Bab 11 : Tetangga Masa Gitu

1126 Kata
Abi akhirnya mengetahui sebuah kenyataan yang membuatnya terkejut—lahan luas di samping rumah mertuanya yang selama ini dia lihat terbengkalai, ternyata adalah milik mertuanya sendiri. Sertifikat lahan itu dijaminkan kepada renternir sebagai modal usaha, tapi sayangnya usaha tersebut gagal akibat campur tangan kerabat ayah Bintang yang tidak jujur. Hingga saat ini, keluarga Bintang kesulitan melunasi utang dan lahan tersebut beberapa bulan lalu baru saja diambil oleh pihak yang bersangkutan. Terjadi sengketa karena sertipikat itu bergabung dengan tanah rumah yang saat ini mereka tempati. Hampir semua tetangga sekitar mengetahui hal ini meski tidak tahu keseluruhan cerita yang sebenarnya. Sebelumnya keluarga Bintang dikenal sebagai keluarga berada di desanya, pemasok sayuran terbesar. Sejak terjadi kerugian besar dan keluarga Bintang diterpa badai cobaan tetangga menganggap keluarga Bintang sebelah mata. Mereka mengucilkan, bahkan tak jarang menghina mereka secara terbuka. Di balik senyum manis yang sering ditunjukkan Bintang kepada Abi malam ini, dia sebenarnya menyimpan rasa malu yang besar. Dia merasa tidak enak, terutama ketika Abi mulai mengetahui kondisi keluarganya yang lebih buruk dari yang mungkin Abi bayangkan. Abi yang suka rela menikahinya sekarang tahu bahwa keluarga Bintang hidup dalam tekanan, tidak hanya finansial tetapi juga sosial. Abi mendekati Bintang yang duduk di teras rumah mertuanya—menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus—menutupi punggung Bintang dengan cardigan. Bintang menoleh menatap Abi dengan raut wajah yang cemas sambil terus memainkan ujung bajunya. “Ma—mas.” Dia merasa takut jika setelah mengetahui semua ini Abi akan menyesal menikahinya. "Mas ...." Bintang terlihat ragu untuk memulai pembicaraan hingga mengeluarkan nada pelan, matanya menatap lurus ke depan. "Sekarang kamu sudah tahu semuanya, tentang keluargaku. Maaf atas keributan tadi dan ... aku mau minta maaf … karena nggak bilang dari awal." Abi menggeser duduknya lebih dekat ke arah Bintang—meraih dan menautkan tangan mereka membuat Bintang membeku—menatap tangan mereka yang saling menggenggam. "Kamu nggak perlu minta maaf. Ini bukan salah kamu, Bee. Setiap keluarga pasti punya masalah, kita diuji dengan masalah yang berbeda. Kamu punya aku, Bee." Bintang terkejut dengan kalimat terakhir yang Abi lontarkan lantas menundukkan kepalanya, air mata hampir menggenang di sudut matanya. “Maksudnya … kamu tidak sendiri, ada aku dan Kanina. Tidak perlu mengkhawatirkan pemberitaan yang ramai di luar sana. Perihal mereka yang datang menagih tadi, kita masih diberi tenggat waktu. Mas yakin kita bisa mengusahakannya.” “Kasihan Pak Suryono dan Bu Sekar mendapat menantu miskin. Padahal kekasih Bintang sebelumnya termasuk berada, ya, kan? Mobil sendiri bukan fasilitas tempat bekerja.” “Katanya menantu dari kota, kerja di kantor besar, tapi kok nggak bisa bantu orang tuanya?” ujar salah seorang tetangga yang berkumpul. “Lah iya, buat apa tampan kalau nggak ada uang? Cuma bisa gaya doang,” sahut yang lain sambil tertawa sinis. Bintang cemberut teringat dengan omongan tetangga yang tidak ada hentinya. "Belum lagi tetangga-tetangga di sini selalu bicara buruk tentang kita, termasuk Mas,” lirih Bintang. Bintang membeku membulatkan matanya saat Abi menarik genggaman tangannya ke sisi Abi, bahkan ibu jarinya dengan luwes mengelus punggung tangan Bintang. "Perihal mereka bilang aku miskin, kan?" Bintang menoleh meski ragu, ia terkejut mendengar Abi dengan santainya menyinggung hal itu. "Biarkan saja mereka bicara. Orang-orang selalu punya sesuatu yang negatif untuk dikatakan, terutama kalau mereka iri. Kamu sendiri tahu, kita nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan atau katakan. Yang terpenting bagiku, aku sanggup menafkahi keluarga kecilku." Jahat, Abi memang jahat. Kalimat yang dia keluarkan selalu teduh dan membuat Bintang sempat terbuai. "Aku semakin merasa nggak enak sama Mas.” Abi tertawa kecil, lalu menggeleng. Dia meminta Bintang agar tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan—meyakinkan hidup mereka akan baik-baik saja. Orang di luar sana hanya bisa mengomentari, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Lalu, kamu ….” Abi menoleh seraya mengeratkan genggamannya menatap Bintang. “Apa kamu akan tetap menerima kurangku?” Abi mulai menikmati perannya sebagai lelaki miskin, ingin melihat sejauh apa Bintang dapat menerimanya dengan segala kekurangan di mata tetangga. Sejujurnya Abi masih bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Bintang hingga dia membuat jarak dengan tingkat sosial teratas? Keduanya saling menatap. Bintang mencari arti dari tatapan Abi. Pernikahan mereka terpaksa oleh keadaan, tidak ada cinta meski sudah saling mengenal. Sejauh ini Bintang hanya merasa nyaman berada di sisi Abi dan tidak menghiraukan keadaannya. Bahkan selama ini Bintang tidak merasa kekurangan satu apa pun terkhusus dalam hal materi. “Berpikir seperti itu saja lama,” ketus Abi membuang pandangannya tanpa melepas genggamannya. “Aku belajar menerima takdir yang membawa aku dan kamu menjadi kita, Mas. Tak peduli apa pun itu, tapi aku masih butuh waktu untuk—” “Memberikan hakku?” Bintang menganga tak percaya mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Abi. Abi menyeringai—menyentil bibir Bintang hingga tertutup rapat. Abi menyembunyikan senyumannya. Tidak hanya Bintang, Abi juga mulai merasa nyaman bersama wanita cantik itu. Sejak awal bertemu kembali dengan Bintang—setelah sempat terpisah, ada perasaan yang sulit Abi jelaskan. “Benar itu yang kamu resahkan? Bee, kamu mau menerima Kanina dalam hidupmu saja, aku sudah sangat bersyukur.” Bintang tersenyum tipis, ya, yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan Kanina. *** Bintang memberikan ponselnya pada Abi yang sedang bekerja membuat lelaki itu bingung. “Bapak mau bicara dengan Mas,” kata Bintang mengangguk meminta Abi segera menerima panggilan telepon dari ayah mertuanya. Dia pindah duduk di sofa tepat di samping Bintang. Bintang terus menatap Abi sepanjang percakapan yang dia dengar dengan samar. Pak Suryono mendapat rekomendasi menjadi penyedia sayur segar untuk sebuah restoran. Mertuanya meminta pendapat Abi. Berita ini Pak Suryono dapatkan dari Zidan yang sebenarnya adalah campur tangan Abi. “Abi setuju, Pak. Permintaan mereka juga sesuai dengan yang sedang Bapak tekuni saat ini,” balas Abi sementara Pak Suryono di seberang sana sangat bersemangat bercampur haru karena jalannya dimudahkan. “Selanjutnya, untuk teknisnya Bapak bisa diskusi dengan Zidan yang lebih paham agar mendapatkan hasil yang baik.” “Terima kasih, Abi. Lebih banyak ini semua atas dukungan kamu. Bapak bangga dengan kamu,” terang Pak Suryono. Bintang mendengar kalimat itu dengan jelas di kesunyian ruangan kerja Abi malam ini. Sambungan telepon pun berakhir setelah Pak Suryono berjanji akan menghubungi Abi kembali jika sudah mendapat kesepakatan dengan pihak restoran. “Ma—mas terima kasih, ya,” lirih Bintang. “Ini kali pertama setelah sekian lama aku mendengar Bapak begitu bersemangat lagi,” lanjut Bintang. “Mas hanya menyampaikan ide, selebihnya memang itu adalah keahlian Bapak, Bee,” balas Abi. Bintang mengangguk setuju, kemudian undur diri kembali ke kamar tidur. Baru saja berdiri dan akan melangkah, tiba-tiba Abi menahan Bintang hingga wanita itu terjatuh tepat di atas pangkuan Abi. “Apa Kanina sudah tidur, hm?” tanya Abi terdengar lembut di pendengaran Bintang. “Su—sudah, Mas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN