Sangsi

1783 Kata
Dosen perempuan berkacamata bening dengan minus sepuluh itu mengucapkan materi-materi yang didalami hari ini. Sambil menjelaskan, ia membaca buku tebal sebesar sepuluh centimeter tepat di depan wajahnya. Dinaik turunkan kacamata itu karena matanya masih terhalau untuk membaca jelas. Tertatih-tatih ia mengisi kelas pada siang itu, membuat beberapa mahasiswa menguap sekantuk-kantuknya. Mona yang memang kurang menyukai dunia perkutubukuan, sama sekali tidak memiliki hasrat untuk mendengarkan pemahaman dari sang dosen. Sama halnya dengan beberapa mahasiswa yang mengantuk, Mona turut menyumbang rasa kantuknya di dalam dirinya. “Gilak sih, kenapa kepala gue pening banget ya dengerin materi begini? Padahal kan masuk jurusan Perbankan ya karena keinginan gue,” batin Mona. Mona memang minat ke jurusan Perbankan karena bercita-cita menjadi teller bank. Tidak hanya itu, kalau bisa pun Mona dapat bekerja sebagai pembuat uang rupiah agar bisa mengisi dompetnya yang kering kayak habis nguras bak mandi. “Bu, saya izin ke toilet sebentar, ya?!” Mona memberhentikan dosen itu. Sang dosen menurunkan sedikit kacamata tebalnya dan menyipitkan mencari asal suara itu. “Di sini Bu, Mona Primadona yang memanggil Ibu. Saya izin ke kamar mandi, ya,” kata Mona sambil melambai-lambaikan tangannya untuk memfokuskan pandangan dosen itu. “Oh iya silakan, jangan lama-lama, ya,” balas dosen itu. Mona yang mendapat izin, memastikan seluruh orang-orang yang ada di ruangan itu tidak memperhatikan dirinya. Ketika dosen melanjutkan materinya dengan menatap tajam ke depan buku, dan orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing, Mona membereskan buku tulisnya dan dimasukan ke dalam tasnya. Diresletingnya tasnya secara diam-diam, dan mengendap ke luar kelas dengan membawa bersih seluruh barang bawaannya. “Hufffft, akhirnya berhasil keluar dari ruangan yang bikin kepala gue makin bengong,” Mona menarik napasnya panjang. Mona berjalan mengikuti arus sinar matahari yang menyala siang itu. Sambil menutupi wajah cantiknya dengan tangan kanannya, mengantarkan Mona ke depan penjual cilok. “Bang, ciloknya tujuh rebu aja ye,” kata Mona sambil menyerahkan uang lima ribu dan dua ribu rupiah masing-masing satu buah. Suasana panas yang meronta, membuat Mona gerah. Di sampingnya ada abang penjual es teler yang sedang melayani seorang pembeli. Komponen es teler seperti kacang, tapai, cincau, agar-agar, dan kelapa yang dituangkan ke dalam mangkuk, dibubuhi dengan s**u serta sirup merah membuat kerongkongan Mona mengemis. Ceileh, kerongkongan aja jago ngemis! Bercanda. Sambil menunggu pedagang cilok membereskan pesanan Mona, Mona mengalihkan kakinya menuju abang es itu. “Bang, kayaknya es telernya enak nih,” sahut Mona ketika si abang sudah tidak melayani pembeli. “Iya, neng. Murah aja kok hanya lima rebu. Mau, neng?” si abang tak mau kehilangan pembeli, langsung menawarkan. “Em.. boleh, boleh, bang. Ini uangnya,” balas Mona yang tidak menolak tawaran itu. Menunggu dua pesanannya di siang bolong itu rampung, Mona melihat Wira dan Jacob berjalan kaki bersamaan. Entah, kenapa mereka tidak menggunakan motor? Mona yang memang akhir-akhir ini selalu mencari Wira, tidak ingin kehilangan sasaran. “Wira?” sapa Mona yang tidak segan-segan menghalangi Wira dan Jacob di depannya. “Wuih, datang lagi incarannya Wira, hmm,” celetuk Jacob dengan pelan di telinga Wira. Wira menyenggol Jacob. “Kenapa?” balas Wira ketus ke Mona. “Gue boleh ngobrol bentar sama lo, gak?” tanya Mona dengan memperlihatkan senyum manisnya. “Hmm, udah main ngobrol bareng aja, cepet banget geraknya,” celetuk Jacob lagi. “Heh, lo bisa gak sih gak jadi kompor tiap ada perempuan ngobrol sama gue?” Wira rada kesal dengan tingkah Jacob yang jadi bawel ketika berada di depan perempuan. “Iya deh, kalau gitu gue jalan duluan aja ya. Gue tunggu di warung Mpok Uut, mau ngisi perut dulu, lumayan tuh ada promo nasi goreng,” ujar Jacob menepuk bahu Wira dan meninggalkan Wira juga Mona. “Ada apa lagi?” kata Wira sewot. Di dalam hati Wira, rasa tidak enak dengan Ardin itu terus menghantuinya. Apalagi ketika ada kejadian di taman tadi, pasti Ardin sudah memergoki Wira bersama Mona kala itu. “Gue boleh minta tolong gak?” ucap Mona. “Apa?” “Ehem!” tanpa disadari Wira kapan datangnya, Ardin tiba-tiba saja berada di warung yang tepatnya di samping Mona dan Wira. Ardin berdeham dan membuat Wira mengarah padanya. Mona yang tau kalau rencananya gagal (lagi), segera berbalik arah ke tukang cilok dan abang es teler karena pesanannya sudah siap untuk disantap. “Eh, bro! Lagi makan lo bro? Kok gak ngajak-ngajak?” Wira yang kakinya masih poncang-pancing berusaha mendatangi Ardin yang duduk sendirian di meja nomor dua belas. Wira pun duduk di kursi kosong dekat Ardin. “Sudah lama, bro?” tanya Wira lagi. Ardin melanjutkan makannya yang masih tersisa di atas piringnya, sesekali meneguk air mineral yang disediakan di sampingnya. Menelan beberapa suap ke mulutnya, membuat Ardin fokus dan tidak menghiraukan pertanyaan Wira. “Din, banyak amat makan lo gak kayak biasanya,” tutur Wira. Kecapan Ardin yang berbunyi kayak sapi makan rumput, tidak membuatnya ingin meladeni Wira yang sudah duduk bersila di sebelahnya. Kasihan amat Wira. Sambil memijit-mijit kakinya yang sakitnya lumayan mereda, Ardin berkata, “sudah puas lo?” Wira menghela napas, nada bicara Ardin seperti panitia ospek memarahi mahasiswa baru ini, ketus kali lah. “Puas apaan sih, maksud lo Din?” Wira berpura-pura tidak tahu, padahal Wira sudah tau apa yang membuat Ardin begitu sensi padanya. “Pakai acara alibi segala,” Ardin meminggirkan piring dan gelasnya yang sudah bersih dari makanan dan minuman. “Ngaku aja, ternyata lo mau nusuk gue dari belakang, kan?” Ardin menyambungkan. Wira menggelengkan kepalanya, “lo jangan asal ngomong yang enggak enggak deh ya, bukan gue banget nusuk-nusuk temen. Lo kayak gak kenal gue aja,” jelas Wira. “Sekarang tolong jujur sama gue Wir, kita main fair fair-an aja lah ya. Kalau lo memang ngincer Mona dari awal gue di restoran, ngomong aja,” dan dugaan Wira benar, sensitifitas itu muncul karena faktor “Mona” “Din, gue bakal jujur sama lo tapi tolong kasih kepercayaan penuh ke gue. Gue sama sekali gak ada niat incer Mona, gue tau dari awal lo udah suka sama dia, gak mungkin banget kan gue nyeleding lo gitu,” balas Wira. “Beneran?” Ardin agak sangsi. “Iya bener, lo mau gue lakuin apa biar lo percaya?” “Kasih liat gue inceran lo yang sebenarnya,” jawab Ardin. “Dih, gak mau. Kan kita sudah kesepakatan tuh bertiga sama Jacob kalau gebetan kita itu dira ha si a kan,” Wira menolak mentah-mentah kemauan Ardin. Ardin masih menyimpan rasa skeptis ke Wira, “hmm, gak ada yang lo sembunyikan dari gue, kan?” Ardin menatap Wira lebih cegak. “Gak ada Din, percaya deh sama gue, gue gak ada sembunyiin apa-apa dari lo, kecuali soal gebetan gue, ya,” ujar Wira. Ardin mendengus dan beringsut dari tempat duduknya. “Lah, kok main ninggal-ninggalin gue sih, Din?” teriak Wira seraya melihat Ardin ke luar dari teras warung. Langkah Ardin sangat cepat, tidak seperti biasanya. Kaki Wira yang tidak mendukung untuk menguntitnya, Wira memilih diam saja di kursi semula. “Entahlah,” keluh Wira. Wira mengeluarkan ponselnya dan menelpon teman satunya, siapa lagi kalau bukan Jacob. Jacob yang tadinya sedang menikmati nasi goreng promo-an, baru saja ingin menyantap dengan sendok, ponselnya sudah berbunyi dan menggetarkan meja makan di depannya. “Aissss, siapa sih?!” kesal Jacob yang gagal mendaratkan nasi itu ke dalam mulutnya. Mata Jacob melirik dan tertulis jelas di layar ponselnya bahwa Wira sedang menelponnya. “Halo, kenapa, Wir?” Jacob mengangkat telepon itu dengan me-loadspeaker. “Lo dimana sekarang?” tanya Wira. “Ya di warung Mpok Uut, lagi makan,” jawab Jacob. “Oh ya udah, gue on the way ke sana ya, jangan tinggalin gue,” kata Wira. “Iya, aman,” balas Jacob singkat. Wira yang sudah tau keberadaan Jacob, segera meluncur ke warung Mpok Uut. Sementara itu, Jacob melanjutkan makannya yang sempat terjeda karena telepon dari Wira. Satu suap dan dua suap nasi, membuat mulut Jacob ada yang aneh. “Gue habis makan garam kebanyakan, kah? Perasaan baru kali ini gue makan,” rasa asin yang menjalar di dalam mulut Jacob, membuatnya tak nyaman. “Ah gue paham, mungkin karena Mpok Uut buka promo, banyak yang beli, jadinya masaknya keasinan dan gak terkontrol gitu,” pikiran Jacob pun mendapatkan jalan yang tepat. Namun, karena ingin mensyukuri nikmat promo itu, nasi gorang yang menurut Jacob keasinan itu malah dihabiskan saja. Di tengah menikmati nasi goreng, Wira datang, “udah habis makanan lo?” tanya Wira yang belum juga duduk di kursi. “Sisa dikit,” jawab Jacob yang sedang menyerok nasi goreng suapan terakhir. “Lo mau? Beli gih, mumpung masih promo,” tawar Jacob. “Gak ah, tadinya gue mau nyicip aja, soalnya perut gue tiba-tiba udah kenyang gitu aja.” “Kenyang karena habis ketemu doi, ya?” “Ngawur!” Wira men-toel kepala Jacob. Jacob hanya membalas dengan seringainya. “Ngomong-ngomong tadi lo lihat Ardin lewat sini, gak?” tanya Wira. “Nggak, habisnya gue sibuk antri nasi goreng, coba liat tuh udah kayak ngantri gas LPG sumbangan Pemerintah kan,” Jacob menunjuk kondisi warung yang tidak kondusif. “Emangnya kenapa?” balas Jacob. “Ardin kayaknya kesel sama gue deh, beneran.” “Gara-gara?” “Gara-gara gue ketahuan ngobrol di jalan sama Mona, padahal kan gue sama Mona gak ada maksud apa-apa. Pembahasannya juga gak penting, malah gak gue ladenin banget,” ujar Wira menceritakan yang sebenarnya. “Loh, jadi perempuan yang baru ngobrol sama lo tadi, bukan sepikan lo?” tanya Jacob dan Wira membalas pertanyaan itu dengan menggelengkan kepalanya. “Kirain sepikan lo,” Jacob pun baru tau juga. “Bukan lah.” “Lo mau bantuin gue jelasin ke Ardin, gak? Dia gak percayaan sama gue,” Wira meminta tolong. “Kalau urusan perempuan, gue gak berani, soalnya mainnya langsung ke hati bro!” Jacob menolak halus. “Jadi?” “Ya, let it flow aja lah, nanti juga Ardin paham sendiri. Gak usah dipikir berat lah, kita kan sama-sama teman, masa gak mau mendengarkan penjelasan satu sama lain, sih?” ujar Jacob. Wira tersenyum mendengar perkataan itu, walau tak sepenuhnya Jacob mau membantu dirinya. “Jadi, lo ada dikubu gue?” tanya Wira lagi. Jacob menggeleng, “gak ada kubu-kubuan,” jawab Jacob yang membuat wajah Wira semakin mengusut. Mona yang lagi nganggur, jalan-jalan sambil membawa sebungkus ciloknya. Di tangannya satunya lagi, sebuah kantung plastik berisi es teler. Ketika matanya berhasil melihat Wira, wajah Mona kembali ceria kembali, dan menghampirinya. “Hai,” sapa Mona yang langsung duduk di samping Wira tanpa basa-basi. “Lo kenapa sih seharian ini ngikutin gue mulu!?” nada bicara Wira tak terkontrol, ucapan itu keluar dengan lantangnya dan membuat Mona tersentak. Mona tak menyangka kalau prilaku Wira sangat berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan Vera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN