Kesalahpahaman (2)

1905 Kata
Jacob melihat wajah Wira yang mulai memerah, tidak ada tatapan kasih yang terpancar dari kedua matanya. Jacob tidak ingin ikut campur soal kejadian ini, dan memilih meninggalkan Wira dan Mona secara diam-diam. “Duh urusan dua orang ini dah ya, gue lebih baik pergi aja,” batin Jacob. Beruntungnya, Wira dan Mona tidak mengetahui kepergian Jacob itu. Jacob langsung mencari motornya yang terparkir di halaman kampus, dan mengemudikan motornya. Namun, saat di tengah perjalanan, Jacob justru ingat kalau yang ditumpanginya ialah motor Wira. “Lah, gue pulang pakai motor Wira, terus Wiranya gue tinggal. Kelakuan gue kayak syaiton gak sih?” pikir Jacob. Jacob melihat ke kaca spionnya, kendaraan di belakangnya cukup padat dan susah untuk memutar balik arah. “Maafkan gue Wir, hari ini gue pinjem motor lo ya,” kata Jacob. Sesampainya di rumah, Jacob melihat motor bebek berwarna biru tua yang terparkir di halaman rumahnya. “Loh, Ardin kok ke rumah gue? Kan gak ada janjian buat ngumpul,” ujar Jacob yang menengok ke dalam rumahnya lalu sudah tampak Ardin sedang duduk di ruang tamu. “Ardin?” sapa Jacob saat melewati keset kaki “Welcome” di dekat pintunya. Ardin sudah duduk santai dengan secangkir kopi yang ada di atas meja. “Udah lama lo di sini?” tanya Jacob dan mengambil tempat duduk di depan Ardin. “Sekitar lima belas menitan lah, gak lama kok,” jawab Ardin. “Lo gak sama Wira?” Ardin melempar pertanyaan. Jacob meringis, “enggak, sengaja gue tinggal, karena tadi gue mau putar balik, macet banget bro!” balas Jacob. “Lo tinggal dia di mana?” tanya Ardin. “Di warung Mpok Uut, sama perempuan yang namanya Mona,” jawab Jacob. Mengetahui Wira bersama Mona berada di tempat yang sama, hal itu membuat hati Ardin menyelekit. “Serius lo?” ia memastikan lagi dan berusaha menahan emosinya. “Iya, gue bener. Tapi lo jangan langsung marah ke Wira. Gue certain yang sebenarnya, boleh kan?” Jacob menatap mata Ardin yang masih penuh dengan kecurigaan. Maka dari itu, Jacob meminta izin sebelum memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Hmm,” sahut Ardin. “Apa tuh artinya? Setuju kan sama kesepakatannya?” balas Jacob. “Iye, cepetan ceritain,” tutur Ardin. Jacob menegakan badannya, dan menaruh kedua tangannya di lututnya. Sambil menatap Ardin yang posisinya setengah rebahan di depannya itu. Jacob menghela napasnya dulu, “oke, gue mulai cerita ya.” “Gini, waktu gue ada di warung Mpot Uut, tiba-tiba aja Wira datengin gue dengan wajahnya yang merengut. Gue kira dia akan berbicara, lapar. Namun, ia malah bertanya tentang lo. Katanya, bakal ada kesalahpahaman yang diciptakan antara lo berdua sama Wira, terutama tentang perempuan yang diduga gebetan lo itu, Mona,” jelas Jacob. Ardin mengamati kata demi kata yang dilontarkan oleh Jacob saat itu. Ia tidak menyela sedikit pun apa yang dibicarakan, padahal Ardin adalah orang yang bawel dan suka meragukan pernyataan dari orang lain selain dirinya. “Din, lo gak apa-apa, kan?” Jacob juga memiliki firasat yang tidak biasanya dari Ardin. Jelasnya, tentang Ardin yang tidak mengeluarkan suara apapun dari mulutnya. “Gak apa-apa, kok, terusin aja,” pinta Ardin. “Oke,” Jacob menelan ludahnya dahulu sebelum melanjutkan penjelasannya. “Terus dia minta bantuan ke gue untuk kasih tau ke lo kalau dia sama Mona itu gak ada apa-apa, dan sama sekali gak punya kepentingan apa pun,” sambung Jacob. Dan, Ardin pun berkata, “kalau dia sama Mona gak punya kepentingan apa-apa, kenapa gue ngelihat mereka berdua kayak dekat banget?! Pertama, di taman dekat kantin, terus di warung Mpok Uut, barusan aja gue lihat mereka berdua di situ.” “Eits, jangan panas dulu lo bro! Dengerin dulu ya, kalau dari pernyataan yang diucapkan Wira, dia sebenarnya gak senang dideketin Mona gitu. Menurut gue sih ya, Mona yang selalu mencari kemana pun Wira pergi—“ “Apa lo bilang?! Lo kalau ngomong jangan yang aneh-aneh deh! Enak banget lo ngomong kalau Mona yang sengaja cariin Wira?! Jadi lo pikir kalau Mona itu naksir dan ngincer Wira gitu?” Ardin menggebrak meja di depannya dan membuat gelas yang ada itu terjatuh. Sentakan kata-kata yang diucapkan Ardin membuat Jacob tidak bisa menahannya. Ardin berdiri dari duduknya dan melototkan mata ke arah Jacob yang kebetulan juga menatap Ardin. Hati Jacob khawatir, kecemasannya meningkat dua kali lipat ketika mengetahui Ardin menampakkan wajah kesal ke dirinya. “Din, lo jangan melotot gitu, muka lo mirip Hulk,” ledek Jacob untuk mencairkan suasana. “Hulk? Haha, lo gak usah pakai bercandan deh, ini urusan hari Jac! Lo gak bisa main-main!” kepala Ardin seperti ada api yang menyala-nyala, Jacob mengambil kopi yang masih tersisa di gelas Ardin, dan menyiramkannya ke Ardin dengan wajah polosnya. “Bim sala bim! Keluarlah syaiton yang ada di dalam diri Ardin, byuuur!” seketika saja baju kemeja Ardin didatangi noda cokelat kehitaman akibat kopi yang telah ditumpahkan Jacob. Ardin berhenti dengan amarahnya, dan sejenak terdiam. Matanya yang tadinya melotot, kini normal kembali. Ia hanya sedikit mengatur pernapasannya naik turun. “Oh, rupanya tadi memang ada yang tidak beres ya,” jawab Jacob yang melihat kondisi Ardin makin membalik. “Gak beres gimana maksud lo hah?!” Ardin menaikan satu oktaf lagi suaranya. Jacob terkejoet dan mengatur napasnya agar stabil. “Duh, bisa-bisa gue serangan jantung, nih!” batin Jacob yang langsung memegang dadanya, jantungnya berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Jacob tidak membalas pernyataan apapun, ia hanya fokus dengan jantungnya yang berdetak cepat itu. Ia coba kontrol dengan baik dengan cara mengelus-elus dadanya. Di samping itu, Ardin dengan wajah geramnya itu mengacak pinggangnya dan pergi keluar rumah. Dinyalakan motor bebeknya dan sengaja di gasnya kencang agar Jacob tau kalau dirinya marah besar. Lalu, Ardin ngacir entah kemana dia pergi. “Hufttttt,” Jacob merebahkan badannya ke sofa dan mendegus. “Ngeri amat ya kalau Ardin marah, bukan kayak Hulk lagi, tapi kayak emak-emak yang protes COD karena barangnya gak sesuai,” kata Jacob sambil menggelengkan kepalanya. “Ternyata usaha gue gak berhasil, pantes aja Wira gak mau jelasin sendiri ke Ardin. Mungkin dia tau kalau Ardin bakal nyemprot dirinya,” lanjut Jacob. Karena caranya ke Ardin itu gagal total, Jacob segera memberi tahu ke Wira. “Halo, Wir, maaf ya,” ucap Jacob di awal telepon. “Iya, Jac, udah gue maafin. Lo bawa pulang motor gue terus ninggalin gue sendirian di kampus, kan? Tau gak lo, gue jalan kaki bro, padahal kaki gue masih nyut-nyut-an,” cerca Wira. “Hehehe, sebenarnya gue bukan minta maaf soal itu sih. Eh tapi gak apa-apa deh, untung aja lo ingatin. Maaf ya bro!” balas Jacob. “Iya, berarti besok lo jemput gue ya sebelum ke kampus,” perintah Wira. “Oke sobat tajir!” spontan Jacob demi menebus rasa bersalahnya. “Eh terus maksud lo minta maaf soal apa nih? Ada apa, oy? Tiba-tiba lo minta maaf aja,” balas Wira. “Maaf bro! pokoknya GATOT!” ungkap Jacob. “Hah? Gatot? Garuk otot maksud lo? Atau Pak Gatot penjual cendol yang sering lo ngutangin?” Wira tidak memahami maksud dari Jacob. Jacob menarik napasnya, “bukan bukan bukan! Bukan begitu maksudnya. Gue gagal jelasin ke Ardin soal lo dan Mona. Ardin langsung gak percaya gitu dan—“ “Terus dia di mana sekarang? Masih sama lo, kan?” Wira menyela. “Gak, dan dia pulang gitu aja pakai acara bentak-bentar gue, lagi,” lanjut Jacob. “Sumpah? Duh, apa ya yang ada di pikiran Ardin itu. Omongan kita berdua kayaknya dikesampingkan.” “Iya, entahlah. Sorry ya bro gue gak bisa bantu,” ujar Jacob yang langsung menutup teleponnya. *** Wira pun berada di dalam kamarnya, berusaha mencari akal bagaimana agar bisa meyakinkan Ardin dan menghilangkan kecurigaan Ardin kepada Wira. Wira berkali-kali menghubungi Ardin lewat pesan, telepon, video call, dan seluruh media sosial Ardin. Hasilnya? Ardin tidak merespon Wira sama sekali. Padahal, pada saat itu Ardin sedang online. “Susah banget ya kalau udah gak percaya sama orang lain. Gak ada cara yang paling mujarab,” keluh Wira. “Lagian juga, kenapa sih Mona pakai ngebuntutin gue terus. Dikiranya gue suka apa ya, gue kan risih! Mana pakai ninggalin nomor telepoonya segala, lagi,” Jacob menatap selembar kertas kecil yang diberikan Mona ketika berada di warung Mpok Uut. Mona menuliskan nomor teleponnya di dalam kertas itu. Wira sudah berkali-kali berniat membuang kertas itu ke tempat sampah. Namun, apalah daya Wira tidak menemukan tempat sampah sama sekali hingga akhirnya terbawa sampai masuk ke kamarnya. Flashback ketika di warung Mpok Uut, perbincangan Wira dan Mona. “Mon, bisa gak sih lo gak ganggu gue? Gue risih tau gak,” kata Wira. “Kok risih? Bukannya semua cowok pada senang ya kalau diikutin cewek? Apalagi ceweknya cantik kayak gue,” balas Mona mengibaskan rambutnya dan mengenai wajah Wira. “Gak semua ya, terkecuali gue,” Wira beranjak dari tempat duduknya dan menuju pintu ke luar warung. “Eh eh tunggu deh tunggu,” Mona memberhentikan langkah kaki Wira dengan cara menarik tangan kanan Wira. Mona mengeluarkan kertas putih dan langsung dimasukan ke dalam kantong celana Wira. “Ini gue kasih nomor telepon gue, ya, ada yang mau gue omongin,” kata Mona sambil memberi senyum merekah pada Wira. “Dih, apaan?! Gak usah, kepedean banget lo! Gue gak bakal mau menghubungi lo, ini kertas bakal gue buang ke tempat sampah,” ucap Wira. Apa jadinya kalau Wira beneran menghubungi ke nomor telepon milik Mona? Pasti dirinya sudah menjadi anak durhaka di mata Ardin. Pasti langsung dikutuk jadi batu, deh. “Yakin lo gak penasaran kenapa gue terus-terusan ngikutin lo?” ujar Mona. “Ngapain gue penasaran, gak penting kali,” Wira meninggalkan Mona begitu saja. *** Di dalam benak Wira, terputar ucapan Mona yang mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang ingin Mona bicarakan. Terlebih lagi, Wira penasaran juga sih kenapa Mona terus menghantui langkah Wira hingga menyebabkan pertemanannya dengan Ardin diambang kehancuran. “Apa gue kirim sms ke Mona untuk gak gangguin gue lagi, ya?” niat Wira untuk menegaskan Mona. “Ah jangan dulu deh, gimana kalau tiba-tiba Ardin tau kalau gue nge-chat Mona? Hmm, bisa panjang urusannya! Gak jadi ah,” belum ada lima menit berlalu, Wira sudah mengurungkan niatnya. Kertas yang berisi nomor pribadi Mona itu diletakan di dalam laci Wira. “Nomor Mona ini gue kasih ke Ardin aja deh, kan dia naksir berat tuh sama Mona. Kali aja dengan jurus pemberian nomor telepon ini, Ardin bisa luluh lagi sama gue,” Wira mematangkan rencananya yang kedua. Yakni, memberikan nomor ponsel Mona ke Ardin guna melancarkan kegiatan pendekatan perasaan antar Ardin dan Mona. Wira menjentikan jarinya dan merasa ini adalah ide yang bagus, “mantap dah! Pasti semuanya akan berjalan dengan mantoel.” Wira mengambil kembali kertas itu yang sebelumnya diletakan di dalam lacinya. Kini, kertas itu diselipkan di belakang ponsel Wira. “Besok gue harus menemui Ardin, dan memberikan nomor telepon ini.” *** “Ehem! Cemberut aja lo,” Vera yang juga anggota BEM itu, mendatangi Ardin yang sedang sendirian di depan taman kampus. “Eh, lo Ver. Iya nih, galau banget gue,” ungkap Ardin. “Gara-gara, apa? Sini cerita aja sama gue,” Vera menawarkan menjadi teman curhat. Maklum, Vera kan sudah lama naksir Ardin karena ketampanan dan kewibawaannya. “Tentang Mona, sih, seriusan nih lo mau jadi tempat curhat gue?” Ardin memastikan. Dengan senyuman penuh pesona dan kibasan rambut pirangnya, Vera mengangguk, “dengan senang hati, Mamang Ardin Sutejo.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN