Pingsan yang Tak Jelas

1916 Kata
“Lo kenal Mona, kan? Mahasiswa baru anak Ekonomi itu?” tanya Ardin pada Vera yang sudah duduk bersila di sebelahnya. “Iya, kenal,” ucap Vera sambil mengangguk. “By the way itu duduknya jangan bersila, gue bukan lagi cerita Bona dan Rong Rong, tapi Mona dan Ardin,” celetuk Ardin yang seketika membuat Vera mengganti posisi duduknya. “Nah, gitu dong, lebih manusiawi,” balas Ardin. Vera menyeritkan dahinya, “agak konyol ya, cuma gak apa-apa deh, yang penting bisa deketan sama doi,” batin Vera. “Oke, cerita aja apa yang mau lo ceritain ke gue,” kata Vera. “Ini masalah antara hati dan persahabatan—“ lalu Vera menyela. “Mona dan Wira?” sela Vera sambil sedikit tertawa. Ardin memandang wajah Vera, “kok lo tau? Emang lo sudah paham ya ceritanya?” Vera berdecak, “udah pasti tau lah, Mona sama gue kan satu komunitas model kampus tuh, gossip asik pasti tersebar di telinga gue,” Vera mengaku. “Ya udah berarti gue gak usah lanjutin ceritanya lagi, ya? Kan lo udah tau duluan,” kata Ardin. Vera menggaruk kepalanya, “ya bukan gitu konsepnya, Mamang! Lo cerita aja bagian mana yang menurut lo potek dan—“ “Semuanya,” timpal Ardin dengan spontan. Vera meringis sinis di belakang Ardin, “terus apa yang mau lo lakuin sama Mona dan Wira?” pancing Vera. “Untuk saat ini, gue masih mencari bukti-bukti kuat apa yang sebenarnya dialami Wira dan Mona. Lalu, kalau memang mereka berpacaran—“ “Mereka sedang pendekatan,” sela Vera lagi. Vera lega sekali bisa mengatakan hal itu. Inilah satu-satunya cara agar bisa membuat Ardin tak berharap lagi pada Mona. Pernyataan yang dirasa busuk menurut Ardin itu keluar dari mulut monyong Vera. “Serius lo? Yang ngejar duluan siapa? Ardin atau Mona?” “Jelas Mona lah yang ngejar Wira duluan. Lo kan ngerti sendiri Mona itu salah satu perempuan di kampus ini yang good looking dan standar industri banget lah. Perempuan model gini nih yang ngejar laki-laki duluan, apalagi yang duitnya tebal kayak Wira,” jelas Vera yang ternyata menghiperbolakan. Hati Ardin seperti ditusuk-tusuk jarum pentul. Nyelekit tapi gak terlalu sakit (?). “Dan, menurut lo, gue harus mundur ngejar Mona atau gimana?” Ardin meminta saran sebelum hatinya jatuh terlalu dalam. “Mundur cantik aja, Din, cari perempuan yang menerima lo apa adanya, gak neko-neko dan pastinya selalu ada untuk lo kayak gue ini,” Ardin tersentak, kenapa malah Vera promosiin dirinya sendiri di depan Ardin? “Sama lo?” Ardin menggelengkan kepalanya. “Lo pernah denger kalau hubungan diantara satu organisasi itu akan menyebabkan organisasinya amburadul?” balas Ardin. “Pernah sih, sering malah. Tapi hal itu gak berlaku untuk kita berdua, Din,” Vera meyakinkan Ardin. Ardin memutuskan berdiri dan melangkah ke arah kantin. “Udah dulu ah Ver, ngomong sama lo malah bikin perut gue terkoyak lapar.” “Eh bentar Din, Mona sudah diterima menjadi model Majalah Wajah Indonesia,” Vera menyusul Ardin dari belakang dengan cepat. “Itu artinya, Mona akan menjadi satu-satunya model yang berasal dari Universitas Merem Melek ini. Otomatis ketenaran Mona akan berada di atas rata-rata, dan membutuhkan banyak keperluan model. Dan keperluan model itu membutuhkan uang yang cukup besar. Kalau lo sanggup menemani atau bahkan memberi yang ke Mona untuk biaya modelnya, ya lo maju aja ngejar dia,” beber Vera. Ardin berpikir, dirinya adalah manusia kere diantara dua temannya yang lain. Bagaimana bisa ia mengumpulkan uang untuk keperluan Mona yang coming soon menjadi model? “Bentar deh, Majalah Wajah Indonesia itu majalah terkenal, kan?” tanya Ardin. “Iya lah, sudah skala nasional tuh. Banyak banget orang yang daftar untuk jadi model tetap di majalah itu,” jawab Vera. “Kalau memang Majalah Wajah Indonesia itu skalanya sudah nasional, harusnya semua keperluan model-modelnya ya ditanggung agensinya. Masa harus modelnya yang keluar uang? Kan aneh!” cetus Ardin. “Ardin…” Vera memegang pundak Ardin, kini jarak antara Vera dan Ardin semakin dekat. Vera mendorong sedikit badannya agar menempel dengan badan Ardin. “Menjadi model untuk pertama kalinya itu masih belum ditanggung agensi. Si model harus benar-benar memperlihatkan komitmennya selama satu tahun dan biaya ditanggung model sendiri. Itu sudah kesepakatan kontrak yang gue baca di surat kontraknya Mona,” sambung Vera. Ardin melepaskan tangan Vera, ia tetap melaksanakan niatnya untuk ke kantin. “Hmm, lihat saja, sejauh mana lo sanggup deketin Mona. Gue akan bikin pertemanan lo hancur dan tidak bisa mendapatkan hati Mona,” ujar Vera seraya Ardin meninggalkan dirinya yang gagal. Sesampainya di kantin… “Bu, pesan makan dong,” kata Ardin. “Boleh, Dek, mau pesan apa?” balas Bu Kantin dengan senyum ramahnya. “Pesan hati penuh kebahagiaan tanpa sakit yang mendekam ditambah bumbu rasa tulus yang tak pernah terkandaskan,” ucap Ardin dengan wajah polosnya. Tanpa sadar, Ardin terbayangkan sosok Mona yang sedang tersenyum pada dirinya, dan ketika di restoran pertama kali Mona dan Ardin kencan. “Dek? Kamu habis nge-lem atau ngo-bat? Ibu kasih tau rektormu nih!” ancam Bu kantin yang melihat paras Ardin sedang tidak baik-baik saja, malah ngelantur. “Gue habis kena serangan perih di bagian hati terdalam, tidak ada yang bisa menyembuhkan rasa pedih yang sesesak ini,” lanjut Ardin yang masih ngelantur juga. Bu kantin yang tidak ingin halusinasi Ardin makin memberontak, segera ia ambil panci dan sutil berukuran besar. Dipukulkannya sutil besi itu ke b****g panci… TOENG…. TONG…. TONG…. “Nah, biar kamu sadar Dek, dunia tidak se-halu itu,” ucap Bu kantin ketika Ardin terkejut uwow. Dada Ardin terasa sesak, ia tampak sulit mengambil napas dari udara yang tersedia. Ardin terduduk lemas di atas kursi kayu tepat di depan kantin. Kaki dan tangannya bergetar pelan, Bu kantin seketika saja panik. “Haduuuuh, kenapa itu si Adek? Pakai acara ayan kali ya?” Bu kantin gelabakan mencari sebuah petunjuk. Diambilnya gelas dan diisinya air mineral. “Dek, minum ini, minum ya sampai habis,” Bu kantin menyerahkan air minum ke Ardin, namun tangan Ardin tidak sanggup memegangnya karena masih lemas. Dan benar saja, gelas itu terjatuh dan tidak menyisakan air mineral lagi. “Parah ini, tolong… tolong… tolong…” Bu kantin tidak dapat mengatasinya sendiri. Ia men-toel siapapun yang ada di kantin itu untuk menolong Ardin yang badannya lemas sekali. “Adek ini lemas, kaki dan tangannya getar-getar, tolong dibantuin ya Mbak Masnya,” mohon Bu kantin yang wajahnya malah ikutan pucat kayak Ardin. Beberapa mahasiswa menggotong Ardin untuk dialihkan ke klinik Universitas terdekat. Ardin sama sekali tidak mengatakan apapun di sana, hanya terdiam, diam seribu bahasa. “Mona… Mona… Mona…” ucap Ardin sebelum matanya tertutup ketika direbahkan di atas kasur klinik. Ardin dinyatakan pingsan oleh petugas klinik. Ternyata, kabar itu terdengar ke telinga Wira dan Jacob yang mengetahui bahwa Ardin pingsan di kantin dan bikin Bu Kantin stress. Wira dan Jacob rupanya melihat pengumuman di i********: BEM kampus yang menyajikan postingan bahwa Ardin sempat memanggil nama Mona sebelum ia pingsan. Walaupun jam kelas masih berlangsung, Wira dan Jacob tidak segan-segan untuk kabur dan menemui Ardin di klinik kampus. Wira dan Jacob keluar kelas dengan bersamaan. “Kaki lo udah gak sakit?” tanya Jacob di depan kelas. “Udah enggak,” balas Wira singkat. “Kok bisa? Pakai dukun ya?” celetuk Jacob. “Ngawur! Ya dipijit sama Mak gue lah. Udah lah, kita langsung ke klinik aja lihat kondisi Ardin yang terkini,” ajak Wira. Kini Wira dan Jacob sudah tiba di dalam klinik yang ukurannya tidak seperti klinik Universitas sebelah. Maklum, kan masih tahap pembangunan. Tapi pembangunannya udah dari sebelas tahun yang lalu, hihi. “Ini klinik gak selesai-selesai pembangunannya, keburu gue lulus, kayaknya gak mungkin selesai juga sih,” ujar Wira. “Heh! Jangan ngomong gitu, ntar lo disikat sama pengurusnya loh!” balas Jacob sambil menepuk pundak Wira. “Haha ya abisnya sumbangan terus kesana kesini tapi gak jadi juga ini klinik,” ungkap Wira yang tidak diladeni Jacob. Jacob mendatangi meja resepsionis guna menanyakan di kamar mana Ardin berada. “Permisi, Suster. Mau bertanya, kamar atas nama Ardin Sutejo dimana ya?” tanya Jacob. “Maaf sebelumnya mas berdua ini siapanya saudara Ardin Sutejo, ya?” timpal si suster. “Menurut suster, kita ini siapanya?” Wira memberi tebak-tebakan. “Kalau masnya ini tukang kebun-nya,” balas suster ke Wira. “Tapi kalau masnya yang ini, kayaknya saudaranya,” tunjuk si suster ke Jacob. Jacob terkekeh, bisa-bisanya Wira disamakan dengan tukang kebun Ardin. Padahal kan malah Wira yang punya tukang kebun di rumahnya. Wira menatap Jacob yang terkekeh geli, “diem lo!” “Maaf, apa salah ya? Maaf kalau saya ada salah kata karena saya manusia biasa. Ya udah, mas berdua bisa ke kamar nomor dua puluh dua yang ada di lantai dua, nomor dua sebelah kiri,” suster mengarahkan Wira dan Jacob untuk sampai ke kamar Ardin. “Oh gue tau! Terima kasih ya Suster!” cakap Jacob dan langsung menarik Wira menuju anak tangga. “Eh Jac, kok bisa-bisanya suster tadi bilangin gue tukang kebunnya Ardin, ya?” Wira masih tidak terima ucapan si suster. “Lo juga sih, ngapain juga kasih pertanyaan kayak gitu. Ya gak salah kalau susternya—“ “Jadi lo sepakat sama ucapan yang dibilang suster tadi?” tanya Wira yang membuat Jacob geli tak sanggup menjawab. “Udah ah, ini klinik, banyak yang sakit, kita jangan bikin ribut napa,” ujar Jacob mengisyaratkan Wira untuk tidak bawel. Akhirnya sampai juga Wira dan Jacob di depan ruangan nomor dua puluh dua. Tok… tok… tok… “Ardin Sutejo?” Jacob mengetuk pintu dan memanggil nama Ardin agar memastikan kebenaran kamar. “Ngapain lo tanya? Ardin kan lagi pingsan, mana bisa nge-jawab,” kata Wira. “Sssstttttt, coba lo dengar,” Jacob menempelkan kepala Wira ke pintu. Dan dengan sengaja Jacob membuka pintu itu dengan sangat cepat. Dan Brakkkkk! Wira terjelungkup di lantai dan membuat Jacob makin geli. “Ih, apaan sih lo!” Wira kesal. “Maaf ya bro! sengaja. Sini mendekat ke kasurnya,” pinta Jacob. Wira dan Jacob menatap temannya itu yang masih terkulai lemah. Bibir dan wajah Ardin pucat, namun kaki dan tangannya sudah sedikit hangat. “Untung aja masih hangat nih tangan sama kakinya, kalau dingin ya—“ Ucapan Wira itu dijeda Jacob. “Lo ngomong apaan? Jangan aneh-aneh bro!” Jacob menyentil bibir Wira. Sekitar sepuluh menit kemudian, kedua tangan Ardin itu bergerak. Dan diikuti dengan bibir Ardin yang sedikit terbuka. Mata Ardin yang semula menutup, perlahan-lahan mulai membuka dan menatap Jacob juga Wira. “Ardin?” sahut Jacob di kala mata Ardin setengah terbuka. “Mona?” balas Ardin yang suasana tadinya hening dan iba, kini berubah menjadi kebingungan yang haqiqi. Wira dan Jacob menyeritkan dahinya, “kenapa dia manggil Mona? Emang muka lo mirip Mona?” bisik Wira ke Jacob. “Entah ya, kayaknya dia pengen ketemu Mona deh. Tapi kan gak bisa,” bisik Jacob balik. “Ih lebay, kayak di sinetron kejar tayang aja,” timpal Wira. “Lo gak bisa bantu buat datangin Mona ke sini?” tanya Jacob. Wira menggelengkan kepalanya. “Mona?” ucap Ardin lagi sambil memegang tangan Jacob. “Mona?” ucap Ardin lagi sambil menatap Wira. Wira dan Jacob saling bertatapan, keduanya menyimpan kekhawatiran terhadap temannya yang ada di depannya itu. Timbul telepati antara Wira dan Jacob bahwa Ardin sedang mengalami amnesia sementara. Lalu, apa yang harus dilakukan Wira dan Jacob saat ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN