Bab 10 : Gebrakan Baru

1404 Kata
“Memangnya pekerjaan kamu sesibuk itu, ya, Mas?” tanya Bintang menelisik Abi yang sedang fokus dengan laptopnya—meletakkan minuman dan camilan di atas meja kerja Abi. Sejak selesai makan malam tadi, Abi larut dalam pekerjaannya. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bintang, Abi meninggalkan pekerjaannya—memutar kursi yang ia duduki saat ini hingga saling berhadapan dengan Bintang yang terpaku karena lutut mereka saling bersentuhan. “Ada yang ingin kamu bicarakan?” Abi menyadari hal yang mengganggu Bintang—memundur kursinya seraya meminta maaf. “Aku hanya bertanya, Mas. Tadi Kanina merajuk karena Mas tidak mengantarnya tidur,” kata Bintang seraya menyesap s**u dalam gelas yang dia pegang. “Sekarang anaknya sudah tidur,” sambung Bintang. Abi menatap Bintang lekat, hingga kini matanya beralih pada bibir mungil di hadapannya. Bintang menerjap saat sebelah tangan Abi terulur mengusap lembut bibirnya. “Mas,” lirihnya. “Ada sisa s**u di bibirmu,” balas Abi datar. “Yang penting anaknya sudah tidur ‘kan? Maaf, kerjaanku memang sedang banyak-banyaknya. Aku terpaksa membawa semua berkas ini pulang, agar tetap bisa makan malam di rumah bersama kamu dan Kanina,” tunjuk Abi pada tumpukan berkas di atas meja. “Apa kamu juga akan merajuk jika tidak aku antar tidur?” tanya Abi polos. Tekadnya ingin menjadi suami yang lebih baik lagi terkadang membuat Bintang tak habis pikir dengan perlakuan Abi yang susah ditebak. “Ti—tidak perlu, Mas. Aku bisa tidur sendiri.” Bintang meringis menyesap kembali susunya. Melihat tangan Abi terangkat dia cepat mengusap sendiri bibirnya. Bintang salah tingkah membuang pandangannya ke arah lain karena ternyata Abi bukan hendak mengusap bibirnya kembali, tapi mengambil minuman yang Bintang bawakan untuknya. Bintang merutuki dirinya yang tak tahu malu. Bisa-bisanya dia berpikir yang tidak-tidak tentang Abi, pikirnya. “Bee,” panggil Abi membuat Bintang yang baru saja pamit ke kamar tidur mengurungkan langkahnya. Bintang menatap Abi dengan tatapan yang sulit Abi artikan hingga akhirnya Abi berkata, “Maaf, bagiku namamu terlalu panjang untuk diucapkan. Bolehkah aku memanggilmu seperti itu saja?” Bintang mengangguk pelan dan terpaku melihat seutas senyum di wajah Abi. “Aku ke kamar, ya, Mas,” pamitnya lagi. “Sabtu ini aku libur, kita menginap lagi di rumah Bapak dan Ibu, ya,” ajak Abi. Bintang mengangguk setuju. “Bee,” panggil Abi saat Bintang baru saja mencapai pintu. “Selamat tidur.” “Mas jangan lama-lama, ya,” balas Bintang. “Memangnya kenapa kalau lama-lama?” tanya Abi polos. Bintang melayangkan protes karena Abi sekaku itu. Banyak bertanya pula, tanpa menunggu tanggapan Abi selanjutnya Bintang segera meninggalkan ruang kerja Abi. *** “Kakek,” pekik Kanina begitu tiba di depan rumah orang tua Bintang. Ayah Bintang menyambut kedatangan cucunya dengan riang—membawa Kanina ke dalam gendongannya. Melihat Kanina membelai geli janggut halus di dagu Pak Suryono, Abi tersenyum tipis. Dia tidak pernah menyangka mereka akan diterima begini hangatnya. “Kakek jelek, Kanina tidak suka janggutnya. Cukur, tidak boleh cium,” pekik Kanina karena Pak Suryono malah menggesekkan janggutnya di kepala Kanina. “Bagaimana kabarnya, Pak?” tanya Abi meraih Kanina dari gendongan ayah mertuanya, lalu menyalami mertuanya bergantian. “Lebih baik setelah tuan putri datang,” rujuknya pada Kanina yang kini berada di dalam gendongan Abi. Abi tersenyum—menoleh ke arah Bintang yang juga tersenyum. “Kalian gimana kabarnya? Tanya Pak Suryono. Sebelah tangan Abi meraih Bintang mendekat ke arahnya merangkul posesif pinggang wanita yang kini tersimpuh malu. “Baik-baik saja, Pak. Maaf baru sempat kemari lagi,” balas Abi. Bu Sekar mempersilakan masuk, katanya beliau sudah memasak khusus untuk kedatangan cucunya. Kanina bersemangat turun dari gendongan Abi mengejar Kakek dan neneknya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. “Sepertinya posisi kamu di rumah ini sudah tergantikan,” bisik Abi tepat di telinga Bintang membuat wanita itu meremang. Belum lagi tangan Abi yang tidak lepas dari pinggangnya. “Sampai kapan tangan Mas di pinggangku?” Alih-alih terpengaruh dengan kalimat Abi, Bintang malah melayangkan protes karena Abi lupa diri. Abi menarik tangannya seraya meminta maaf. “Kalau sudah minta maaf itu tidak diulangi lagi, Mas. Bukan malah lupa diri,” kata Bintang sinis. “Lupa diri? Mana mungkin,” jawab Abi. Bintang menjelingkan matanya jengah lalu pergi meninggalkan Abi. Beberapa langkah saja Abi sudah menyetarakan langkahnya dengan Bintang. Bintang tersentak saat suara Abi kembali menyapa tepat di telinganya. “Kenapa harus takut lupa diri? Kamu istriku.” Kini giliran Abi yang melangkah pergi meninggalkannya sementara Bintang membeku di tempatnya berdiri saat ini. Apa-apaan itu tadi maksudnya? Bintang memegang dadanya karena detak jantungnya tidak normal. Tiba-tiba saja suasana menjadi terasa panas. Wanita itu bahkan mengipasi wajahnya dengan tangannya. Abi memang sulit ditebak. Kadang sikapnya dingin, terkadang sedikit melunak hingga sulit bagi Bintang untuk mengartikannya. Satu hal yang Bintang tanamkan dalam benaknya. Apa pun sikap Abi, semata-mata hanya untuk membahagiakan Kanina. Kisah Abi dan Bintang harus seindah itu dihadapan Kanina, ya, benar begitu. Abi menyadari potensi besar yang bisa dikembangkan dari usaha kecil-kecilan mertuanya ini. Malam harinya Abi menghampiri dan ikut duduk bersama Pak Suryono di teras depan yang sedang bermain dengan Kanina. “Sayang, Bunda tunggu di dalam. Bersih-bersih dulu, ya,” pinta Abi. Kanina merengut karena disuruh masuk ke dalam rumah untuk tidur padahal dia sedang asyik bermain bersama kakeknya. Pak Suryono mengusap sayang puncak kepala Kanina mengucapkan ucapan tidur sebelum cucunya pergi. Abi terkesan dengan kerja keras ayah mertuanya dalam berkebun. Meskipun hasil panennya lumayan, tapi metode penanaman yang digunakan ayah mertuanya masih tradisional. Ini membuat Abi selama ini berpikir bahwa dengan sedikit inovasi, selain hasil panen yang baik, pendapatan ayah mertuanya bisa meningkat. "Pak, coba lihat ini,” tunjuk Abi memberikan ponselnya pada ayah mertuanya menunjukkan sebuah video. “Bagaimana kalau Bapak coba metode baru buat tanam sayurnya?" Abi membuka pembicaraan. “Kalau kita coba metode hidroponik, hasil panennya bisa lebih cepat dan lebih banyak. Kita manfaatkan teknologi, sekalipun lahan kecil, tetap bisa menghasilkan lebih." Ayah Bintang tampak ragu. "Hidroponik? Bapak pernah dengar, tapi kayaknya rumit dan mahal." “Abi kenalkan Bapak dengan rekan Abi yang paham tentang hidroponik. Zidan, dia senang melakukan pelatihan tentang metode ini,” terang Abi. Meski ragu, Pak Suryono seolah kalah suara dengan Abi yang terlihat menggebu. Beliau akhirnya setuju. “Besok, Zidan datang ke sini. Kita belajar bersama, ya, Pak.” “Secepat itu?” tanya Pak Suryono tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Abi mengangguk membenarkan dan meminta ayah mertuanya beristirahat untuk hari esok. Sebelum masuk ke dalam rumah, Abi menghubungi asisten pribadinya untuk mengantarkan Zidan ke rumah orang tuanya besok pagi. Zidan adalah keponakan asisten pribadi Abi yang memang menekuni dunia bercocok tanam. Tak perlu waktu lama untuk menghadirkan pelatih untuk Pak Suryono. Pagi sekali Zidan sudah tiba di rumah Pak Suryono. Lelaki paruh baya itu mendengarkan dengan seksama. Setiap penjelasan dari Zidan membuat semangatnya semakin membuncah. Sudah lama beliau mencari cara untuk memaksimalkan potensi kebunnya yang terbatas, dan kini, dengan hidroponik, harapannya kembali hidup. Namun, Zidan tak hanya datang untuk memberikan pelatihan. Dia punya tugas khusus dari Abi. “Pak, kalau Bapak setuju, saya bisa sering-sering datang ke sini untuk membantu. Sambil saya juga bisa melakukan penelitian kecil-kecilan untuk tugas saya. Jadi, win-win lah buat kita,” kata Zidan dengan senyum sedikit canggung. Padahal, alasan utamanya datang ke sini bukanlah penelitian. Abi telah memintanya secara khusus untuk selalu siap membantu dan mendampingi Pak Suryono dalam proyek hidroponik ini. Pak Suryono terlihat sedikit terkejut, tapi senyumnya tak pernah pudar. "Wah, kalau begitu, tentu saya senang sekali, Nak Zidan. Penelitian sambil belajar bersama, kenapa tidak?" Abi tersenyum melihat antusias ayah mertuanya. Selama ini Pak Suryono hanya bekerja sendiri sesekali dibantu Bu sekar. Beberapa bulan kemudian, hasil dari metode hidroponik mulai terlihat. Panen lebih cepat dan hasilnya lebih banyak daripada sebelumnya. Ayah Bintang merasa bangga dengan pencapaiannya, meskipun dia masih sering merasa canggung dengan teknologi baru ini. Keberhasilan Pak Suryono masih saja membuat tetangga-tetangga di desa mulai merasa iri. Suatu hari di akhir pekan, Abi dan Bintang datang ke rumah orang tuanya seperti biasa. Begitu mereka sampai, mereka melihat ada kerumunan di depan rumah. Beberapa tetangga berkumpul, membicarakan sesuatu dengan suara lirih, tapi jelas ada nada sinis dalam percakapan mereka. "Ada apa ini?" tanya Bintang, penasaran. Dia mempercepat langkahnya menuju kerumunan. Abi mengikuti dari belakang, mengamati situasi dengan tenang. Dia melihat ada seorang pria yang tampak mencurigakan, memegang buku catatan kecil dan berbicara dengan ayah mertuanya. Salah satu tetangga menyeringai. "Ada apa, sih? Oh, rentenir, toh. Tidak heran lagi, sih." Yang lain ikut berbisik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN