Bab 7 : Permintaan Bintang

1565 Kata
“Saya terima nikah dan kawinnya Bintang Maharani binti Suryono Pranoto dengan mas kawin tersebut tunai,” ucap Abi lantang dengan sekali tarikan napas. “Sah!” ucap tetamu mengikuti saksi dalam pernikahan. Bintang akhirnya menerima pernikahan dengan Abi, bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena keadaan memaksa. Zafran, pria yang selama ini ia cintai dan ia percayai, pergi meninggalkannya tepat di hari pernikahan mereka. Tanpa alasan dan penjelasan, hanya ada pesan singkat di layar ponselnya. Zafran : Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Bintang. Jangan menungguku. Pesan itu menghancurkan harapan dan impiannya dalam sekejap. Sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan karena Zafran tidak akan kembali. Orang tuanya sudah mengeluarkan begitu banyak tenaga dan waktu untuk mempersiapkan pernikahan ini, tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan pahit ini, pikir Bintang. Tidak ingin menanggung malu setelah seluruh persiapan sudah mencapai seratus persen. Pernikahan sudah di depan mata. Keluarga besar sudah berkumpul, tamu-tamu telah hadir, dan janur kuning sudah berdiri kokoh di depan rumah mereka. Bintang merasa tidak mungkin egois. Kecewa dan terluka, ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya malu di hadapan semua orang. Bintang menerima ini semua dengan lapang d**a. Namun, dia tidak pernah menyangka lelaki yang akan menjadi suaminya adalah Abi, wali dari muridnya. Lelaki yang baru saja dia kenal. Jika pernikahan sekali seumur hidup, benarkah Abi adalah takdir yang tuhan persiapkan untuknya? Dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah layar ponselnya. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menggoreskan luka yang entah kapan akan mereda. Tiba-tiba, Bintang tersentak saat ponselnya diambil dari tangannya dengan paksa digantikan dengan tisu. Abi berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan tegas, tapi penuh pengertian. Bintang cepat-cepat mengusap air matanya yang telah mengalir tanpa disadari. Abi duduk di tepi ranjang di samping Bintang seolah menyiratkan pemahaman dan penghiburan yang tak terucap. Sesuatu dalam dirinya merasakan kehangatan, meski kecil, dari perhatian sederhana Abi. Ada jeda canggung antara mereka. Abi tidak mengatakan apa pun, dia hanya duduk diam di sana. “Bapak perlu sesuatu? Minum, biar saya ambilkan—” "Saya tahu ini tidak mudah," ucap Abi akhirnya dengan nada yang lebih pelan menahan Bintang pergi, "Tapi saya tidak akan mempermainkan pernikahan ini, Bee. Saya butuh kamu untuk Kanina." Bintang menatap Abi sejenak, mencari sesuatu di matanya. Dia tidak tahu apakah itu harapan atau kepastian. Yang dia tahu, dia tidak sendirian dalam ketidakpastian ini karena Bintang tahu, Abi menginginkannya untuk Kanina. "Jujur ini tidak mudah, tapi saya akan mencoba," jawab Bintang pelan. Itu bukan sebuah janji, tapi sebuah awal. Abi mengangguk, seperti mengerti bahwa semua ini tidak bisa dipaksakan. Abi dan Bintang adalah dua orang asing yang terikat oleh pernikahan yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Meskipun mereka belum saling mengenal dengan baik dan cinta belum tumbuh di antara mereka, satu hal yang pasti—mereka sama-sama ingin menjalani kehidupan baru ini sebaik mungkin. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk Kanina, gadis kecil yang menjadi penghubung tak terduga di antara mereka. “Ibu!” panggil Kanina berlari masuk ke dalam kamar memeluk Bintang. Abi dan Bintang beradu pandang. Bintang membawa Kanina naik ke atas pangkuannya menatap wajah gadis kecil cantik itu. Sejak bertemu dengan Kanina di pemakaman hari itu, Bintang sudah jatuh hati pada gadis kecil yang memiliki mata cantik itu. Sehari-hari bersama, mudah saja baginya untuk menerima Kanina. “Kanina tidak boleh panggil Ibu lagi, ya,” tolak Bintang membuat bibir Kanina melengkup ke bawah. “Mulai sekarang panggilnya Bunda saja, ya?” Kening Kanina mengerut dia menatap Bintang bingung kemudian bergantian menatap Abi yang tersenyum seraya mengangguk. “Seperti Kakak Aruni, Deka dan Disya?” tanya Kanina mengingat sepupunya juga memanggill orang tuanya, Ayasha, dengan sebutan Bunda. Bintang menoleh ke arah Abi, tidak paham dengan maksud Kanina. “Benar, Sayang,” jawab Abi. “Bunda Bintang,” panggil Kanina tersenyum malu. “Iya, Sayang,” balas Bintang, Kanina tersenyum lebar—memeluk Bintang. Bintang menyadari posisinya saat ini, mengingat status Abi yang ditinggal oleh sang istri yang lebih dulu menghadap Ilahi. Dia tidak ingin mengganti posisi Ibu kandung Kanina, wanita yang melahirkan Kanina akan tetap memiliki tempat di hati Abi dan Kanina. *** Sejak pernikahan Bintang dengan Abi, suasana di lingkungan sekitar rumah Bintang berubah menjadi ajang bergosip bagi para tetangga. Para tetangga sering kali terlihat berkumpul di warung di pojok gang sore hari membicarakan segala sesuatu yang mereka bisa. "Eh, beneran itu ya, perhatiin nggak, sih? Bukannya undangan pernikahannya Bintang dengan Zafran, ya?" celetuk Bu Ani dengan wajah keheranan, sambil menyeruput tehnya. "Ya ampun, Bu! Masa nggak tahu, sih? Kan mempelai prianya diganti. Itu si Zafran kan kabur sama perempuan lain! Tahu, nggak? Suami Bintang itu duda anak satu. Sayang banget, ya. Bintang itu cantik, pintar, dan yang terpenting single. Dapat yang sisa, deh, si duda," jawab Bu Rina sambil cekikikan. “Udah gitu, si Duda itu cuma pegawai biasa di perusahaan, eh, freelance. Ya ampun, kasihan banget si Bintang!” “Ini sih salahnya Pak Suryono, takut malu kali ya karena nggak jadi nikahin anaknya. Kasihan banget Bintang,” seru yang lain. Gosip-gosip seperti itu terus beredar, seakan-akan kehidupan Bintang dan Abi adalah drama sinetron yang menarik perhatian semua orang. Bahkan beberapa tetangga tak segan menertawakan mereka secara terang-terangan. "Kok mau sih sama Duda anak satu?" tanya mereka, tak jarang dalam bisikan yang terdengar jelas. “Duda kaya sih, nggak apa-apa. Memang sih tampangnya spek dewa, tapi kalau kere, ya, buat apa? Emangnya kenyang makan tampang doang?” Bintang sering disindir secara halus tiap kali tidak sengaja berpapasan dengan tetangga. Tidak ragu mereka melayangkan kalimat menyayangkan pilihan Bintang menerima pernikahan demi menanggung malu orang tuanya. Namun Bintang tidak terusik dan memilih mengabaikannya, meskipun hatinya sakit. “Kenapa?” tanya Abi melihat Bintang masuk ke dalam kamar dengan wajah yang ditekuk. “Biasa,” balas Bintang. Mereka sudah membahas ini dengan kedua orang tuanya karena gosip ini seperti sudah tidak terkendali. Pak Suryono meminta Abi dan Bintang untuk tidak terpengaruh dengan omongan warga yang tidak ada habisnya. Abi sendiri tidak terlalu peduli. Dia tahu orang-orang akan selalu mencari bahan untuk digosipkan. Lagipula, bukan gosip itu yang menjadi fokusnya saat ini. Masih banyak hal penting lainnya yang memenuhi pikirannya daripada sekedar omongan warga. “Kenapa?” tanya Abi lagi karena Bintang terus menatapnya. “Mas keluar dulu boleh, nggak? Aku mau ganti pakaian. Hari ini kita jadi ke rumah Mas ‘kan?” “B—boleh, maaf.” Abi segera merapikan kerjaannya. Baru saja selesai meeting zoom dengan salah seorang timnya. “Jadi, kita pulang ke rumah hari ini. Kamu tidak masalah meninggalkan Bapak dan Ibu di sini? Atau kita ajak mereka tinggal bersama,” tawar Abi. “Kan aku sudah bilang mereka nggak mau. Lagian rumah itu ‘kan fasilitas kantor, Mas. Kalau kontrak pekerjaan Mas tidak diperpanjang, kita harus pindah ‘kan?” Tiga hari sudah mereka menginap di rumah orang tua Bintang pasca acara pernikahan. Keduanya sudah sepakat setelah menikah akan tinggal bersama di rumah yang saat ini Abi tempati. “Harusnya kamu doain pekerjaan saya lancar,” balas Abi sinis. “Ya ampun, Mas, maafkan aku,” lirih Bintang. Dia mengigit bibir bawahnya merutuki dirinya yang tidak sopan terhadap suaminya. “Biar apa kamu gigit-gigit bibir begitu?” Bintang cepat melipat bibirnya seraya menggeleng melihat Abi melewatinya, keluar dari kamar. Sore harinya pengantin baru itu berpamitan pulang. Abi memilih menyembunyikan identitasnya dari keluarga sang istri, mengatakan kalau semua yang dia miliki adalah fasilitas dari perusahaan tempat dia bekerja. Namun, dia meyakinkan orang tua Bintang kalau dia akan memastikan kebutuhan Bintang terpenuhi lahir dan batin. “Nanti Kanina main ke sini lagi kalau Ayah libur, ya, Nenek,” kata Kanina tak ingin lepas dari pelukan Bu Sekar. “Wajib! Nenek dan Kakek tungguin Kanina. Kita kan mau panen tomat,” kata Bu Sekar menciumi pipi Kanina. Kedua orang tua Bintang adalah petani sayur yang menjajakkan hasil panennya ke pasar. Beberapa hari di rumah sang Kakek, Kanina begitu antusias. Hampir setiap hari ikut berkebun di belakang rumah. “Tunggu Kanina, ya, Kakek,” pintanya dengan manja seraya berpamitan. *** Di awal kehidupan pernikahan mereka, keadaan memang terasa canggung dan sedikit kikuk. Bintang dan Abi yang belum terlalu mengenal satu sama lain, tiba-tiba harus berbagi rumah, berbagi tanggung jawab, dan—pada akhirnya—mencoba memahami satu sama lain. Pada malam hari pertama mereka bersama di rumah, Abi memutuskan untuk berbicara serius dengan Bintang. Setelah Kanina tidur, Abi duduk di meja kerjanya menatap Bintang yang baru saja masuk ke dalam ruangan kosong yang Abi sulap menjadi ruangan kerjanya—membawa minuman hangat dan cemilan. “Terima kasih,” kata Abi dan Bintang mengangguk. Bintang memutuskan untuk menerima takdir ini dan mengabdikan dirinya pada suaminya, Abi. Terlepas apa pun alasan pernikahan mereka, mereka memutuskan untuk sama-sama belajar. "Bee,” panggil Abi lembut saat Bintang akan meninggalkannya. “Duduklah, ada yang ingin aku bicarakan.” Bintang menuruti sang suami duduk di sofa kecil di ruangan itu. Abi memberikan sebuah kartu debit. “Ini untuk kamu. Aku akan memastikan isinya cukup untuk kebutuhan kamu dan keperluan bulanan.” Bintang mengangguk paham, dia tidak banyak menuntut dan menerima apa adanya. Bahkan meminta Abi untuk berbagi dengannya, semisal Abi merasa kesulitan perihal apa pun itu. “Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan juga Mas,” kata Bintang lirih, dia bahkan menundukkan pandangannya karena ragu. “Katakanlah,” balas Abi meraih gelas berisi wedang jahe buatan Bintang. “Aku belum siap memberi hak Mas Abi sebagai suamiku.” Uhuk! Uhuk!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN