Bab 9 : Bisik Tetangga

1228 Kata
“Kamu betah dengan rumahnya?” tanya Abi pada Bintang yang langsung mengangguk cepat. Mereka memutuskan untuk pindah ke perumahan yang sedikit lebih dekat dari rumah orang tua Bintang. “Tidak masalah, ya, sekaligus bayar setahun, Mas? Padahal enam bulan dulu juga tidak masalah,” kata Bintang. “Bee,” protes Abi dengan nada lirih membuat Bintang menyeringai. Bintang yang supel mampu mengimbangi Abi yang datar. Mereka sudah mendiskusikan hal ini baik-baik. Perihal pindah rumah dan p********n uang kontrakan yang dibayar diawal untuk satu tahun ke depan. Nyatanya Abi sudah membeli dan membayar lunas rumah itu tanpa sepengetahuan istrinya. “Bunda, katanya mau ke rumah Nenek. Kanina sudah tidak sabar,” rengek Kanina—bergelayut manja pada Bintang. “Iya, Sayang. Kanina bantu Bunda dulu bungkus salad buahnya untuk Kakek dan Nenek, ya,” pinta Bintang dan Kanina menyahut setuju. Malam ini mereka berencana menginap di rumah orang tua Bintang, menghabiskan akhir pekan di sana. Tepat saat membungkus salad bersama Kanina, Bintang melihat Abi mendekat mengatakan keraguannya. Abi mengulurkan tangannya meraih sendok menikmati salad buatan Bintang. Selalu ada saja buatan Bintang yang membuatnya bersemangat menikmatinya karena rasanya yang enak. “Mas nggak apa-apa, ya, kita selalu ke rumah Ibu dan Bapak? Kita bahkan belum pernah ke rumah Mama dan Papa, Mas,” kata Bintang membuat Abi terbatuk-batuk setelah menyuap salad buah ke mulutnya. “Mas! Ya ampun hati-hati, Mas.” Abi mengangguk menerima segelas air dari Bintang. Benar, sebulan menikah. Abi belum pernah membawa Bintang menemui keluarganya. Mereka hanya bertegur sapa melalui panggilan telepon, sesekali lewat video call. “Oma dan Opa ‘kan masih di Japan, Bunda …, Bunda …,” kata Kanina. “Japan? Jepang maksudnya?” koreksi Bintang dan Kanina mengangguk karena mulutnya penuh buah saat ini. “Mas! Hati-hati, dong. Kamu kenapa, sih?” tanya Bintang keheranan karena Abi kembali tersedak. Saking paniknya Bintang sampai lupa mengklarifikasi pernyataan Kanina. *** Abi merasa lega ketika mengetahui bahwa dirinya diterima dengan baik oleh keluarga Bintang. Setiap akhir pekan, mereka menginap di rumah orang tua Bintang. Sebuah rumah sederhana, tapi penuh kehangatan di desa yang asri. Hubungan Abi dan Bintang yang tadinya kaku dan dipenuhi keraguan mulai melebur perlahan, seiring dengan keakraban yang terjalin antara Abi dan keluarga Bintang. Suasana rumah yang ramai dengan suara ayam berkotek dan angin yang menggerakkan dedaunan pepohonan di halaman membuat Abi merasa nyaman. Ayah Bintang, Pak Suryono, adalah seorang pekebun yang cukup handal. Meskipun lahannya sempit di belakang rumah, Pak Suryo mampu memanfaatkannya dengan maksimal. “Mas,” panggil Bintang memberikan wedang jahe pada Abi yang sedang menikmati suasana sore yang tenang. “Oh, ya, Mas. Mama dan Papa Mas benar sedang di Jepang?” tanya Bintang menoleh ke arah Abi. “Japan, Mama dan Papa sedang di Kudus. Main ke rumah teman lamanya,” jawab Abi menyesap minumannya menyembunyinya kegugupannya. “Oh, desa Japan? Aku pikir Jepang.” Bintang meringis sementara Abi menatap wajah istrinya dengan rasa bersalah. Keesokan paginya, Abi membantu Pak Suryono bekerja di kebun kecilnya, merawat tanaman dengan penuh ketelitian. Sayuran seperti bayam, kangkung, sawi, dan cabai tumbuh subur di tanah yang tidak terlalu luas itu. Abi mengagumi cara Pak Suryono bercocok tanam. Beliau telaten menggunakan pupuk alami dari kompos yang beliau buat sendiri. Hasil panen itu kemudian dijual ke pasar, dan selalu laris manis. Namun, keberhasilan Pak Suryo ternyata membuat beberapa tetangga di desa iri. Pak Darto, salah seorang tetangga di desa itu, sering kali memandang kebun Pak Suryono dengan sorot mata penuh curiga. Tidak hanya itu, beliau juga menuduh Pak Suryono menggunakan bahan kimia berbahaya untuk mendapatkan hasil panen yang bagus. "Pasti ada sesuatu di balik sayur-mayur yang hijau dan segar itu," kata Pak Darto dengan nada sinis di depan beberapa warga desa yang lain. "Kalau tidak pakai bahan kimia, mana mungkin bisa tumbuh sebaik itu di tanah sempit!" Gosip itu menyebar dengan cepat di desa kecil mereka. Beberapa warga mulai mempertanyakan metode bercocok tanam Pak Suryono. Mereka bahkan menolak membeli sayurannya di pasar yang di supply oleh Pak Suryono, dengan alasan khawatir ada racun tersembunyi. “Pagi ini tidak ke pasar, Pak?” tanya Abi curiga. Beberapa hasil panen dimasak dan dibungkus untuk dibagikan ke luar desa. Tidak jarang Abi dan Bintang juga di kirimin sayur mayur setelah panen lebih banyak dari biasanya. Ibu dengan lugas menceritakan berita yang tengah ramai di desa mereka pada Abi. “Bu …,” protes Pak Suryono tidak setuju dengan kelakuan sang istri. “Abi ‘kan juga anak kita, Pak. Tidak ada salahnya dia tahu,” pangkas sang ibu mertua. Abi mengangguk paham duduk perkaranya. Padahal selama ini, Abi melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Pak Suryono bekerja di kebun, semua tuduhan itu jelas tidak benar. Dia tahu betul bagaimana Pak Suryono sangat hati-hati dan telaten dalam mengelola tanamannya. Mendengar cerita sang ibu, Bintang pun merasa tidak nyaman. Dia tahu ayahnya adalah pria yang jujur dan tidak mungkin melakukan hal-hal seperti yang dituduhkan oleh Pak Darto dan para tetangga lainnya. “Keterlaluan! Kita perlu bicara dengan Pak Darto," kata Bintang mendekat ke arah mereka yang sedang duduk di teras rumah. Pak Suryono menggeleng. "Pak Darto itu keras kepala. Kalau dia sudah punya anggapan seperti itu, susah untuk diubah. Dia hanya kurang percaya diri dengan hasil panennya, tidak perlu dipikirkan,” kata Pak Suryono. Bintang berdecak kesal mendengar jawaban ayahnya. Kalau hanya dia yang menjadi bulan-bulan tetangga tidak masalah dia sudah kebal, tapi dia tidak akan tinggal diam kalau sampai orang tuanya juga dibawa-bawa. Abi meraih sebelah tangan Bintang, menggenggamnya erat dan mengusapnya lembut dengan ibu jarinya. Pandangan Bintang terangkat menatap Abi. Suaminya menggeleng tidak setuju dengan sikap Bintang membuat bibir Bintang mengerucut, tapi terlihat lucu di mata Abi. *** Tak hanya itu, gosip tentang Bintang dan Abi yang mengontrak di perumahan dekat desa juga menjadi bahan pembicaraan hangat. Warga mulai menggunjingkan mereka karena dianggap terlalu memikirkan gengsi. "Mereka itu ya, tinggal di perumahan padahal cuma ngontrak. Mau pamer apa, sih?" celetuk Bu Rina suatu hari di warung pojok gang. Suatu ketika, Pak Suryono ditegur oleh tetangga yang sedang lewat di depan rumahnya. "Senggang sepertinya, Pak?” Pak Suryono membalas dengan anggukan dan senyuman seraya menyirami bunga. “Bintang tidak datang? Biasanya akhir pekan selalu ke sini. Katanya Bintang ngontrak ya, Pak, di perumahan luar desa? Kenapa tidak tinggal di sini saja?" tanya tetangga beruntun. Pak Suryo hanya tersenyum tenang. "Mereka tinggal di mana pun, yang penting mereka bahagia," jawabnya. "Kalau di perumahan, mungkin mereka merasa lebih nyaman dan lebih dekat dengan sekolah tempat Bintang mengajar juga tempat kerja Abi, suaminya." Jawaban itu membuat Bu Rina mengangguk seolah paham. “Nggak perlulah Pak rumah mewah kalau ujung-ujung memberatkan. Gengsi nggak ada habisnya,” sambung Bu Rina. Beberapa warga ikut berkumpul bertanya ini dan itu kemudian Pak Suryono pamit undur diri karena masih ada kerjaan lain. *** “Kenapa?” tanya Abi melihat wajah murung Bintang setelah menerima sambungan telepon dengan ibunya. Bintang menceritakan perbincangan warga desa tentang kehidupan rumah tangga mereka membuat Abi melempar senyum kecut. “Bagaimana tanggapan kamu? Apa kamu menyesal dinikahi oleh duda anak satu yang tampan, tapi kere?” tanya Abi kemudian meringis kesakitan karena Bintang memukul keras lengannya. “Yang benar saja pertanyaannya,” kesal Bintang. “Lantas apa? Kamu senang dinikahi olehku?” Bintang terdiam, tidak bisa berkata-kata. “Kenapa wajahmu memerah? Sesenang itu?” “Se—sepertinya Kanina terbangun, aku masuk ke kamar dulu, ya,” ujar Bintang menghindar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN