Tendangan Super

1859 Kata
Mona turun dari motor Ardin, dan member senyuman. “Terima kasih ya Kak, baik banget mau repot-repot antar aku kampus,” kata Mona. “Iya, sama-sama. Lagian gue gak repot-repot amat sih, kalau buat jemput lo ya gak masalah,” balas Ardin. “Eh ngomong-ngomong kok dari tadi ada yang aneh ya,” Ardin baru menyadari ketika banyak mahasiswa dan mahasiswi yang mengambil gambar Mona dan dirinya dari beberapa sisi. Mona menengok mencari keanehan yang disebutkan oleh Ardin. Mona melihat hal yang sama, ada sekitar lima orang mahasiswa dan mahasiswi yang mengarahkan kamera ponselnya ke arah Mona. “Hmm, rupanya sudah ada paparazzi yang ngikutin gue!” batin Mona dan tersenyum puas. “Eh Mon, lo juga ngerasain hal yang sama kayak gue, gak?” bisik Ardin yang makin lama, makin banyaknya orang-orang yang mengerubungi mereka. “I think so,” jawab Mona yang telah menyadari di sekelilingnya. “Emang ada yang salah ya sama kita?” Ardin makin tidak enak. Dan mengecek kesalahan dalam dirinya. “Pakaian gue matching, kan? Apa mirip badut di pasar malam?” Ardin bertanya ke Mona. Ardin yang pagi itu hanya memakai kemeja hitam dan celana jeans, merasa penampilannyalah penyebab berkumpulnya orang-orang di dekatnya. “Gak kok, pakaiannya Kakak manusiawi, kok,” balas Mona. “Lah, terus ada apa ya kenapa orang-orang pada kepo gitu sama kita? Apa kita digosipin pacaran? Hm, kalau memang gosipnya gitu, biar gue jadiin nyata deh,” Ardin makin grusak-grusuk aja bikin Mona kaget. “Jangan ngaco deh Kak!” ketus Mona. Di dalam hati Mona bergebulah rasa bangga terhadap dirinya. Pagi ini seluruh kampus sudah mengetahui pencapaiannya yang begitu luar biasa (menurut Mona aja sih). “Keren banget sih gue! Baru aja semalem gue siaran berita di story IG, udah ramai aja yang nge-fotoin gue. Pasti bentar lagi gue jadi model paling hitz di kampus ini!” “Mon, kenapa dah ya, apa ada yang salah sama kita berdua?” Ardin semakin penasaran. “Nanti juga Kak Ardin tau sendiri. Udah dulu ya, mau masuk kelas,” Mona tidak menjawab pertanyaan Ardin dan ngacir menuju kelas sambil memainkan rambutnya yang keriting gantung. Ardin mengintip sedikit wajahnya yang menurutnya tampan di kaca spion motornya, dilihatnya di sisi kiri dan kanan wajahnya. Rambutnya pun diperhatikan helai demi helai (lama amat) untuk mencari tau kenapa pagi ini orang-orang pada menyorotkan ke Ardin. “Rambut dan wajah gue gak ada yang salah kok, apa karena… gue mau diterima jadi pemain FTV ya?!” terka Ardin yang ternyata salah besar. Mahasiswa dan mahasiswi yang tadinya menajamkan pandangan ke arah Ardin, kini berubah haluan menyoroti Mona yang berjalan. Tampak hanya dari jauh mereka mengintil Mona, namun tak berani mendekati Mona. “Oh berarti mereka semua itu pada kepo sama Mona. Ada apa ya? Mana banyak banget ada lima laki-laki yang ngikutin. Jangan-jangan…” perasaan Ardin seketika campur aduk jika ada laki-laki selain dirinya yang akan mengikuti Mona terus. “Saingan gue untuk dapatin Mona makin berkembang biak dong?! Lah, gue harus ngalahin lima laki-laki tidak tampan itu!” Ardin makin gelabakan dan memiliki niat untuk lebih menampankan dirinya. “Apa gue kurang tampan, ya? Apa gue butuh filler dan laser wajah?! Ah!” Ardin menampar kedua pipinya silih berganti dengan pelan. “Jangan mimpi deh Din! Lo jangan kebanyakan gaya, duit lo gak mendukung lo untuk filler dan laser wajah!” disaat itu pula Ardin menyadarkan dirinya kembali. “Nanti aja dah ya pikirin, kali aja Wira mau bersubsidi lagi, hihihihi,” kalau soal duit, satu-satu jalan ninjanya Ardin ya ke Wira. Setelah itu, Ardin langsung menuju kelasnya. *** Lusi menjelaskan dengan rinci perihal metabolisme asam amino yang semalam sudah dipelajarinya lebih dulu. Di papan tulis putih yang awalnya bersih, kini dipenuhi coretan Lusi yang menggambarkan tentang siklus yang terjadi dalam metabolism asam amino. Dan pada pagi itu, ia sudah menuntaskan tugasnya dari Pak Nadim untuk memberi materi perihal siklus asam sitrat. “Demikian pelajaran pada pagi hari ini, sudah kita tuntaskan bersama-sama. Kurang dan lebihnya mohon maaf ya, Mbak dan Mas sekalian,” Lusi mengucapkan dengan wajahnya yang masih ramah senyum. “Udah? Gak ada tugas yang harus dibawa ke rumah, kan?” tanya Nora ketika Lusi membereskan catatan dan bukunya di atas meja. Sebelum menjawab, Lusi tersenyum dulu. “Tidak ada, Mbak. Pak Nadim hanya meminta tolong ke saya untuk menjelaskan materi, bukan memberi tugas.” “Bagus lah,” balas Nora ketus. “Baik, saya mohon undur diri dulu ya, terima kasih Mas dan Mbak-nya atas segala perhatiannya. Semoga ilmunya bermanfaat, selamat pagi,” pamit Lusi dan melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kelas. Selama berjalan, Lusi terus menundukan kepalanya dan tersenyum. “Perempuan yang punya sopan santun,” ujar Wira dalam hatinya. Dan tidak mau ketinggalan kesempatan, Wira beranjak pula dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti langkah kaki Lusi. Lusi berjalan santuy menyusuri koridor kampus. Lusi memang sengaja melewati koridor yang agak sunyi, jarang ada mahasiswa dan mahasiswi lain yang melintas. Dan tak disengaja, Lusi melewati sebuah tempat yang terkena sinar matahari. Lusi yang merasa dari tadi ada hentakan kaki selain miliknya, mengintip sedikit lewat pancaran sinar matahari tersebut. Dan dugaan Lusi benar, ada seseorang laki-laki yang mengikuti dirinya. Dan tentu saja, pemilik hentakan kaki itu adalah milik laki-laki yang sekarang ini ada di belakangnya. “Laki-laki yang tingginya melebihi tinggi gue, memakai tas ransel kecil, dan berkaca mata. Gue sudah nemu ciri-cirinya! Kalau lo macam-macam sama gue, akan tau akibatnya!” cakap Lusi dalam hatinya. Lusi mencoba menenangkan dirinya sambil mengingat hal-hal positif yang pernah dialaminya. Alunan musik yang sengaja disuguhkan pihak kampus lewat pengeras suara koridor, terdengar merdu di telinga Lusi. Lusi menikmati lagu yang berdendang itu sambil mengikuti kata demi kata dalam lagu tersebut. “Kau adalah darahku, kau adalah jantungku. Kau adalah hidupku lengkapi diriku oh sayangku kau begitu…..” “Sempurna,” Wira menimpal dan membuat Lusi menengok ke belakang. “Siapa lo?” tanya Lusi. Dahinya mengerut dengan tatapan yang tajam. “Eh, Lusi Ananda,” jawab Wira dengan wajah sedikit menyeringai namun tidak bisa dihindari bahwa dirinya sedang was-was. “Kok lo tau nama gue? Ngaku lo siapa!” tanya Lusi lagi dan kini nadanya mulai menaik. “I… ii… iya, lo jangan sensi duluan gitu ya, masa lo gak kenal gue?” Wira melempar pertanyaan. Lusi lebih menyipitkan kedua matanya, dan sedikit mengenali laki-laki yang membuat dirinya was-was ini. “Anak kimia angkatan dua belas?” jawab Lusi. “Nah benar! Akhirnya lo ingat juga,” Wira melega karena Lusi tidak melupakan dirinya. “Baru beberapa menit yang lalu kita berpisah dari kelas,” lanjut Wira. “Iya, gue tau. Tapi apa kepentingan lo ngikutin gue dari belakang gini? Dari tadi loh, gue curiga kalau ada orang yang buntutin gue,” Lusi mencak-mencak saat itu juga. “Te.. te.. tenang dulu ya, Lus. Gue anak baik-baik kok, buktinya tadi di kelas, gue nolongin lo, kan?” kata Wira. Lusi mengerutkan dahinya. “Hah? Nolongin apaan? Gua gak merasa lo nolongin gue deh. Gak usah banyak drama kayak lambe torah deh, sekarang apa maksud lo nguntitin gue? Lo penjahat ya? Pencuri?!” map yang dipegang oleh Lusi, seketika terangkat dan siap untuk mendarat ke wajah Wira. Di koridor itu hanya ada Wira dan Lusi yang merasa terancam. Wira mencoba mendekati Lusi, “Sssttt, Lusi, lo jangan teriak-teriak gitu, ah, malu di denger orang banyak,” kedua telapak tangan Wira terbentang seolah mengisyaratkan Lusi untuk tetap tenang. Ketika Wira mendekat, Lusi makin melangkahkan kakinya menjauhi Wira dan tidak memperkenankan Wira untuk menyentuh dirinya se-inchi pun. “Pergi lo pergi!” begitu kata Lusi. “Ssssttttt,” Wira merasa tak bisa mendiamkan Lusi, hanya bisa berkata, “Ssstttt suuutttt, ssattttt, ssuuuttttt.” Dumm! Dumm! Pletak! Seorang perempuan muncul dari samping kanan Wira, dan membuat Wira tersungkur di lantai. Perempuan berkepang kuda itu menghantam kaki kanan Wira dengan kakinya pula. Kaki Wira langsung terkilir. “Aduh, sakiiiitttttt,” Wira yang terbaring di lantai, mengerang memegang kakinya yang serasa dijatuhkan batu nisan. Seorang perempuan itu ternyata Ribka Pramusta Ayu, ia mengacak pinggangnya dan menatap Wira yang terjatuh. “Rasain lo! Masih mau lagi, hah?” Ribka sudah bersiap-siap menambahkan rasa sakit untuk kaki kanannya. “Gak, gak! Gak mau! Sakit tau, lo kenapa sih, main kasar!” protes Wira. “Habisnya lo resek sih. Bisa-bisanya lo ngikutin temen gue! Jahat ya lo!?” pikir Ribka. Lusi yang wajahnya masih dilanda kecemasan karena diikuti Wira, langsung memeluk Ribka. “Terima kasih ya Rib sudah nolongin gue. Kalau gak ada lo, gue sudah tidak bernapas kali ya,” kata Ribka. “Hussst, ngomong lo kejauhan Lus. Udah, tenang aja. Sekarang orang yang bikin lo takut, sudah jatuh tuh. Cemen banget lo!” Ribka mengata-ngatain Wira. “Sekarang jujur deh, apa mau lo sekarang?” tanya Ribka. “Dari tadi gue dengar loh perbincangan lo sama Lusi, dan lo sama sekali gak menjawab apa mau lo!” “Eng.. enggak kok, gue gak minta apa-apa,” balas Wira. Dalam hati Wira berucap, “sebenernya gue mau kenalan doang sama Lusi dan minta nomor WA, daripada makin panjang urusannya sama perempuan sok hebat ini, mending nanti-nani aja deh gue mintanya.” Dasar Wira, gak gentleman! “Ya udah kalau lo gak butuh apa-apa, mending pergi deh, cari tempat lain kalau mau lewat!” cerca Ribka yang sedari tadi menggemakan telinga Wira. “Iye iye, huh!” Wira berusaha bangun, dan menopang tubuhnya. Kakinya masih terasa nyeri, dan sulit untuk melangkah dengan sempurna. Perlahan-lahan, dicobanya melangkah walau nyerinya kayak tertimpa barbel lima puluh kilogram. “Awwww, ssttttt,” Wira menahan sakitnya dengan mengigit bibir bawahnya. Langkahnya sengaja diseret-seret agar bisa berjalan menuju ruang kesehatan. “Awas lo ya kalau ganggu Lusi lagi!” Ribka mengingati. Wira yang jalannya terlihat terkeos-keos, membuat Ribka puas dengan tingkahnya hari ini. “Lus, lo gak apa-apa kan?” tanya Ribka sambil memeriksa mana yang cidera. “Ah, gak apa-apa kok, Rib. Untungnya gue gak diapa-apain,” jawab Lusi. “Sekali lagi terima kasih loh, lo sudah nolongin gue dua kali,” lanjut Lusi. “Iya, sama-sama. Entah ya tiap lo lagi dalam keadaan butuh bantuan, radar telepatiku langsung nangkap gitu, hahaha!” ujar Ribka. “Uh, ada-ada aja kamu,” Lusi tersenyum dan menepuk pelan bahu Ribka. “By the way, lo sama sekali gak kenal sama laki-laki tadi?” tanya Ribka. “Gue taunya itu laki-laki anak kimia angkatan dua belas. Barusan aja gue masuk ke kelasnya gantiin dosen. Tapi, selebihnya gue gak kenal sama dia,” Lusi mengaku. “Oh gitu, hati-hati ya sama orang yang baru dikenal. Apalagi kalau sama laki-laki, modusnya pasti banyak!” ujar Ribka. “Iya lah, itu sudah pasti, Rib. Oh ya, sebagai bentuk rasa terima kasih gue nih, mau makan bareng gak?” ajak Lusi. “Hmm, gimana ya. Soalnya gue ada pelatihan komunitas silat nih,” balas Ribka. “Yahhhh, jadi gak bisa dong?” wajah Lusi seketika kecewa. “Hmm, kayaknya gak bisa deh, maaf ya,” ujar Ribka sambil melipatkan tangannya ke Lusi. “Ya udah gak apa-apa, lain kali mau ya kalau gue ajak makan bareng, hehe,” balas Lusi. “Oke deh!” kata Ribka sambil menyeringai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN