Enam tahun kemudian...
Walau sudah merasa sembuh dari trauma yang menimpanya beberapa tahun yang lalu, namun terkadang Livya masih bermimpi buruk. Seperti saat ini, napas Livya terengah dengan lelehan air mata di pipinya. Mimpi tentang masa lalunya kembali datang.
"Nggak... aku bukan pembunuh!" Livya menggelengkan kepalanya. Kemudian, berteriak histeris sembari menjambak rambutnya.
Kenapa peristiwa yang terjadi di masa lalu itu kadang masih datang menghampiri?
Beberapa tahun yang lalu, setelah orang tuanya yang pada akhirnya diberitahu oleh Ervan tentang keadaan Livya, perempuan itu perlahan mulai menerima kehamilannya. Orang tua Livya membawa anaknya itu pindah ke tempat tinggal mereka saat itu, yaitu Inggris. Tujuan mereka agar Livya bisa mengawasi dan menjaga perkembangan anak tunggal mereka tersebut. Mereka selalu memberikan semangat dan kata-kata motivasi supaya Livya mau mempertahankan kehamilannya.
Orang tua Livya kecewa? Tidak. Mereka hanya sedih. Kedua orang tuanya itu pun tidak menyalahkan Ervan. Mereka lebih menyalahkan diri mereka karena membiarkan anak satu-satunya berada jauh dari jangkauan mereka. Berharap Livya sukses meraih impiannya, namun kejadian naas malah menimpa anak mereka itu. Takdir tidak bisa ditolak.
Livya terpaksa menunda kuliahnya karena permintaan orang tuanya. Mereka ingin Livya fokus dengan kehamilan dan kesehatan mentalnya. Livya rutin melakukan konsultasi dengan ditemani orang tuanya. Semua berjalan lancar, hanya saja pada akhirnya Livya yang sudah bisa menerima keberadaan janin di perutnya—berujung kecewa di saat dirinya keguguran karena terjatuh di kamar mandi. Livya kembali menyalahkan dirinya sendiri kala itu, yang merasa tidak bisa menjaga janinnya.
Trisna, mamanya Livya terbangun dan segera menuju kamar sang putri di kala mendengar suara teriakan.
“Anak mama mimpi buruk?” Trisna meraih Livya ke dalam dekapannya. “Ikhlasin ya, Sayang. Dia udah tenang di sana. Percaya sama Mama, dia nggak marah sama kamu, karena… kamu udah berusaha untuk menjadi calon ibu yang baik.”
“Tapi, Ma— “
“Kamu harus berdamai dengan masa lalu.” Trisna mengusap lembut surai anak tunggalnya itu. “Besok kita datengin psikiater lagi, ya? Udah dua tahun belakangan, kamu enggak ke tempat itu lagi dan mama merasa legah. Tapi, yang barusan itu mama agak khawatir. Enggak biasanya kamu kayak gitu, ‘kan?” Trisna menghela napasnya. “Mama cuma ingin memastikan jika mimpi itu datang lagi, kamu bisa mengatasinya dengan tenang.”
***
"Seriusan, Ervan jadi bos di kantor lo sekarang?" tanya Ray kepada Anita. Tentu saja lelaki itu terkejut mendengar ucapan Anita yang mengatakan jika sudah bertemu dengan Ervan setelah beberapa tahun mantan kekasihnya itu menghilang tanpa kabar.
"Ho'oh."
"Kok, lo baru bilang?"
"Kan gue baru ketemu lo sekarang, Ray. Males cerita lewat HP, mendingan pas ketemu aja."
Ray manggut-manggut, walau di dalam hatinya tampak tidak tenang.
Hubungan Ray dan Anita sekarang tak lebih dari sekedar sahabat. Ray berlindung di balik kata sahabat san alasannya dulu untuk menjaga Anita karena permintaan Ervan. Yang sampai saat ini, Ray menyembunyikan alasan sesungguhnya selalu berada di dekat Anita. Jika ada lelaki yang berusaha mendekati Anita, Ray akan menghalaunya.
Sebenarnya, Anita pernah bertanya mengenai perempuan yang disukai Ray. Anita tidak pernah melihat Ray mendekati perempuan mana pun di kampus dulu, hingga saat ini keduanya telah bekerja selama beberapa tahun.
Ray itu tampan. Jika dibandingkan dengan Ervan, Ray tidak kalah jauh. Bahkan, dari jaman sekolah hingga kuliah, dia termasuk ke dalam jajaran lelaki most wanted karena kadar ketampanannya yang tak perlu diragukan lagi. Hanya saja, Anita tidak pernah tertarik kepada lelaki itu. Baginya, Ervan adalah segalanya. Tak seorang pun yang mampu menggantikan posisi lelaki itu di hati Anita. Hal itu yang membuat Ray bertahun-tahun tidak kunjung menyatakan perasaannya kepada perempuan itu. Ray meyakinkan hatinya, jika dia harus menunggu sebentar lagi. Untuk mendapatkan Anita, Ray sepertinya harus berusaha lebih keras lagi. Apalagi sekarang Ervan sekantor dengan perempuan itu. Walau Ray tahu Ervan membenci Anita karena suatu hal yang diperbuat Ray dulu, dia tetap harus waspada. Karena antara cinta dan benci itu beda tipis. Bisa jadi, rasa benci Ervan kepada Anita bisa memudar karena sikap perempuan itu yang lemah lembut serta baik hatinya. Ray berani bertaruh jika lelaki mana pun, pasti akan dengan mudahnya jatuh hati kepada sosok Anita.
“Terus-terus, gimana rasanya satu kantor sama dia? Lo seneng banget dong pastinya, bisa ketemu dia setiap hari?”
Anita menggelengkan kepalanya lemah. "Itu dia yang mau gue ceritain sama lo, Ray."
"Kenapa-kenapa?" Ray tampak antusias dengan menggeser kursinya maju karena melihat Anita yang lagi-lagi tampat lesuh jika membicarakan Ervan. "Lo udah ngobrol banyak sama dia? Udah tahu penyebab dia selama ini menjauh?"
Ray pura-pura tidak tahu penyebab putusnya komunikasi kedua orang itu. Padahal, dirinya kah yang menyebabkan semua itu.
Anita kembali menggelengkan kepala.
"Nggak ada yang berubah walau saat ini gue ketemu dia setiap hari kerja, Ray. Dia tetap Ervan yang sama. Bahkan, sekarang rasanya gue sama dia itu kayak dua orang asing yang baru kenal. Hubungan kami nggak lebih dari sekedar bos dan karyawan. Gue sama sekali nggak punya kesempatan untuk ngomong hal pribadi sama dia."
"Lo udah coba untuk ngobrol sama dia?"
"Baru gue pengen mulai aja, dia udah minta gue untuk menjauh, Ray." Anita tersenyum getir. "Dari dulu sampai saat ini gue masih bingung, salah gue di mana? Gue nggak ngerasa pernah melakukan kesalahan."
Ray meraih tangan Anita yang berada di atas meja dan menggenggamnya. Ray memang selalu berusaha agar tampak seperti sosok pahlawan di mata Anita.
Anita menangis. Ray tahu dan sadar penyebab kesedihan perempuan itu berasal darinya. Namun, ego lelaki itu begitu besar—ingin merebut sesuatu yang disukai Ervan.
"Gu-e harus gimana, Ray? Lo tahu 'kan kalau gue masih sayang banget sama dia?"
"Gue tahu banget, An. Gue tahu... " Ray mengusap punggung tangan Anita. "Jangan sedih! Inget kalau ada gue di sini yang akan selalu ada buat elo."
Sudah beberapa tahun berlalu, Ray benci menyadari jika belum mampu mengalihkan Anita dari Ervan. Perempuan cantik itu masih setia menunggu Ervan dan berharap bisa kembali bersama dengan lelaki yang merupakan cinta pertamanya itu. Hingga penantian Anita membuahkan hasil, Ervan yang ditunggu-tunggunya selama beberapa tahun muncul di hadapannya. Lelaki itu menjadi CEO di tempat Anita bekerja.
Ray ketar-ketir di saat mengetahui kehadiran Ervan di Indonesia. Apalagi, keberadaan lelaki itu di sekitar Anita setiap harinya di kala jam kerja. Bagaimana jika kedua orang itu memutuskan untuk kembali bersama setelah sekian tahun tidak berjumpa?
Setelah mengantarkan Anita pulang, Ray melajukan mobilnya ke arah rumah Ervan karena ingin memastikan ucapan Anita. Namun, rumah besar milik orang tua Ervan itu tampak sepi dilihat dari luar. Lalu, pandangan Ray teralih pada rumah yang di sebelahnya. Rumah yang tak lain adalah milik orang tuanya Livya. Entah kenapa, Ray tiba-tiba ingat perempuan yang sudah dua kali menyatakan perasaan kepadanya itu dan berakhir dengan penolakan olehnya.
Apa Livya juga pulang ke Indonesia?
Ray masih menyimpan nomor ponsel Livya yang lama. Perlahan, jemari Ray mengetuk nomor perempuan itu dan membuka blokirannya. Ray ingin tahu bagaimana hubungan di antara kedua sahabat itu di luar negeri sana. Ray malah menelepon nomor ponsel Livya, namun tidak aktif.
Mungkin Livya ganti nomor HP?
Tiba-tiba kilasan bayangan tentang Livya di masa lalu, teringat kembali oleh Ray. Lelaki itu memejamkan matanya.
Ray menggumam. “Enggak. Sampe kapan pun gue nggak akan pernah balas perasaan lo, Vy. Cuma Anita satu-satunya perempuan yang gue mau. Bukan lo atau perempuan mana pun.”