Setelah Cerai (9)

1443 Kata
Sejuknya udara pagi dan luasnya hamparan pematang sawah yang tengah menghijau menjadi pemandangan yang terasa akrab saat ini. Di sini, di sebuah pemukiman pedesaan yang terletak di kawasan Bogor timur, ditemani hijaunya sawah dan kokohnya gunung Pangrango dan gunung Gede yang bertengger membelah langit biru terasa memanjakan mata Rumaisha. Puncak gunung Pangrango yang biasa disebut puncak Mandalawangi terlihat indah di mata Rumaisha. Letaknya yang bersebelahan dengan gunung Gede, merupakan titik pertemuan tiga buah kabupaten yaitu, Cianjur, Bogor dan Sukabumi. Dari tempatnya berada, Rumaisha begitu senang memandang deretan gunung itu, seolah melambai dan mengajak Rumaisha untuk menutup lembaran kelam dalam hidupnya. Bapak dan Ibu meninggal tiga tahun lalu hampir bersamaan, hanya berselang beberapa bulan. Rumah yang sekarang ditempati Rumaisha adalah rumah kosong. Terakhir Bi Anah adik Bapak yang tinggal di sini. Tapi satu bulan yang lalu, Bi Anah ikut Wiwin anaknya yang tinggal di daerah Pasar Anyar dekat stasiun kereta api. Wiwin yang berprofesi sebagai pedagang, meminta Bi Anah tinggal bersamanya agar bisa membantu momong anaknya yang balita. Rumah Bi Anah yang terletak di sebelah timur rumah Bapak, kini sudah berpindah tangan. Saat Mang Sujadi suami Bi Anah sakit, rumah dan tanah adik perempuan Bapak satu-satunya habis dijual. Begitulah hidup, tak ada yang abadi. Meski di keluarga Bapak dialah yang paling berada, kini semuanya hanya masa lalu. Pada Bi Anah, Rumaisha banyak belajar. Saat hidup terpuruk, satu hal yang harus tetap dimiliki adalah rasa ikhlas dan sabar. Setiap lebaran dan acara di keluarga besarnya, Rumaisha selalu menyempatkan untuk pulang. Tapi kepulangan kali ini terasa begitu berbeda. Bukan hanya tak diantar oleh Arka, tapi juga membawa status sebagai janda. Rumaisha tidak menutup mata bahwa status ini akan terasa berat saat tetangga dan kerabat serta sahabatnya yang julid tahu. Masih muda dan menjanda, bukan gelar yang membanggakan. Akan banyak mata yang memandangnya curiga, pun mungkin sesekali cemooh dan cibiran dari orang-orang yang dalam hatinya tidak memiliki empati. Apalagi di desa seperti dirinya sekarang tinggal. Mungkin bagi sebagian orang, perceraian merupakan sebuah aib yang harus dihindari dan memandang kalau perempuan yang bercerai pasti ada masalah dengan dirinya. Tapi biarlah, bukankah hidup harus terus berjalan? Rumaisha tidak punya waktu untuk berpikir yang bukan-bukan. Bersamanya ada seorang anak yang memerlukan kekuatan dan ketegarannya sebagai seorang ibu untuk mendampingi hidup anaknya agar lebih indah dan ceria. Rumaisha tidak punya energi lebih banyak untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting, dia harus fokus mempersiapkan pengobatan Gaza. Minggu pertama kedatangannya adalah Minggu yang sibuk. Rumaisha membersihkan rumah almarhum orang tuanya. Dibantu beberapa kerabat dari bapak, Rumaisha membereskan semua perabotan rumah yang selama ini kurang terawat. Mengganti pot-pot bunga yang mengering dengan tanaman baru, mengecat dinding dan tidak lupa membetulkan plafon yang bocor. Halaman rumah yang luas dan tak terawat dia bersihkan dengan menyuruh orang. Rumaisha pun tidak lupa mengganti gorden rumah yang terlihat telah usang. Gaza tampak senang dengan aktifitas Mamanya. Dia berlarian ke sana ke mari dengan binar mata terlihat bahagia. Rumah ini tidak lebih besar dari rumahnya di Bandung tempat selama ini dia tinggal. Tapi udara di sini sangat sejuk dan segar. Halaman pun lebih luas dengan rumput yang kini rapi dan bersih. Gaza bebas berlari ke sana kemari tanpa takut ada yang melarang dan menyindir. "Rum, nanti lebaran Ceuceu pulang ke sana." Rumaisha tersenyum bahagia membaca pesan dari Ceu Hikmah, kakak perempuan sekaligus saudara satu satunya saudara kandung yang dia miliki. Rumaisha memang terlahir hanya dua bersaudara. Sebelum dirinya dijodohkan dengan Arka anak sahabat Bapak, Ceu Hikmah sudah menikah duluan dan merantau di tanah sebrang. Sedih memang, saat orang lain memiliki banyak saudara dan bisa berbagi kisah, Rumaisha harus puas berbagi cerita hanya lewat sambungan ponsel. "Jangan malu, Rum. Menjadi janda tapi berakhlak mulia lebih baik dari pada memiliki suami dari hasil merampas." Meski jauh, Ceu Hikmah tak pernah lupa menguatkan. Apalagi setelah tahu Rumaisha tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tua mereka. Ceu Hikmah makin sering menghubunginya. Ikatan darah diantara mereka membuat Ceu Hikmah ikut merasakan sakitnya terbuang dan tersisih. "Sabar, Rum. Jangan pernah sekalipun menangis di hadapan Gaza. Kamu lebih baik cari kegiatan positif." Rumaisha mengangguk. Meski jauh tapi Ceu Hikmah terasa begitu dekat. Kerabat- kerabat yang kebetulan tinggal berdekatan pun tidak ada yang bersikap aneh. Mereka memahami dan mengerti keadaan Rumaisha. "Sudahlah, Rum. Jangan banyak pikiran. Jaga kesehatan. Soal luka hati, nanti juga sembuh." Petuah Bi Jubaedah adik sepupu Bapak dengan lembut. Jari keriput itu mengusap punggung Rumaisha. Meski tidak jelas tapi terlihat mata tua itu berkaca. "Bibi tidak pernah bercerai tapi Bibi tahu, pasti sakit rasanya. Kalau semua urusan berbenah rumah sudah beres, agar tidak bosan, ikutlah pengajian sama Bibi. Gaza juga bisa banyak teman di sana, halaman musholanya luas. Banyak anak- anak yang main di sana." Rumaisha mengangguk. Entah mengapa sejak kembali ke rumah ini, walau hening tapi hatinya begitu hangat. "Ceu Rum, bukannya Gaza sudah mau lima tahun. Ajaran baru sekarang daptarkan saja dia di taman kanak- kanak- asuhan Bu Ida." Santi anak perempuan Bi Jubaedah yang hari itu ikut datang berkunjung memberi usul. "Kalau Gaza sekolah, nanti Si Regi anakku suruh nyamperin ke sini." Santi yang rumahnya tidak begitu jauh kembali memberi usul. "Tapi...tapi aku takut, anakku diolok- olok. Operasi bibir sumbingnya belum selesai karena nunggu umur. Aku takut dia ditertawakan karena bicaranya tidak jelas," jawab Rumaisha terdengar lirih. Bayangan Ibu mertua dan adik iparnya kembali berkelebat. Bayangan Arka pun kembali berkelebat. Mas Arka, pasti Gaza sudah hilang dalam hatimu. Pasti kau sedang berbahagia dengan putrimu yang cantik, desah Rumaisha sendu. Santi menggeleng. "Ceuceu gak lihat, dari kemarin Gaza anteng bermain di halaman dengan anak yang lain?" Rumaisha menggeleng. Dia memang melihat Gaza bermain dengan beberapa kawan sebaya dan tampak akur, tapi dirinya tetap ragu. Mungkin saja mereka baik karena Gaza baru saja datang. "Jangan resah, Ceu. Insyaallah anak- anak di sini baik. Sambil menunggu umur agar bisa dioperasi kembali, biarkan Gaza sekolah, biar dia banyak teman." Santi kembali meyakinkan. Rumaisha mengangguk. Entah mengapa dadanya begitu syahdu. Cara mereka menerima dan memahami kehadirannya begitu tulus dan apa adanya. "Ceu Rum juga kan bisa ngantar Gaza. Jadinya Ceu Rum punya kegiatan, nanti juga Ceu Rum lupa tuh sama si ganjen Letia." "Betul, Rum. Sakit hati itu akan pergi seiring waktu. Tersenyumlah. Allah bersama orang yang sabar." Bi Jubaedah kembali mengingatkan. Sosoknya yang lembut keibuan mengingatkannya pada sosok ibu, membuat Rumaisha tak terasa menahan rindu. Perempuan berwajah sendu itu tak sanggup lagi menahan air matanya. "Insyaallah, aku kuat Bi..." Tiga butir air mata kembali jatuh di punggung tangan Rumaisha. Menyisakan dingin yang terasa merambat sampai ke hati. *** Tak terasa tiga bulan sudah berlalu. "Ceu, pesan lagi gamis warna navy. Aku suka sekali, bahannya halus." Rustiah tetangga yang membeli rumah Bi Anah sore ini datang ditemani Santi. Padahal seminggu yang lalu dia sudah belanja dua buah gamis motif. Maklum dia banyak uang, suaminya yang kerja sebagai tenaga kerja asing di Dubai banyak mengiriminya uang. "Baik, Neng." Rumaisha tersenyum. Rustiyah masih muda. Baru menikah tapi sudah punya rumah dan sawah. Orang kampung biasa menyebutnya Neng Rustiyah. Setelah ngobrol sebentar, Rustiyah dan Santi pamit pulang. Mereka terlihat begitu antusias mendukung usaha Rumaisha yang memulai usaha jualan baju. "Tenang, Ceu. Nanti saudara- saudaraku kukasih tahu, biar belanja bajunya di Ceu Rum saja. Sudah kualitasnya bagus, murah, penjualnya pun ramah dan menyenangkan. Pokoknya Neng dukung usaha Ceu Rum. Jangan bersedih lagi ..." Sebelum pulang, Rustiyah memeluknya. Tak sedikitpun menjaga jarak dan merendahkan meski tahu dirinya janda. "Ya Allah, Ceu Rum. Tidak semua janda gatal." Rustiyah tertawa saat Rumaisha mengutarakan kalau dirinya janda. "Ceu Rum jangan banyak pikiran, pokoknya Ceu Rum nikmati hidup dengan bahagia. Kumpulin uang yang banyak buat bekal Gaza biar jadi orang." Rumaisha lagi-lagi mengangguk. Ada yang terasa hangat di sudut hatinya yang biasa penat. Tidak menduga kalau hidupnya terasa lebih ringan sesaat setelah pergi dari hidup Arka. Ting. Tiba- tiba sebuah pesan masuk dari gawainya. Setelah menutup pintu, Rumaisha duduk di kursi dan membuka pesan. Diana adik iparnya yang mengirim pesan. Pesan gambar seorang bayi mungil yang begitu cantik. "Telah lahir bidadari di keluarga besar kami. Talitha leticia binti Arka Raihan." Caption yang sederhana. Tapi tak terasa sederhana di hati Rumaisha. Mata Rumaisha menatap lekat gambar-gambar foto bayi kecil yang dikeliling oleh orang- orang yang sangat dikenalnya, Arka, Letia, ibu mertua dan Diana. Ekspresi wajah mereka sama, bangga dan bahagia dengan berbagai gaya. Senyum mereka mengembang seolah mengatakan pada dirinya kalau mereka paling bahagia. Ada yang lumer di sudut hati Rumaisha saat tak sengaja menangkap sosok Gaza yang sedang memainkan robot mainan kesayangannya sendirian. Robot mainan yang tangannya patah dan disambungkan kembali oleh Arka, Papa nya. Tak henti dipeluk dan dimainkannya, robot yang kini warnanya mulai kusam itu. Rumaisha mendesah sedih. Cara Gaza memeluk robot mainan itu seolah bibir mungilnya mengatakan sesuatu. Sepi dan rindu.... Duh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN