Bab 8 : Sama, tapi Tak Serupa

1189 Kata
Abi menyanggupi permintaan Bintang, dia juga tidak sembarangan menyentuh wanita. Wanita? Bukankah Bintang sekarang istrinya? Abi menggeleng cepat kepalanya saat hati dan otaknya tidak bisa diajak kompromi. Tangannya bahkan sudah terulur merapikan rambut Bintang yang menutupi wajah sang istri yang tertidur lelap memeluk Kanina. Tidak ada cinta, tidak ada romansa yang menggetarkan hati seperti cerita cinta di film-film. Pernikahan mereka lahir dari keterpaksaan, dari sebuah keputusan mendadak yang menyelamatkan muka keluarga Bintang dan keinginan Abi melihat Kanina bahagia. Namun, meski begitu, Abi ingin pernikahan ini bertahan. Baginya, kegagalan bukanlah pilihan. “Selamat pagi, anak Bunda,” ucap Bintang sumringah membuka tirai kamar memaksa Kanina dan Abi bangun sementara matahari pagi langsung menyapa. “Kanina masih mengantuk,” lirih Kanina berbalik memeluk Abi yang juga terusik dengan suara Bintang dan cahaya yang menembus kaca jendela. “Ayah juga mengantuk. Tidur lagi, Kanina,” ajak Abi membalas pelukan Kanina—menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Namun Bintang dengan cepat menahannya. Abi sempat menoleh kemudian kembali menarik selimut paksa hingga Bintang yang tidak siap terjatuh. Abi cepat menangkap Bintang membuat posisi keduanya malah semakin intim—di mana Abi memeluk Bintang yang jatuh ke atas tubuh besar Abi. “Cie …, cie …,” suara Kanina membuat Bintang segera bangkit, terlihat salah tingkah merapikan rambut dan pakaiannya. Sementara Abi menarik Kanina kembali masuk ke dalam selimut menyembunyikan wajahnya yang memerah sama seperti Bintang saat ini. “K—kok, tidur lagi, sih! Sudah, ya, Bunda tidak mau bangunin lagi. Pancake-nya mau Bunda habiskan saja,” ancam Bintang melenggang cepat keluar kamar dengan jantung yang berdetak tak karuan. “Kanina mau pancake, Bunda,” pekik Kanina berusaha lepas dari pelukan Abi. Abi sengaja menahan Kanina hingga Kanina tertawa bahkan ingin menangis takut tidak kebagian pancake kesukaannya. “Ayah, lepas!” pekiknya lagi sementara Abi cekikikan melihat reaksi Kanina saat ini. *** Abi menatap Bintang yang luwes mengurus Kanina. Bintang terlihat serius dengan perannya. Dia memang memanjakan Kanina, tapi perlakuannya membentuk Kanina menjadi lebih mandiri. Abi pun bertekad untuk memperbaiki hidupnya dan menjadi suami yang baik. Dia pernah gagal sebagai suami. Pernikahan pertamanya dengan Almarhumah Aira tidak terselamatkan karena keegoisannya. Abi merasakan ketakutan yang sama, ketakutan akan mengulangi kesalahan yang dulu pernah ia buat. “Memang kalau melamun Mas jadi kenyang?” sindir Bintang menatap Abi sinis. Dia masih tidak terima karena tadi Abi memeluknya. “Ayah mau disuap Bunda, ya?” goda Kanina membuat Bintang salah tingkah, dan Abi segera melahap sarapannya. Abi mengantar Bintang dan Kanina ke sekolah, pulang nanti keduanya akan dijemput oleh supir Abi yang menyamar menjadi taksi langganan Kanina. “Mas, aku lupa bilang ini ke kamu. Setiap penerimaan gaji, aku selalu membagi setengah dari penghasilanku untuk orang tuaku. Mungkin setelah ini aku akan budgetin ulang, biar bisa sisihkan untuk hal lainnya. Abi mengerutkan keningnya menanyakan hal lain dari yang Bintang maksud. “Ya, apa saja, tambahan untuk dana darurat misalnya.” Abi tidak setuju dengan ide Bintang mengurangi uang bulanan untuk orang tua sang istri. Abi bahkan mengizinkan Bintang memakai uang dari kartu debit yang dia berikan kemarin. Sementara uang gaji mengajar bisa Bintang gunakan untuk hal apa saja sesuai keinginannya. “Mana bisa begitu, Mas,” sangkal Bintang. “Trust me, tidak perlu sekhawatir itu. Aku akan melakukan yang terbaik untuk keluarga kita,” kata Abi. Keluarga kita? Mendengar itu darah Bintang berdesir. Benar, mereka sudah menjadi satu keluarga sekarang. “Maafkan aku, ya, Mas,” lirih Bintang. Sekalipun baru mengenal Abi, tapi Bintang tidak segan menyuarakan pendapatnya. Sekalipun beberapa kali berbeda pandangan dengan Abi, mereka selalu menemui titik tengah. *** “Ayah!” seru Kanina melompat riang begitu Bintang membuka pintu utama mendengar kedatangan Abi. Abi dengan wajah lelahnya meraih Kanina dan menggendongnya, kemudian mencium pipi gadis kecilnya. “Wanginya, anak Ayah,” kata Abi, dia tersentak saat Bintang mengambil tas di tangannya. Bintang mengulurkan tangannya membuat Abi bingung. “Aku mau menyalami, Mas. Lupa prosedur di rumah ini?” katanya, Abi segera mengulurkan tangannya dan Bintang menyalami suaminya dengan takzim. Kini bergantian Kanina menyalami dan mencium pipi Abi. Abi tertakjub dengan perlakuan Bintang setiap harinya sampai Kanina selalu meniru hal-hal baik. “Bunda belum cium Ayah,” kata Kanina membuat langkah Bintang terhenti. “B—bunda mau siapkan makan malam,” tolak Bintang halus. “Sini bunda cium Ayah. Ayah wangi kok.” Bintang meringis kembali menolak, tepat saat dia akan kembali melangkah Abi menahannya. Bintang menerjap, wajahnya sudah memerah, dan sedikit salah tingkah. Susah payah Bintang menelan salivanya menatap wajah datar Abi, dengan gerakan cepat dia mencium sebelah pipi Abi membuat lelaki itu terkejut. “Aku bukan minta dicium, tapi ingin membawa sendiri tas kerjaku,” ujar Abi mengambil tas dari tangan Bintang. Bintang menutup mulutnya dengan sebelah tangannya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan. “Bagaimana, wangi ‘kan?” bisik Abi menggoda Bintang sebelum meninggalkan sang istri. Bintang menggigit bibir bawahnya merutuki dirinya yang salah mengartikan tindakan Abi. Dia memejamkan mata dan mengepal kuat kedua tangannya. Bisa-bisa kamu, Bintang, menciumnya lebih dulu, batinnya. Abi mengulum senyumnya melihat Bintang salah tingkah di meja makan. Abi mulai hapal perangai Bintang, dia akan ketus dan dingin bila tidak sengaja mereka bersentuhan. Tak jarang Bintang selalu menyalahi Abi. Siapa sangka tadi Bintang lebih dulu yang menyentuhnya, tepatnya mencium pipi Abi. “Ngapain kamu senyum-senyum, Mas?” tanya Bintang sinis. “Aku memang murah senyum,” balas Abi berusaha meraih lauk yang sedikit jauh darinya. Dengan cepat Bintang mengambilkan lauk untuk Abi membuat Abi kembali tertegun dengan perlakuan Bintang. Belum lagi melihat perlakuannya pada Kanina. Seperti saat ini, Bintang dengan telaten menyuwir ayam untuk Kanina. Sementara gadis kecilnya tidak henti mengecup sebelah pipi Bintang. “Mas sedang apa?” tanya Bintang mengerutkan keningnya melihat perlakuan Abi. “Sedang menyuwir ayam untuk kamu,” jawabnya polos membuat Bintang menahan tawanya. “Kenapa tertawa?” Mendengar pertanyaan Abi, Bintang malah menyemburkan tawanya. “Kamu kira aku anak kecil?” “Aku hanya ingin belajar memperlakukanmu dengan baik,” lirih Abi membuat Bintang tertegun mendengar jawaban Abi. Malam itu, setelah makan malam, Kanina dipindahkan ke kamar karena tertidur di ruang tengah. Abi kembali ke ruang tengah. Pandangannya jatuh memandang Bintang yang sedang membereskan dapur. Sejak menikah, Abi mengirim Bik Tari kembali ke rumah mamanya. Melihat Bintang saat ini, ada perasaan aneh yang muncul, seolah-olah dia sedang melihat sosok almarhumah istrinya, Aira, melalui Bintang. Abi mendekat menawarkan bantuan, tapi Bintang menolak. Bintang malah memberi wedang jahe yang beberapa hari ini menjadi minuman kesukaan Abi. Abi duduk di kursi tinggi di dekat kitchen island menyesap minumannya sesekali melirik Bintang yang sedang memeriksa isi kulkas—memindahkan olahan ayam dari freezer ke chiller untuk dimasak besok pagi. “Anakku tidur, Mas?” tanya Bintang tanpa menatap Abi, sibuk dengan kegiatannya. Abi menyahut membenarkan. Bintang bahkan tidak ragu menyebut Kanina anaknya. Semua perlakuan Bintang sungguh serupa dengan mendiang istri Abi. Bintang terdiam sejenak, matanya memandang lurus ke arah Abi yang sedang menatapnya tidak berkedip. "Kenapa lihatin aku begitu, Mas?” tanya Bintang mulai risih. “Mas Abi?” “Iya, Aira?” Abi membulatkan mata terkejut dengan panggilan yang baru saja dia ucapkan. “Namaku Bintang, Mas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN