Pada Hari Itu

1841 Kata
Suasana di ruang tamu Jacob tampak penuh teka-teki yang dibuat sendiri oleh Ardin, Wira, dan Jacob. Ketiga laki-laki seumuran itu, rupanya sudah membuat ancang-ancang mengenai asmaranya. “Jadi kalian sudah mempunyai satu nama perempuan yang menarik hati kalian?” tanya Ardin ketika percakapan tentang asmara itu dibukanya. Jacob dan Wira saling memandang dan terkekeh. Dengan bersamaan pula, Wira dan Jacob menganggukan kepalanya dan tersenyum. “Serius, kalian?! Wah, kita bisa jadi triple date dong kalau gini ceritanya,” Ardin sudah senang duluan. “Hmm, gak tau ya bisa triple date apa enggak, ketemu doi setelah ospek aja sudah gak pernah,” balas Jacob. “Apalagi gue, waktu papasan sama doi aja sudah kebelet pipis sama badan gue getar-getar, gimana mau ngajak nge-date?!” Wira juga mengutarakan kepesimisannya. “Haduh!” Ardin melayangkan tangannya dan berdiri. “Kalian berdua ini kan laki-laki, harusnya punya effort yang lebih buat menggaet inceran kalian. Jangan pesimis begitu dong, ini baru permulaan,” ujar Ardin sambil mondar-mandir di depan Jacob dan Wira. “Lo udah kayak nagih utang deh ya, mondar-mandir!” celetuk Wira. “Eh, jangan dipotong dulu pembicaraan gue. Saran gue nih ya, kalian berdua harus cari tahu lebih tentang incaran kalian itu. Entah itu jurusannya apa, kelasnya apa, alamatnya apa, bahkan kalau bisa tuh ya kalian stalking di media sosialnya doi,” Ardin memberi wejangan. “Nge-stalking sama ikutan give away kayaknya lebih untuk give away deh. Soalnya kalau cari doi di media sosial itu, kayak cari kutu di beras, ngerepotin!” ujar Jacob. “Lah, lo gimana sih Jac, kalau lo beneran cinta dan pengen dapatin itu perempuan, ya lo ada rintangannya dong. Enak aja mulus-mulus doang! Kalau mau yang mulus, pacaran noh sama amplas!” balas Ardin. Jacob memasang wajah datar, ya dari tadi memang sudah datar sih. “Gak juga kali sama amplas, gue masih normal. Gue masih pengen jalan-jalan nonton bioskop atau cari kupu-kupu di taman bareng seseorang yang gue cintai. Bukan malah ngantongin amplas!” Jacob melanjutkan. “Nah ya udah. Kalau gue lihat dalam diri lo, ada sesuatu keinginan yang harus direalisasikan. Jangan sampai ditunda! Nanti lo nyesel kalau gebetan lo itu di-sleding sama orang lain,” Ardin memberi kode untuk segera mepetin “inceran-nya” Jacob. “Iya deh, nanti gue coba. Eh tapi, lo tau sendiri kan kalau gue itu kurang berani deketin perempuan. Pernah dulu waktu sekolah dasar, gue sampai pingsan ngobrol sama perempuan yang gue taksir,” Jacob curcol secara tidak sadar di depan Ardin dan Wira. Hal itu membuat Wira dan Ardin tertawa. “Makanya, sebelum ngobrol sama gebetan itu, harus persiapan. Ya nantilah gue kasih tau trick and tips-nya. Seratus persen bakal manjur!” Ardin menaikan kerah bajunya agar terlihat keren. Padahal, wajahnya “belum” tampan. “Beneran loh ya?!” Jacob mewanti-wanti. “Yoi! Asal….” Ardin memberhentikan ucapannya. Jacob sudah tidak enak melihat tingkah Ardin. “Din, gue mohon kali ini gak pakai duit-duitan atau uang muka deh ya. Kantong gue juga lagi game over!” Jacob sudah membuat tameng agar dompetnya tidak dikuras (lagi). “Iya Din, sekali-sekali lah sama kita kita ini gak usah pakai uang muka. Kalau gratis kan, tali pertemanan kita makin panjang, gitu, ya gak Jac?” Wira men-toel bahu Jacob. “Iya, benar, khusus mendapatkan hati doi, gratis ya Din?!” Jacob menjajarkan kedua telapak tangannya ke arah vertikal. Dengan kata lain, Jacob membuat sebuah permohonan. “Hahahaha,” Ardin yang melihat Wira dan Jacob sudah gelabakan duluan soal duit, ia tertawa. “Kalian itu kenapa sih, kalau sama gue mesti difokuskan ke duit duit dan duit,” balas Ardin sambil terkekeh. “Karna lo duit addict!” ucap Wira dan Jacob secara bersamaan. Di dalam pikiran Wira dan Jacob memang sudah terpatri, bahwa Ardin-lah yang paling gila soal duit diantara mereka bertiga. “Wuihhhh, kok bisa barengan gitu? Cakep. Hahaha. Kali ini gak pakai duit kok, bro! Asalkan kalian juga bantuin gue supaya bisa dapatin hati Mona seutuhnya dan setulusnya. Gimana?” ujaran Ardin yang bukan soal duit itu, membuat Wira dan Jacob menghela napas lega. “Nah kalau itu gue bisa!” jawab Jacob spontanitas. “Aman, bro! kita sama-sama ngebantu lah,” Wira juga menjawab. “Sip sip, sepakat ya? Eh ngemeng-ngemeng nama gebetan kalian, siapa? Jangan bilang salah satu diantara kalian juga incer Mona, gue sikat lo sampai ke akar-akarnya!” tanya Ardin dengan tatapan yang tiba-tiba menajam. “Gue bukan ngincer Mona, karena dari awal gue sudah tau kalau lo ngincer Mona. Gak mungkin kali gue suka sama perempuan yang sama kayak temen gue sendiri,” beber Wira. “Bagus, Wir! Lo emang teman yang baik. Kalau lo ngincer perempuan yang sama kayak gue, auto kalau tuh gue. Secara lo bisa ajak seneng-seneng perempuan lain dengan uang lo yang bejibun itu,” kata Ardin. “Hahaha, gak, Din. Tenang aja,” Wira menenangkan. “Bagus lah. Nah, kalau lo gimana Jac? Siapa sih incaran lo sekarang? Lo kan laki-laki yang parasnya paling tampan diantara kita bertiga nih. Rambut pirang original, bola mata cokelat terang, hidung lo mancung, ah pokoknya idaman perempuan banget lah ya. Gimana, incaran lo bukan kayak incaran gue, kan?!” todong Ardin. Jacob pun menepis. “Ya enggak lah, incaran gue paling beda diantara kalian bertiga. Pokoknya paling beda dan kalian sendiri bakal kaget sih,” ujar Jacob. Ardin dan Wira tampak heran. “Kaget gimana maksud lo?!” Ardin tidak paham. “Maksud gue tuh, kalian kaget karena incaran gue tuh gak masuk kriteria “perempuan cantik” yang kayak lo berdua pilih, deh,” Jacob menjelaskan. “Biasa aja kali, Jac. Lagian kan yang terpenting itu kita mencintainya apa adanya dan menemaninya dalam suka maupun duka,” kata Wira. “Betul. Itu yang paling utama dalam sebuah hubungan. Dan pastinya harus ada modal juga kalau mau ngajak doi kemana-mana, ehehehe,” lagi-lagi Ardin berbicara soal uang. “Iya, iya, ndorooooo!” sahut Wira. Jacob terkekeh. “Semoga aja doi gue gak minta macam-macam kalau nge-date atau ketemu. Gue pengen doi yang sederhana dan enak diajak ngobrol aja,” tutur Jacob sambil tersenyum mengingat kembali sosok perempuan incarannya. “Ya terserah kalian semua lah. Jadi, kalian berdua sepakat nih untuk merahasiakan sosok doi kalian sama gue?” tanya Ardin yang merasa Jacob dan Wira belum men-spill nama doi mereka masing-masing. “Eh bentar deh Din, kayaknya gue sudah pernah kasih lihat foto gebetan gue di restoran tadi deh,” seru Wira. “Hah?” Ardin menyeritkan dahinya. Kerutan yang terbentuk dari dahinya itu, menggambarkan “gaya berpikir” yang dilakukan oleh Ardin. “Kapan lo kasih tau gue? Gak ingat deh gue. Yang gue ingat tuh di restoran, gue makan sama Mona dan pinjam uang sama lo,” Ardin melanjutkan. “Dih, yang gue kasih liat di hape gue itu, loh! Kan gue dapat fotonya,” Wira mencoba mengingatkan Ardin kembali. “Apaan lo ngasih lihat gue, itu cuman keliatan pohon sama perempuan lagi lewat. Udah gitu wajahnya gak kelihatan, gue cuma inget pakai baju merah kuning hijau mirip pelangi khatulistiwa,” beber Ardin yang membuat Jacob tergelak. “Hufttt syukurlah kalau lo gak nginget sama inceran gue,” Wira menggambarkan rasa puas di wajahnya. “Kalau begitu kita bertiga di sini gak ada yang tau ya siapa sosok inceran masing-masing?! Awas loh ya jangan sampai ada yang ketuker atau salah gebet!” kata Wira yang tak ingin sekali gebetannya diambil temannya. “Iya,” jawab Jacob singkat. “Eh pikun! Kan gue udah kasih tau lo pada kalau gebetan gue itu Mona Primadona yang paling aduhay se-antero kampus. Kalian jangan sampai kesambet sama Mona ya!” Ardin menekankan dan membuat Wira dan Jacob menganggukan kepalanya. “Oke, good luck bagi kita bertiga yang bosen ngejomblo!” kata Ardin. Hari itu sudah mulai gelap dan jam dinding menunjukan pukul setengah enam sore. Dan pada saat itu juga, mereka bertiga memutuskan untuk menutup pembicaraan mereka. Ardin dan Wira yang memang akan pulang ke rumah, segera merapikan barag-barangnya. “Gue pulang ya!” pamit Wira yang sudah menyelempangkan tas kulit cokelatnya. Ia langsung menuju motor ninjanya yang berwarna hitam mengkilap. Maklum, Wira yang tajir itu selalu mencuci dan mengkilapkan motornya sehari sekali. “Gue juga, mau pulang, bye!” dilanjutkan oleh Ardin yang juga menaiki sepeda motornya. *** Kring… kring… kring… Alarm Mona berbunyi dengan keras dan membuat Mona spontan berdiri dari tidurnya. “Aduuuhhhh, ganggu gue tidur aja sih!” Mona langsung mematikan alarm itu dan bibirnya komat-kamit. “Duh, gue ketiduran ya tadi, padahal kan mau olahraga sore. Ah, sebel sebel!!!!” Mona menghentak-hetakan kakinya. “Duh, kebiasaan buruk gue nih, gampang banget tidur. Bahkan, sambil ngantri berdiri aja gue bisa tidur!” Mona menatap dirinya di depan cermin. Ia yang sudah mengenakan baju olahraga lengkap dari atas sampai bawahnya, hanya bisa menyesalkan perbuatannya. “Ya kali tadi gue olahraga dalam mimpi,” kata Mona. Mona mengecek ponselnya, barangkali ada pemberitahuan tugas di grup kelasnya, grup endors-nya atau grup-grup tidak penting lainnya yang ada di w******p-nya. Selamat malam, Mona Primadona. Selamat kamu lolos seleksi menjadi model pilihan Majalah Wajah Indonesia. Silakan besok datang ke kantor besar Redaksi Majalah Wajah Indonesia yang berada di Jalan Dirgantara No. 12A untuk melakukan konfirmasi dan tanda tangan kontrak. Terima kasih atas antusiasnya dan sampai jumpa! Sebuah pesan singkat masuk ke nomor Mona. Mona terbelalak membaca pesan itu dan saat itulah Mona juga menampilkan wajah berbinar-binar. Wajahnya yang tadinya kusut karena gagal olahraga sore, kini mulai berubah. “Yes yes yes! Syukurlah aku lolos jadi model Majalah Wajah Indonesia. Duh, senangnya, ini hal yang paling aku tunggu-tunggu sejak enam bulan terakhir. Panjang juga ya penantianku,” kata Mona yang masih tersenyum melihat keberhasilan dan perjuangannya. Bukan namanya Mona kalau tidak update status di media sosialnya. Kalau soal keberhasilan atau hedon-hedon manja, Mona menjadi orang yang selalu terdepan seperti Yam*ha. Di capture­-nya isi pesan yang didapatnya tadi, dan diletakan di feed Instagramnya. “Selamat untuk diriku sendiri, bangga dengan apa yang aku perjuangkan selama ini. Selamat malam dunia penuh halu, kali ini aku tidak halu. Siapa yang mau melarang saya menghalu?” bunyi kata-kata itu terpampang nyata di i********: Mona dan hadir di sorotan paling atas followers­-nya. “Hmm, besok pasti gue akan jadi pesona di kampus. Kalau gue berdiri aja pasti sudah banyak yang foto gue, tuh! Apalagi kalau gue ngomong, hmm sudah tercengang kali ya sama gue,” Mona membayangkan dirinya berada sebagai “bintang” yang berjalan di kampus. Sepertinya biasanya, feed yang baru saja di upload Mona itu ternyata banjir simbol hati berwarna merah terang dan komentar positif. Mona semakin senang dengan dirinya sendiri dan ditambah lagi followers pelan-pelan mulai meningkat. “Uhhh, pengikut… pengikut… pengikut… datanglah kepada Mona Primadona, bantulah Mona menjadi model terkenal yang bisa menaiki panggung Miss Word 20xxx,” ucap Mona sambil membaca di kolom komentarnya satu per satu. “Habis ini pasti gue banjir endors sampai tumpeh-tumpeh tuh ya, sampai gue kebingungan mana yang harus gue ambil. Gak sabar mau ngerasain jadi model super sibuk,” kesenangan Mona membara-bara pada malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN