Aidil menepuk kakiku. Yang kujawab hanya dengan senyuman. "Gue sempurna. Kamu lihat?" Aidil mengangguk dan tertawa. "Gara- gara ikut Si Bahrul yang salah jalan, mobil gue nyungsep. Haha." Kecelakaan waktu touring bersama teman nongkrong waktu kuliah itu hampir empat tahun lalu, saat itu Rumaisha baru melahirkan Gaza. pria itu masih saja ingat padahal aku sudah melupakannya. "Lo, gak ambil hasl test kesuburan yang kutitip di Elin?" Tanpa diduga Aidil menanyakan hal itu. Elin adiknya yang tinggal di Bandung, dia bersuamikan seorang pengusaha kafe yang lumayan sukses. "Gue lama ada tugas diluar daerah. Hasil test itu gue titip di adik perempuan gue. Pas kemarin aku ketemu dia, dia bilang Lo nggak ambil- ambil." Wajah Aidil menjadi sedikit serius. "Gue bahkan sudah lupa. Apalagi waktu Lo seret- seret saat pemeriksaan di dokter urologi dan Andrologi." Aku tertawa. Teringat betapa ngototnya Aidil mengajakku test kesuburan paska kecelakaan itu. "Aku normal." Batinku dalam hati. Faktanya Rumaisha dan Letia melahirkan anak- anakku. "Lo gak penasaran? Ini gue bawa." Aidil mengeluarkan amplop putih berlogo laboratorium sebuah klinik dr tasnya. Niat banget kayaknya dia untuk menyerahkan hasilnya. "Baca, gue pingin lihat." Hadeuh. Ada- ada saja. Padahal ini kan privasi. "Nantilah di rumah. Gue yakin normal." " Oke." Aidil tertawa. Obrolan berubah topik. Aku dan Aidil ngobrol ke sana kemari. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Setelah bertukar nomor telepon yang baru, Aku segera pamit pulang. Aku tak ingin Letia dan Thalita lelah menungguku. *** Sebetulnya aku tidak begitu tertarik dengan hasil test kesuburan yang diberikan Aidil tadi sore. Tapi berhubung waktuku senggang karena Letia dan Thalita sudah tidur sejak tadi. Iseng- iseng aku membukanya. Punya teman dokter memang begini. Apa- apa harus dicek. Capek deh. Aku tersenyum saat membuka sampul amplop. Perlahan mataku merayap, membaca tulisan yang terdapat dalam lembar putih hasil test kesuburanku. Baris per baris aku baca pelan. Baru beberapa baris aku membaca hasil test pipiku terasa panas. Tidak mungkin. Dadaku berdegup, tapi terus aku paksakan berharap ada keajaiban dalam kesimpulan terakhir hasil test. Kepalaku makin bawah makin berat tapi aku maksa membaca sampai akhir. Kesimpulan terakhir : Imfertil. Wajahku terasa terbakar dengan denyut jantung terasa berhenti. Apa ini? Infertil? Aku mandul? Gemetar tanganku saat kembali menghubungi Aidil. Kutanyakan hasil testku dengan suara terbata. "Ternyata, kecelakaan yang kamu alami empat tahun lalu, membuat trauma pada testis dan gangguan di saluran s****a dan organ reproduksi. Semua itu mengakibatkan jumlah dan pergerakan spermamu tidak normal. Itulah sebabnya kamu mengalami kemandulan. Untuk jelasnya kamu hubungi dokter spesialis besok." "A-apa artinya semua ini Aidil?" "Hanya Gaza anak biologismu. Sedangkan Thalita...." "Thalita...Thalita, a-anak siapa, Aidil?" Tanyaku dengan d**a gemuruh dan mata berkunang- kunang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN