Enam

1758 Kata
Beberapa bulan kemudian... "Gimana rencana 2 bulan lagi? Kamu mau ikut atau di sini aja?" tanya Trisna kepada anak tunggalnya yang tak lain adalah Livya. Trisna berencana akan ikut suaminya urusan bisnis ke Indonesia, tempat asal mereka. Dia mengajak anak semata wayangnya yang sudah bekerja tersebut. Livya jarang mau ikut dirinya dan suami jika diajak bepergian jauh seperti itu. Jika berpergian jauh, Trsina dan suami tidak akan lama. Papanya Livya akan meminta adik perempuannya untuk memantau Livya. Kebetulan, adiknya itu sudah menetap cukup lama di Inggris. Livya berpikir sejenak. Sudah lama sekali dia tidak pulang ke tanah kelahirannya itu. Livya juga ingin bertemu dengan Ervan juga yang sudah mengurus perusahaan keluarga lelaki itu, namun tidak dengan Ray dan Anita. "Aku ikut deh, Ma. Udah lama, nggak ngambil cuti juga." Trisna manggut-manggut. "Tapi, Vy, kamu udah merasa lebih baik?" tanya Trisna agak khawatir. Psikologis Livya tampak baik-baik saja, bahkan anaknya itu sudah tidak berkonsultasi lagi. Tapi sebagai orang tua yang hanya mempunyai anak satu-satunya, Trisna masih sering mengkhawatirnya anaknya yang sudah tidak remaja lagi itu. Setelah melewati banyak tahun, beberapa bulan yang lalu itu adalah kali pertama Livya kembali histeris. Trisna kembali mengajak sang anak mendatangi psikiater. Sampai saat ini, Livya merasa lebih baik jika memimpikan hal yang sama. "Aku nggak apa-apa, Ma." "Ciee... anak cantik mama bakalan ketemu Ervan dong nanti?" goda Trisna. "Apaan sih, Ma?" protes Livya tampak tidak suka dengan mamanya yang masih saja menginginkan Ervan untuk menjadi pendamping hidupnya. "Sampai kapan pun, kita berdua bakalan tetap sahabatan. Nggak akan pernah lebih dari itu." "Tapi waktu itu Ervan pernah berniat ingin nikahin kamu, itu artinya- " "Nggak ada arti apa-apa. Dia cuma kasihan sama sahabatnya ini, nggak lebih. Dia nggak punya perasaan apa pun sama aku, begitu pun sebaliknya. Ervan punya seseorang yang dia cintai. Aku kan udah sering bilang sama Mama." Trisna menghela napas. "Apa salahnya jika mama berharap punya calon mantu yang baik dan ngertiin kamu banget kayak Ervan gitu, Vy? Jadi, mama bisa tenang melepas kamu." "Ma, Ervan nggak pantes buat bersanding dengan perempuan kayak aku. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik." "Tapi, Sayang... " "Bisa bahas yang lain aja nggak, Ma?" *** Sementara itu di lain tempat, Semakin hari Ray semakin merasa dadanya terbakar cemburu di saat Anita yang terus saja bercerita tentang Ervan kepadanya. Perempuan itu mengeluhkan sikap Ervan yang cuek dan ketus kepadanya. Ray sebenarnya sangat muak mendengarnya, namun dia sebisa mungkin berusaha mengendalikan diri agar tidak meledak di depan perempuan yang diinginkannya dari dulu itu. Dia tidak ingin penilaian Anita terhadapnya berubah. Ray senang dianggap sebagai seseorang yang selalu bisa diandalkan dan ada di setiap suka dukanya Anita. Saat ini, Anita baru saja pulang dari acara ulang tahun salah satu rekan kantornya. Ervan juga turut hadir di sana tadi. Setelah acara makan, mereka semua karoekean. Dan di saat Anita hendak pulang, Ervan malah ngotot ingin mengantarkan perempuan itu pulang. Ray mondar-mandir di depan rumah Anita menunggu kedatangan perempuan itu. Hatinya tidak tenang karena Anita belum juga pulang ke rumah. Apalagi, di sekitar perempuan itu ada Ervan. Dia ingin menjemput Anita tadi, namun perempuan itu mengatakan tidak ingin dijemput. Begitu melihat bayangan Anita yang berjalan mendekat ke arah pagar rumah, Ray langsung menghampiri perempuan itu. "Lo nggak apa-apa 'kan, An?" Ray langsung membawa Anita ke dalam dekapannya. "Lo berlebihan, Ray. I'm okay." Anita segera melepaskan diri dari dekapan Ray. "Lo ngapain di sini?" "Gue khawatir sama lo, An. Gue takut, lo bakal disakitin oleh cowok itu." "Ervan, Ray. Dia punya nama." "Masih aja ngebela dia." Ray berdecak kesal. "Udah tahu dia-- " "Stop, Ray! Gue nggak mau dengar apa pun malam ini. Gue ngantuk banget, mau istirahat. Besok aja ya, kalau mau ngoceh atau nasehatin gue." "Bentar, An, gue masih mau ngomong." Ray memegang pergelangan tangan Anita saat perempuan itu hendak masuk ke dalam pagar rumahnya "Kalau orangnya nggak mau, jangan dipaksa!" Ray sontak menoleh ke sumber suara--yang masih sangat dikenalinya walau sudah lama tidak mendengar suara itu. "Elo rupanya." Ray tersenyum sinis. "Ngapain lo di sini? Masih inget jalan ke rumah ini?" Ray pintar sekali bersandiwara. Padahal, dirinya lah yang membuat hubungan antara Anita dan Ervan merenggang sejak beberapa tahun yang lalu hingga saat ini. Sekarang dia berakting seolah Ervan pergi meninggalkan Anita begitu saja dulu, tanpa alasan yang jelas. "Gue cuma mau mastiin kalau karyawan gue sampe di rumah dengan selamat," jawab Ervan yang hanya menjawab satu pertanyaan Ray saja. "Dari jauh gue ngeliat ada orang yang kayaknya mencurigakan di depan rumahnya. Jadi, gue ke sini buat memastikan. Takut karyawan gue kenapa-napa." "Oh, gitu, ya?" Ray tersenyum mengejek. "Ya udah sekarang lo pulang aja. Bisa dipastikan kalau karyawan lo ini baik-baik aja selama ada gue di samping dia." Ray dengan percaya dirinya berkata seperti itu, seolah secara tidak langsung menyampaikan kepada Ervan bahwa Anita akan selalu baik-baik saja apabila bersamanya, tidak lagi butuh sosok seperti Ervan. "Ray benar. Bapak bisa pulang sekarang, karena nggak ada yang perlu Bapak khawatirkan tentang saya. Karyawan Bapak yang satu ini bisa menjaga diri dengan baik. Apa lagi ada Ray, sahabat saya yang selalu ada di samping saya," ujar Anita menimpali. "Tanpa kamu suruh juga saya bakalan pulang." "Bagus udah sadar diri. Gih pulang sana! Cepetan!" Ray mengibaskan tangannya mengusir Ervan. "Ya elah, Ray. Segitu pengennya lo kalau gue cepetan pergi dari sini. Setelah sekian tahun nggak ketemu gue, lo malah nggak senang banget kayaknya ketemu gue lagi," sindir Ervan. Karena yang Ervan tahu, Ray lah yang merebut Anita darinya. Ray mengkhianati persahabatan mereka. "Lo yang buat gue kayak gini!" "Gue? Nggak salah tuh?" Salah satu sudut bibir Ervan terangkat membentuk sebuah senyuman sinis. "Iya, elo! Lo udah nyakitin Anita. Gue kecewa punya teman kayak lo!" "Dia bilang gitu sama lo?" Ervan beralih menatap Anita kembali yang dari tadi lebih banyak diam menyaksikan perdebatan kedua lelaki itu. Hanya sesaat, lalu pandangannya kembali pada Ray yang berada di depannya persis. "Ray... Ray... sejak kapan lo lebih berada di pihak dia dari pada gue yang udah temanan sama lo sejak SMP?" "Tanpa dia bilang pun, gue tahu semua gimana sedihnya dia saat lo menghilang tanpa kabar bertahun-tahun. Giliran muncul lagi, lo malah terus-terusan bikin dia sedih. Sorry to say, gue ada di pihak Anita sekarang. Gue udah kecewa banget sama lo, Van." Padahal, yang menyebabkan kesedihan berlarut-larut yang dirasakan Anita adalah akibat ulah Ray. Ervan mendelik. "Seharusnya gue yang kecewa sama lo. Ah, lebih tepatnya sama lo berdua." "Maksud lo?" tanya Ray dengan mata menyipit. Pura-pura tidak mengerti. "Masih punya otak buat mikir, 'kan? Kalian berdua itu sama. Nggak usah munafik!" "Maksud lo apa, Sialan?!" Ray maju dan mencengkram kerah kemeja Ervan. Anita sontak ikut mendekat dan menyentuh lengan Ray pelan. "Tolong lepasin, Ray. Jangan cari keributan di sini, gue mohon! Kita bisa tanya baik-baik sama dia. Bukan dengan cara kayak gini." Ray mau menuruti ucapan Anita--suara lembut perempuan itu membuat Ray melepaskan cengkraman tangannya pada kerah kemeja Ervan. Ah, demi Anita, Ray akan melakukan apa saja. "Kalau bukan karena Anita, udah habis lo sama gue!" desis Ray. "Lo pikir gue takut sama lo?" tantang Ervan. "Stop!" seru Anita kesal. Anita menatap Ervan tajam. "Kamu kayaknya nggak bisa ya, kalau nggak bikin aku kesal? Ngapain ke sini kalau ujung-ujungnya cari ribut?" "Dia yang cari masalah duluan." "Apa kata lo? Jelas lo duluan yang mulai." Anita menatap Ervan sendu. "Van, tolong jelasin sama aku, ah... maksudku kami berdua. Di mana letaknya salah kami sampe kamu bilang kalau udah ngecewain kamu? Aku ngerasa nggak punya salah apa pun sama kamu. Aku bingung, tiba-tiba aja kamu menghilang tanpa kabar bertahun-tahun lamanya. Saat muncul lagi, kamu seolah nggak mau kenal lagi sama aku. Kamu melupakan semua yang pernah kamu janjikan dulu. Bilang sama aku, Van, sebenarnya ada apa?" "Aku nggak tahu apa-apa kalau kamunya nggak cerita apa pun tentang apa yang bikin kamu kecewa. Jadi, bisa jelasin sekarang?" lanjut Anita lagi dengan nada melemah. Dua tangan Ray terkepal di sisi tubuhnya. Dia sungguh benci melihat tatapan Anita yang masih terlihat persis mengharapkan cinta pertamanya itu. Padahal, Ray sudah bertahun-tahun berada di sisinya, Anita sama sekali tidak meliriknya--jatuh hati kepadanya. "Masih pura-pura aja, hmmm?" Ervan bersuara kembali. "Aku benar-benar nggak tahu, Van. Pura-pura apa maksud kamu? Tolong kasih tahu apa itu." "Udah lah, gue ngantuk, pengen pulang. Ngomong sama orang munafik kayak lo berdua itu percuma. Kalian pasti bakalan berkilah. Udah bisa ketebak sama gue." "Van, please... !" Anita meraih pergelangan tangan Ervan yang ingin beranjak pergi. Ervan menghempaskan tangan Anita kasara sehingga membuat perempuan itu meringis kesakitan. "Jangan pergi dulu, Van!" Anita berusaha mengejar Ervan yang sudah berjalan menuju mobil. "Udah lah, An! Jangan rendahin diri lo buat ngejar cowok b******k kayak dia!" seru Ray menahan tangan Anita agar tak lagi mengejar Ervan. "Tapi, Ray... " "Jangan bodoh, An! Jangan bodoh! Lo ngerti nggak sih, kalau dia itu udah nggak cinta lagi sama lo? Harus berapa kali gue bilang sama lo agar lo ngerti?!" Ray membentak Anita. Kesal sekali rasanya dengan perempuan itu yang tidak mau mendengarkan ucapannya supaya berhenti mengejar Ervan. Sejak Ervan kembali, Ray sudah berkali-kali memberi Anita nasehat agar tidak lagi mengharapkan lelaki itu. Akan tetapi, Anita tetap pada pendiriannya yang ingin menuntut kejelasan dari Ervan. Kenapa Ervan menghilang selama bertahun-tahun dan saat bertemu kembali berubah menjadi dingin dan ketus kepadanya? "Dia cuma kecewa sama gue, Ray. Kalau gue sama dia udah bisa bicara tentang apa persoalannya, gue yakin kalau bisa kembali kayak dulu lagi sama dia." Ray mengusap wajahnya tampak frustasi. "Astaga, An. Gue bingung gimana lagi cara gue nasehatin elo. Lo itu dibutakan sama rasa cinta lo sama dia. Apa kata gue juga, lo nggak bakalan dengar." Lelaki itu beranjak dari depan rumah Anita dengan emosi membuncah. "Gue juga kaya dan punya kerjaan bagus. Gue juga nggak kalah tampan sama dia, gue juga pintar. Tapi, kenapa lo selalu ngeliat ke arah Ervan sih, An?!" Ray mencengkram erat bagian kemudinya ketika berhenti di pinggir jalan, usai dari rumah Anita. Ray menyeringai licik sesaat kemudian. "Lihat aja, Van. Bukan dugaan lo doang, tapi gue akan benar-benar merealisasikan bikin Anita jadi milik gue sesungguhnya." Tak langsung melajukan mobilnya kembali, Ray menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi, lalu meraih ponselnya. Pada akunnya yang tidak diketahui siapa pun, dia mengunggah foto Anita yang tampak dari arah samping. Ray memberi caption pada foto itu. Tunggu sebentar lagi... Kita pasti akan bisa bersatu ❤ Ketikan akan keluar dari aplikasi i********: miliknya, Ray malah ingat Livya. Dia penasaran sampai mencari username perempuan itu. Ray hanya ingin tahu bagaimana kabar perempuan itu sekarang setelah putus komunikasi dengannya. Jika Ervan sudah di Indonesia, lalu di mana Livya sekarang berada? Ray hanya ingin tahu, tidak lebih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN