Tujuh

1718 Kata
"Kakek sebenarnya kurang setuju dengan pilihan kamu itu, Ray” Kakeknya Ray menyela ucapan Ray yang sedang berbicara kepada papanya. Ray berkata kepada sang papa yang ternyata satu almamater dengan papanya Anita itu, meminta agar melamarkan Anita untuknya. "Aku enggak minta pendapat kakek," protes Ray tidak suka karena kakeknya yang tiba-tiba ikut campur. Kakek terkekeh kecil, lalu duduk di sebelah Ray persis. "Kamu yakin beneran suka sama Anita?" Kakek sudah beberapa kali bertemu Anita karena Ray mengajak perempuan itu berkunjung ke rumahnya. Sejak kuliah, Ray menjadi dekat dengan keluarga Anita dan sebaliknya. "Kalau nggak suka, nggak mungkin aku minta papa lamarin dia." "Beneran suka dalam arti sebenarnya? Apa alasan kamu menyukai perempuan itu?" Ray terdiam sejenak. Dia pikir, perempuan seperti Anita memang pantas untuk disukai siapa pun. Parasnya yang cantik dengan wajah mungil, sifatnya yang ramah, baik dan bertutur kata lembut serta banyak lagi kelebihan yang dimiliki perempuan itu. Ray mengagumi Anita sejak SMA. Namun, malah Ervan yang mendapatkan perempuan itu. Jadi, setelah Ervan melanjutkan study ke luar negeri, Ray merasa seolah ada kesempatan untuk mengejar Anita. Merebutnya dari Ervan—merebut apa yang seharusnya dia miliki. Ray ingin mengalahkan Ervan sekali-kali. "Anita pantas untuk dicintai. Aku suka semua yang ada pada diri Anita," jawab Ray membuat kakek manggut-manggut. Sedangkan papanya tampak menyimak, belum berkomentar apa-apa. "Tapi Anita menyukai orang lain." Kakek tahu karena pernah beberapa kali tanpa sengaja mendengar pembicaraan kedua orang itu. "Kakek nguping pembicaraan kami?" "Nggak sengaja dengar aja." Ray mendengkus. "Tapi orang yang disukain Anita itu udah nyakitin dia. Dan aku... aku lah yang akan ngobatin lukanya dia. Anita akan hidup bahagia kalau sama aku." Kakek mencibir ucapan Ray. "Percaya diri sekali kamu itu." Kakek geleng-geleng kepala. "Yang kakek lihat, Anita memang nyaman sama kamu, tapi... sebagai teman. Kalau kamu nyatain perasaan kamu sama dia, bisa jadi dia malah menghindar dari kamu." "Kakek nggak usah sok tahu! Aku lebih paham gimana Anita. Aku udah bertahun-tahun berada di sisi Anita. Sebentar lagi, dia bakalan jatuh hati sama aku." Kakek tertawa. "Dari pada mimpi ketinggian, mendingan kamu sama teman perempuan yang dulu pernah kamu bawa ke sini." Ray mengernyit. Dia berpikir, seingatnya hanya Anita yang pernah dibawanya ke rumah. Kadang mengerjakan tugas di rumahnya, kadang hanya sekedar mampir karena jarak ke kampus lebih dekat ke rumah Ray dibanding Anita. "Siapa maksud kakek? Aku nggak pernah bawa perempuan ke rumah, selain Anita." "Udah lama banget, pas kamu masih sekolah. Eh, tapi, pas udah lulus juga pernah kayaknya... sekali kalau nggak salah." Berusia 73 tahun, namun ingatan kakeknya Ray masih bagus. Kening Ray berkerut tampak berpikir, hingga kemudian dia mengingatnya. Apa Livya yang dimaksud sang kakek? Ray ingat kalau pernah mengajak Livya ke sekedar singgah ke rumahnya, karena dari sekolah melewati perumahan orang tua Ray sebelum mengantarkan Livya pulang ke rumah. Dulu, beberapa kali Ray mengantarkan Livya pulang ke rumahnya. "Lo itu, nyusahin gue aja. Kenapa nggak naik taksi aja kalau nggak ada yang jemput lo, hah?!" bentak Ray menatap Livya dengan perasaan campur aduk. Livya hanya bisa menangis dari tadi. Ray seperti orang kesetanan memukuli seorang lelaki yang hendak melecehkan Livya di dalam kelas. Sekolah sudah sepi dan hujan deras juga di luar sana. Livya malah di dalam kelas menunggu hujan reda, masih menunggu sopir orang tuanya yang mobilnya tiba-tiba mogok di jalan. Dari pada naik taksi, Livya memilih untuk menunggu. Dia tidak ingin ikut dalam mobilnya Ervan karena tidak ingin mengganggu kemesraan sahabatnya itu dengan sang kekasih. Apalagi tadi saat jam istirahat Anita berkata kalau Ervan mengajaknya nonton bioskop pulang sekolah. Di saat semua teman sekelasnya Livya sudah pulang, hujan turun dengan derasnya. Hingga seorang siswa berandal menghampiri Livya yang sedang duduk membaca n****+ sendirian. Seorang lelaki yang menyukai Livya dari awal masuk SMA, namun tak pernah direspon oleh perempuan itu. Ray tertidur di menit-menit terakhir pelajaran. Di saat bangun, dia menatap sekeliling yang sudah sepi dan terdengar suara air hujan yang mengalir deras karena pintu kelas yang terbuka. Ray menguap sembari mengucek matanya. Setelah merasa matanya lebih segar, Ray meraih tasnya lalu bangkit berdiri hendak keluar kelas. Saat langkah kakinya mendekat ke arah belokan menuju lorong untuk turun ke lantai bawah, Ray mendengar teriakan dari kelas di sebelah kiri lorong tersebut. Yang mana kelas tersebut merupakan kelas IPA 1–kelas unggul di mana Ervan dan Livya berhasil memasuki kelas tersebut karena otak mereka berdua yang cerdas. "Siapa, sih? Masih ada orang?" gumam Ray. Hingga dia kembali mendengar suara teriakan lebih keras dan jantung Ray berdegup kencang saat merasa mengenali suara lengkingan itu. Dengan cepat, Ray berlari ke sumber suara. Benar dugaannya, itu suara Livya yang sangat dikenalnya. "Jangan... gue mohon!" Livya terpojok di ujung kelas dengan seorang lelaki di hadapannya yang menarik seragam Livya hingga kancing seragamnya ada yang copot. Ray langsung menghampiri dan menghajar lelaki yang terkenal berandalan di sekolahnya itu. Ray memukul dan menendangnya bertubi-tubi, tanpa sempat lelaki itu membalas. Lelaki yang hampir melecehkan Livya terkulai pingsan di lantai, Ray kemudian melepas seragamnya dan memberikan kepada Livya yang berusaha menutupi bagian dadanya. Untung saja Ray menggunakan t-shirt putih polos di balik seragamnya tadi. "Terima kasih, Ray," cicit Livya pelan, sembari terisak. "Buruan ganti! Gue tunggu." Ray membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu. Setelah Livya menghampiri usah mengganti seragamnya yang rusak, Ray langsung menarik tangan perempuan itu menuju ke bawah. Tiba di lantai bawah, Ray mengomeli perempuan itu. Ray meledak sejadi-jadinya, bukannya menenangkan Livya. "Gue nggak minta lo tadi datang nolongin gue," ujar Livya lirih. Ray terus saja mengoceh. "Si Ervan juga tadi bawa mobil, kenapa lo nggak nebeng sama sahabat lo itu?" "Nggak mau nyusahin orang lain." Ray berdecih. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. "Ray, jangan sampe orang-orang tahu tentang yang barusan, ya?" Ray menoleh sekilas, kemudian tersenyum sinis. "Dia babak belur gitu, pasti ngadu nanti ke pihak sekolah." "Iya. Tapi jangan sampe guru tahu. Gue... malu." "Emm. Lihat nanti." Ray ingin cepat membawa Livya beranjak dari sekolah. Tak lama, hujan tidak begitu deras lagi. "Udah jam segini, tapi masih hujan. Kita tembus aja, gimana?" "Terserah." Ray mengeluarkan jaket di dalam tasnya kepada Livya sebelum menjalankan motornya. “Lo pakai apa? Kan masih gerimis.” “Nggak usah mikirin gue. Gue ini cowok, lebih kuat.” Ternyata, di pertengahan jalan ke rumah Livya, hujan kembali turun dengan derasnya. Namun, sudah dekat dengan rumah Ray. Jadi lah Ray mengarahkan motor ke rumahnya. “Neduh di rumah gue dulu aja,” sahut Ray sembari membuka kaca helmnya. “Gue agak ngebut biar kita nggak cepat nyampe rumah gue. Pegangan!” Livya memeluk Ray erat dan menyandarkan kepalanya di punggung lelaki itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Walau sering bersikap ketus dan dingin terhadapnya, bagi Livya, Ray itu seperti seorang malaikat yang datang di saat dia membutuhkan seseorang. Bagaimana Livya tidak cinta kepada Ray? Dari kecil, lelaki itu yang datang mengulurkan tangan kepadanya di saat Livya sedih neneknya meninggal. Dan banyak lagi hal lain yang membuat Livya semakin jatuh hati kepada Ray, selain paras tampan yang dimiliki lelaki itu. Kehadiran Livya untuk pertama kalinya ke rumah Ray, disambut hangat oleh keluarga itu. Terutama, kakek dan mamanya Ray. Sedangkan papa dari lelaki itu sedang berada di kantor untuk bekerja. Kakek sangat menyukai Livya yang ceria, pintar dan bisa menimpali ucapannya. Obrolan mereka seru dan sesekali ditimpali oleh mamanya Ray. Sedangkan Ray, dia memutar bola matanya melihat itu dari arah ruang makan. Menurutnya, obrolan antara kakek dan Livya yang terdengar olehnya itu unfaedah. Pukul 17:00, Ray baru mengantarkan Livya pulang menggunakan mobil mamanya karena hujan yang tidak kunjung reda. “Janji ya, Ray, yang tadi jangan sampe ada yang tahu,” ujar Livya sebelum turun. “Ya.” “Dia nggak bakalan ngadu ke pihak sekolah karena mikir gue akan lapor.” “Hmm. Ya udah, sana turun!” Ray mengibaskan tangannya. “Sekali lagi, terima kasih untuk hari ini.” Ray berdecak. “Udah berapa kali lo bilang terima kasih dari tadi?” Livya tersenyum tipis. “Lo boleh ketus, tapi gue tahu persis lo punya hati yang baik.” Hingga keesokan harinya, Ray dipanggil ke ruang BK karena siswa laki-laki bernama Arjuna itu mengadu pada orang tuanya. Dan orang tua Arjuna menuntut ke pihak sekolah. Akhirnya, Ray di-skors. Livya tadinya ingin membuka suara, namun Ray menahannya. “Jangan ngomong apa-apa, Vy. Biar gue yang tanggung ini semua,” ujar Ray setengah berbisik kepada Livya. “Tapi, Ray… “ “Nama lo harus baik-baik aja di sini. Lo siswi berprestasi dan kebanggan sekolah. Gue nggak mau nama lo tercoreng.” “Ray!” “It’s okay. Cuma skorsing seminggu doang, enggak masalah,” ujar Ray enteng. Ray berkata kepada sang guru mengenai alasannya menghajar Arjuna adalah karena muak melihat lelaki itu yang sering menggoda dan memainkan perasaan banyak perempuan. Usai kejadian itu, Livya pastinya masih terbayang-bayang dengan seseorang yang hampir melecehkannya. Namun, Ray dengan sikap dinginnya selalu saja memberi perhatian hingga Livya perlahan mulai merasa lebih baik. Dan Arjuna yang di drop out dari sekolah karena ketahuan menggunakan ganja. Livya jadi merasa tenang di sekolah. “Perhatian banget. Lo udah mulai suka sama gue ya, Ray?” “Ngaco! Mana ada gue suka lo. Ini gue mau kasih cokelat doang karena mama gue bawa banyak habis liburan dari luar negeri. Sayang banyak numpuk di rumah, makanya gue kasih elo. Enggak usah ge-er!” Ray memijit keningnya mengingat masa putih abu-abunya dulu. Selalu dan selalu ada Livya hampir di setiap momen sekolahnya sejak SMP hingga SMA. “Itu yang pernah kamu bawa ke rumah itu cantik dan ceria orangnya. Kakek suka dia.” “Kakek kok masih inget aja, sih?” tanya Ray heran. “Ingatan kakek masih tajam loh!” Kakek terkekeh, mengingat kembali tentang perempuan yang dulu pernah Ray bawa ke rumah. “Diam-diam, dulu itu kakek suka perhatiin kalau perempuan itu sering curi pandang ke arah kamu. Apa dia itu suka sama cucu kakek yang ganteng ini?” Emang suka! jawab Ray di dalam hatinya. “Dia ada di mana sekarang, Ray? Apa udah menikah?” Ray jadi kepikiran. Apa Livya sudah menikah? Apa setelah penolakannya yang terakhir kali dengan kata-kata kasar, lalu berakhir memblokir nomor—apa kemudian Livya menjalin hubungan dengan seseorang? Atau… Livya dan Ervan memutuskan untuk berpacaran di sana? Apa Ray harus bertanya kepada Ervan? ”Kenapa jadi kepkiran dia terus, sih?” Ray menggelengkan kepala. “Gue harus fokus sama Anita. Tapi, kenapa akhir-akhir ini sering inget Livya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN