Asisten Dosen

2013 Kata
Esok harinya menjadi hari yang berbeda untuk Mona. Pasalnya, ini hari pertama Mona dinobatkan menjadi model Majalah Wajah Indonesia. Dengan sejuta kehebohan, pastinya Mona tidak ingin membuat "parasnya" sama seperti mahasiswi biasa lainnya. "Hmm, Mona, lo harus memakai baju yang paling modis dan harus terlihat cantik. Lo sama mahasiswi yang ada di kampus lo itu sudah beda kasta, jangan mau dimirip-miripin, lah!" Mona berbicara pada dirinya sendiri sambil memilah baju dan celana apa yang mau ia pakai. Dan, hati Mona jatuh pada pilihan baju yang bergambar buntut kuda berwarna cokelat. "Nah! Kayaknya ini bagus deh, baju ini tidak dimiliki mahasiswi manapun. Mona, kamu selalu terbaik kalau pilih baju!" Mona langsung memakai baju itu dan selanjutnya mencari celana yang sesuai dengan seleranya. "Pakai yang mana ya," jemarinya yang lentik memegang satu per satu celana yang tertanggal di dalam lemari kayunya. Satu dan dua celana berwarna putih itu rupanya kurang bisa menarik perhatian Mona. “Nah! Ini nih outfit yang cucok rempong!” Mona menarik satu buah celana yang panjangnya selutut bermodel gober itu. “Taraaaaaa! Mona Primadona, selalu menjadi primadona kampus dan tidak ada yang menandingi kecantikanmu, Mon!” kata Mona yang puas dengan penampilannya pagi ini. Kini saatnya Mona pergi ke kampusnya. Saat ke luar dari pintu kosan, terkejutnya Mona melihat seorang laki-laki bersepeda vespa butut nangkring di depan kosannya. Laki-laki itu masih memakai helm dan masker, yang menyebabkan Mona tidak mengenalinya. Mona memberhentikan langkahnya lebih jauh, ia takut ketika laki-laki itu melakukan hal di luar nalar padanya. “Aduh, siapa sih itu orang, pakai acara berhenti dan clingak-clinguk ke arah sini lagi,” Mona berdecak dan mengawasi gelagat yang ditunjukan oleh laki-laki bermotor tadi. “Hai!” laki-laki berhelm itu menyaut dan melambaikan tangan ke Mona. Seketika saja, Mona menjadi semakin ketakutan, badannya tiba-tiba saja merinding seluruhnya. Belum lagi keringat yang melewati pelipisnya itu akan menghilangkan bedak di wajahnya. “Jangan samperin, jangan samperin!” ucap Mona pada dirinya sendiri. “Katanya lo ada kelas hari ini jam sepuluh kan? Ayo barengan, kelas kita sebelahan, Mon!” laki-laki itu mengajak Mona pergi ke kampus barengan. “Gak bakal gak bakal gak bakal!” Mona memperingati dirinya lagi. “Apa dia adalah orang yang punya penyakit mental, ya? Penyakit sok kenal gitu?” Mona menerka-nerka, habisnya baru sekarang ia menemui laki-laki yang ngajak pergi ke kampus. Mona mencoba sembunyi dan berusaha menghilangkan dirinya dari pandangan laki-laki tadi. Merasa tidak berhasil menyerukan dari atas motornya, laki-laki itu membuka helm dan maskernya. Lalu, ia memalingkan wajah lagi ke pintu tempat Mona keluar tadi. Laki-laki berhidung mancung, rambut agak gondrong, dengan mata berwarna cokelat itu berhasil menampilkan wajahnya ke Mona. Mona yang matanya sedikit kabur, samar-samar memperhatikan dan men-zoom wajah laki-laki itu lewat matanya. “Kamu siapa, kamu siapa?” ujar Mona pakai nada Tikt*k zaman now. “Oh dia!” Mona pun sukses mengenali paras seorang laki-laki itu yang dikiranya adalah…. Orang gila. Mona cepat-cepat ke luar pintu guna menyambut kehadiran laki-laki itu. “Kak Ardin! Ngapain pagi-pagi ke sini?” tanya Mona sambil tersenyum. “Mau jemput kamu, boleh?” jawab Ardin yang tak lupa membalas senyuman Mona. “Hmm, gue kira Kak Ardin marah sama aku gara-gara kemarin,” balas Mona sambil menundukan kepalanya. “Hah? Marah kenapa? Emangnya kamu ngelakuin kesalahan besar, gitu?” tanya Ardin lagi. Padahal, dalam hati Ardin itu berkata, “gimana gue gak marah, lo enak-enaknya habisin uang utangan gue, tapi karena lo cantik dan gue suka, gue berusaha ikhlas tujuh turunan deh.” “Ya gitu lah, kan Kak Ardin tau sendiri kalau gue ini orangnya boros dan suka belanja. Gue kira Kak Ardin ilfeel gitu sama gue,” jelas Mona sambil senyum-senyum manja. “Gak kok, biasa aja. Tapi lain kali kalau mau belanja tunggu uang gue terkumpul banyak ya, biar lo bisa misi foya visi foya,” Ardin yang tergolong manusia kere, bisa-bisanya berkata seperti itu di depan Mona si ratu diskon. Mona kesemsem dong, bisa kenal laki-laki yang sabar dan nurutin hasrat belanjanya. “Senang ketemu lo, Kak,” Mona mengaku. Wira dan Jacob yang bersembunyi dari kejauhan, memandang Mona dan Ardin adalah suatu keinginan. Rupanya, Ardin, Wira dan Jacob pagi ini mau berangkat ke kampus barengan. Namun, karena Ardin sudah tau di mana kosan Mona, jadinya Ardin belok deh. Wira dan Jacob malah ikut-ikutan belok kayak Ardin. Namun memilih lebih menjauh agar tidak mengacaukan rencana Ardin untuk berboncengan sama Mona. “Eh, eh, Ardin habis ngomong apa tadi ya kok Mona bisa senyum kesenangan gitu,” Wira menilik gelagat Ardin dan Mona sedari tadi. “Ya gue gak tau, paling Ardin ngasih kata-kata rayuan yang bikin Mona klepek-klepek gitu,” balas Jacob yang dari tadi mengamati pula, namun setengah-setengah karena lagi nunggu pengumuman give away lewat hape-nya. “Gue jadi pengen disenyumin kayak gitu sama gebetan gue,” Wira yang mupeng itu membayangkan seorang perempuan yang dikaguminya bisa tersenyum manis karena dirinya. “Heh! Masih pagi, jangan mimpi dulu deh lo!” Jacob nampolin Wira yang sudah menyeringai sendiri di hadapannya. “Horror tau gak disenyumin sama lo kayak begitu!” tegas Jacob. “Maaf ye, gue tadi bayangin lo itu gebetan gue, hehehe,” ujar Wira. “Ih, geli! Lo jadi laki-laki gitu amat dah, hih,” Jacob lebih menjauhkan duduknya dari Wira. “Bercanda kali Jac, gak jug ague beneran nge-gebet lo! Jijik amat gue,” kata Wira. Obrolan kecil antara Wira dan Jacob barusan, membuat dirinya ditinggalkan oleh Mona dan Ardin. “Heh, lo sih berisik dari tadi. Tuh kan Ardin sudah ninggalin kita, motornya udah hilang!” lagi-lagi Jacob menyalahkan Wira. “Kenapa bisa salah gue, lo kali yang sibuk liatin hape lo terus, eh malah gue yang disalahin,” Wira protes ketika dirinya dianggap bersalah. “Udah deh, sekarang kita berdua langsung ke kampus aja. Nanti dosen killer datang, kita belum di kelas lagi,” Jacob yang orangnya santuy dan malas menggemborkan masalah, lekas menyalakan motornya dan siap untuk masuk ke kelas. “Naik sini lo, gue gantiin nyetirnya,” cakap Jacob. Wira pun mengindahkan permintaan Jacob. Di perjalanan, rupanya Wira tidak berhenti berbicara soal gebetannya. “Jac, menurut lo, gue bakal dapatin hati perempuan itu gak ya?” tanya Wira. Jacob yang fokus nyetir, rupanya gak mendengar apa yang telah diucapkan oleh Wira. “Heh Jac! Menurut lo, gue berhasil pacaran sama doi gak?!” kali ini Wira bertanya dengan nada yang lebih keras. “Oh, bisa bisa,” jawab Jacob dengan nadanya yang datar. “Kok lo gak semangat gitu sih jawabnya? Apa lo gak ikhlas ya doain gue?” balas Wira. “Eh Wir, kayaknya tiap pagi itu lo jadi gila kali ya. Dari tadi ngomong dan tingkal lo aneh banget deh. Butuh ke psikiater gak lo?!” Jacob tampak gemas pada Wira. “Yah, kok lo ngomongnya gitu sih,” balas Wira. “Abisnya sih… udah, diem aja dulu gue nyetir dan jangan diganggu!” Jacob memperingatkan. Alhasil, Wira diam seribu bahasa ketika dibonceng sama Jacob pagi itu. Wira hanya melihat ke kiri dan kanannya yang dipenuhi gedung-gedung tinggi nan membosankan. Belum lagi cahaya terangnya matahari yang sudah menyentil kulit sawo matangnya, Wira semakin terdiam saja. “Sudah sampai!” ucap Jacob yang segera mematikan mesin motornya. “Nih, kunci lo, gue duluan masuk ke kelas ya,” Jacob memberikan kunci motor milik Wira, yang sudah tergantung oleh gantungan kunci bergambar Stitch. “Oke oke, dengerin tuh omongannya dosen!” seru Wira. Wira melihat kelasnya dari tempat parkiran, tidak ada keinginan untuk masuk ke kelasnya. “Palingan ni dosen gak masuk lagi. Udah kebiasaan mah si dosen bolos dari tugasnya,” Wira memeriksa grup kelasnya di w******p untuk memastikan apakah perkiraannya tadi itu benar. Dan ya, ternyata sang dosen memang belum bisa masuk ke kelas. Namun, akan digantikan oleh asisten dosen. “Asisten dosen? Gue baru denger seumur-umur kuliah di sini, apa emang gue yang kudet, ya?” batin Wira. Wira masih berdiam di atas motornya itu, sambil menunggu kelas setengah penuh. “Nanti nanti aja lah masuknya, kalau gue telat juga gak bakal dimarahin. Siapa yang mau marahin gue?” ucap Wira dengan sombongnya. Sambil menunggu teman-temannya memenuhi kelas, Wira melihat seorang perempuan yang terengah-engah berlari ke sepeda motornya. Wajah Wira seolah-olah menjadi bercahaya kayak habis facial. Bibirnya merekah dan tersenyum karena melihat seorang perempuan yang jaraknya cukup dekat dengannya. “Ak… hir… nya.. kumenemukanmu,” ujar Wira pelan-pelan menggunakan nada band Naff. Kedua mata Wira gak berhenti begitu saja melihat perempuan impiannya. Wira mengamati apa yang dilakukan perempuan tadi. Perempuan itu mengambil sebuah map dan menghela napasnya. “Syukurlah, ternyata gue gak ninggalin map ini di kamar,” Wira mendengar ucapan dari perempuan itu. Dan dengan tergesa-gesa pula, perempuan itu berlari. Wira yang tak ingin kehilangan kesempatan, ikut-ikutan mengejar, “kali aja gue langsung tau di mana kelasnya doi,” harap Wira. Tanpa Wira pikirkan, ternyata perempuan itu masuk ke dalam kelas yang isinya adalah teman-teman kuliah Wira semua. “Loh, perempuan ini sekelas sama aku?” tanya Wira dalam hatinya yang ternyata tujuannya adalah kelas Wira. Wira yang sudah sampai di kelas itu, menduduki kursi kosong yang berada di paling pojok belakang, dekat jam dinding. “Hmm, hari ini gue jadi tai cicak lagi, udah kecil, dipojokan lagi,” keluh Wira. “Selamat pagi semuanya Mbak dan Mas sekalian. Perkenalkan nama saya Lusi Ananda, saya disini sebagai asisten dosen. Pagi ini, saya diamanahkan oleh Pak Nadim untuk mengisi di kelas ini, karena Pak Nadim sendiri sedang mengikuti rapat di kampus sebelah. Apakah Mas dan Mbak tidak keberatan kalau saya ajari?” Lusi yang memiliki etika yang benar, memberi pertanyaan tersebut sebelum meneruskan tugasnya sebagai asisten dosen. Salah satu mahasiswi yang gengsinya besar abis, namanya Nora. Nora mengangkat tangannya. “Maaf ya Lusi Ananda, maaf gue benar-benar gak yakin lo bisa ngajari kita semua materi dari Pak Nadim. Kita semua sudah tau kalau materi Pak Nadim itu sangat sulit,” ucap gadis berkepang dua itu. “Bener, lo kan juga masih anak bawang (baca: anak baru) di kampus ini. Gak mungkin banget lo bisa memahamkan materi itu ke kita kita,” balas perempuan lain yang duduk di sebelah Nora. Lusi hanya tersenyum. Ia mengeluarkan map yang isinya catatan dan mind mapping untuk pembelajaran hari ini. “Saya sudah membuat tulisan yang sama seperti permintaan Pak Nadim. Saya berharap bisa membuat Mbak dan Masnya sekalian semakin paham.” “Yakin lo bisa? Hahahahaha,” Nora tampak menertawakan Lusi. “Kalau ngajarin pakai catatan kayak gitu, gue juga bisa kali! Gak usah pakai ada asisten dosen ke sini, kita semua pasti paham kalau modal catatan doang!” balas Nora. Nahasnya, sebagian besar mahasiswa yang berada di kelas tersebut, pro dengan ucapan Nora. “Betul, betul, betul,” koor sebagian besar mahasiswa. “Nor! Cukup!” Wira yang tidak suka dengan prilaku sombong Nora sejak maba, langsung disela. “Lo gak usah mandang remeh mahasiswa baru deh. Lo ga boleh kayak gitu, belum tentu otak lo secanggih dia. Kita berpikir positif aja dia mampu, gak mungkin lah dosen sekelas Pak Nadim memilih mahasiswa abal-abal untuk menjadi asistennya. Pasti Lusi ini anak yang cerdas di mata Pak Nadim!” Ucapan Wira itu membuat seluruh isi kelas hening. Nora yang ingin membalas ujaran Wira itu, dihalangi oleh perempuan di sebelahnya. Nora menampilkan raut wajah masam untuk Wira dan Lusi. Lusi hanya bisa terdiam menyaksikan itu. Beruntungnya, Wira mampu meredamkan situasi kelas yang tadi sedikit riuh. “Lusi Ananda, silakan dimulai saja pembelajaran pagi ini, gak usah dengarin omongan orang lain yang aneh-aneh tentang dirimu. Lakukan saja tugasmu seperti yang diamanahkan oleh Pak Nadim,” kata Wira yang membuat Lusi berani untuk memulai kelasnya. “Baik, terima kasih kepada Mbak dan Masnya semua di sini karena telah mempersilakan saya untuk mengajar di kelas ini. Saya meminta tolong Mbak dan Masnya sekalian untuk membuka buku Biokimia-nya dan kita bahas materi metabolisme asam amino,” Lusi juga membuka buku Biokimia yang sudah dia bawa dan sedikit-sedikit melirik catatan yang semalam telah ia kerjakan. Nora yang masih komat-kamit tidak terima atas ucapan Wira itu, menyimpan dendam kesumat untuk Wira. "Awas ya lo Wir!" ucap Nora pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN