Kesal

1787 Kata
Suasana ruangan itu makin mencekam, seolah ketika Ardin berucap pun malah menambah suasana ngeri yang drastis. Jacob dan Wira berusaha tenang, walau di dalam hatinya banyak menyimpan kebingungan kayak ngerjain soal ujian Fisika. Wira menyenggol bahu Jacob dan memberi sebuah pertanda. “Periksain noh!” bisik Wira. Jacob mengerutkan dahinya dan menaikan kedua bahunya. “Gue gak ngerti,” balas Jacob tentunya dengan bisikan pula. Jacob menatap sekali lagi Ardin yang masih memanggil-manggil nama Mona. Dan Jacob mencoba memegang kening Ardin dengan tangan kanannya. “Are you okay, Din?” tanya Jacob lagi. Ardin mengkedip-kedipkan kedua matanya dan mencari titik fokus pengelihatannya. Seketika saja Ardin menepis tangan Jacob yang mendarat di keningnya dan langsung duduk. “Kenapa kalian ada di sini?” pertanyaan Ardin yang pertama setelah bangkit dari kubur eh salah, pingsan. Jacob ikutan duduk di atas tempat tidur Ardin, dan tepat berada di samping Ardin. Wira yang pengen ikutan begitu juga, baru saja setengah mengangkat bok ongnya ke atas tempat tidur, bok ongnya sudah disentil aja sama Ardin. “Ngapain lo ikut-ikutan? Minggir lo!” usir Ardin tanpa segan-segan. Wira memaksakan wajahnya untuk ikhlas, dengan tidak mengeluarkan kata benci pada Ardin saat itu dan melukiskan senyum termanis yang mampu dimilikinya. Hanya saja, di dalam hati Wira masih tertancap sendiri kalau Ardin masih kesal dengan dirinya. Karena gak dapat tempat duduk, Wira terpaksa berdiri saja sambil melihat kedua tangannya di depan dadanya. Ya, kalau dilihat sebelas dua belas kayak om om gabut yang lagi antri sembako gratisan. Jacob berusaha menenangkan Ardin yang baru saja duduk itu dengan diberikan segelas air mineral. “Gimana keadaan lo sekarang, udah baikan?” ucap Jacob. “Gue berasa tidur pulas banget, gue kayak ada di dimensi lain yang dipenuhi peri peri,” balas Ardin. “Peri peri apa jenglot liar, tuh?” timpal Wira yang mengundang Ardin untuk memberikan lototan mata yang begitu tajam untuk Wira. “Tapi, gak ada yang luka luka atau apapun itu yang tidak mengenakan, kan?” Jacob memeriksa bagian belakang Ardin. Ardin menggeleng. “Ayo kita pulang sekarang,” minta Ardin dan sudah menurunkan satu kakinya dari tempat tidur. Namun, Jacob tiba tiba saja menahannya. “Serius pulang sekarang? Lo udah bisa jalan?” Jacob memastikan. “Iya bisa lah, emangnya gue anak bayi ya kagak bisa jalan. Ayok,” Ardin menarik lengan Jacob dan berhasil menuruni kedua kakinya dari atas tempat tidur. Jujur saja, mata Ardin masih sedikit kabur dan seperti ada cap koepoe koepoe yang memutar di depan matanya. Ardin menyipitkan kedua matanya, kepalanya sakit seperti diikat dengan karung goni. “Kenapa lagi ini gue?” ujar Ardin sambil memegang kepalanya. Jacob mendorong Ardin untuk kembali berdiam di atas tempat tidur, namun Ardin tetap memegangi kepalanya dan tidak lama kemudian mengerang. “Arrrrhhhhh, ahhhhh, sakit bangeeeeet, sakit,” terang Ardin yang kini memejamkan kedua matanya. Khawatir dengan keadaan Ardin yang seperti itu, Wira tidak tinggal diam dong. Karena Wira memiliki elemen penyelamat di dalam dirinya, ia berusaha mencari pertolongan medis untuk Ardin yang terus mengerang dan memegangi kepalanya. Wira yang pernah menjaga neneknya dirawat inap di rumah sakit sekitar lima belas tahun yang lalu, ia masih ingat trik memanggil petugas rumah sakit ketika ada hal genting pada pasien. Wira mengembangkan senyumnya setelah melihat tombol berwarna hijau yang letaknya di samping pintu. “Ah, ini dia jalan ninjaku,” ujar Wira dan menekan tombol berwarna hijau itu. Telolet.. telolet telolet…. Tombol hijau yang baru saja ditekan sama Wira tadi mengeluarkan bunyi telolet. Lampu sirine yang letaknya di atas TV kamar juga berbunyi dan memancarkan cahaya yang berputar cepat. “Apaan ini??” Jacob kebingungan setelah mendengar suara sirine dan lampu sirine yang berputar putar. “Lo ngapain sih, Wir?! Paham gak sih, kepala gue pening banget, lo makin bikin pening karena ngelakuin itu. Awas ya lo!” Ardin pun benar benar merasakan dampak dari bunyi sirine yang ambyar tadi. “Tenang saja, pertolongan akan segera datang,” Wira terlihat lebih santai di banding dua temannya yang lain. Lima menit kemudian, datanglah seorang suster dari balik pintu. Suster yang menjengkelkan menurut Wira tadi, datang dengan membawa dirinya sendiri. “Permisi, ada yang bisa saya bantu? Ada apa dengan Saudara Ardin?” suster itu mendekati Ardin yang masih menahan rasa sakit di dalam kepalanya. “Sa.. sa… sakit kepala, Sus!” jawab Ardin dengan terbata bata. “Oh oke, tunggu sebentar,” kata suster itu dan langsung berlari ke luar. Wira dan Jacob berusaha menenangkan Ardin dan menyuruhnya untuk rebahan saja. “Rebahan aja, Din,” ucap Jacob dan Wira secara bergantian. Rupanya si suster memiliki kecepatan kaki seperti kuda, hanya sebentar saja ia kembali lagi ke ruangan Ardin dan membawa kotak nasi beserta satu plastik obat. “Saudara Ardin, sebaiknya makan dulu ini, dan habis itu diminum obatnya,” suster memberikan apa yang dia bawa kini pada Ardin. “Semoga saja setelah ini sakitnya akan langsung hilang, saya pamit dulu, masih banyak pasien yang membutuhkan saya di kamar lain,” si suster langsung keluar saja. Ardin segera mengikuti arahan dari si suster. Keheningan kembali menyelimuti ketika Ardin menghabiskan makanan sekotak. Lalu, tidak lupanya ia memakan obat yang diberi suster itu jua. “Oh dikasih Paracetamol,” ujar Ardin yang sempat melihat jenis obat itu. Glek.. Glek…. Glek… satu butir obat Paracetamol sudah memasuki kerongkongan Ardin dengan sangat cepat karena dibantu air mineral segelas. Ardin cukup lancar meminum habis obat itu. Ia menyenderkan tubuhnya ke tempat tidur. “Gimana, udah enakan?” lagi lagi Jacob menanyakan soal keadaan Ardin. “Sudah, sudah,” balas Ardin. “Bilang terima kasih dong ke gue karena sudah mendatangkan suster ke sini,” celetuk Wira yang merasa menjadi pahlawan kala itu. “Ih, jijik banget gue males!” ketus Ardin. Wira langsung terdiam. “Mau pulang?” tawar Jacob yang tidak akan membiarkan suasana panas antar Ardin dan Wira terjadi. Ardin terdiam sejenak, merasakan ulang apakah kepalanya masih sakit seperti tadi atau sedikit mereda, “boleh, kepalaku sudah tidak terlalu sakit lagi,” katanya. Ardin menuruni kedua kakinya pelan pelan sambil dipegangi oleh Jacob. Jacob pun menuntun Ardin berjalan sementara Wira membantu membawakan tas Ardin yang tergeletak di meja. Sambil melewati resepsionis klinik, suster yang tadi memberikan obat untuk Ardin pun menegur, “sudah enakan, mas?” Ardin menengok ke arah meja resepsionis dan menyahut, “sudah, sus, terima kasih ya.” “Iya sama sama, lain kali kalau mau kuliah itu makan dulu ya di kosan Mas, nanti pingsan lagi kayak tadi,” pesan si suster tanpa melihat ke arah tiga laki laki itu. “Kikikiki,” Wira terkekeh. Jacob menengok ke Wira dan menyuruhnya diam. “Ssssttttt!” Tanpa berlama lama, mereka bertiga tidak membalas ucapan suster itu dan mengarahkan kaki ke parkiran. Menuju parkiran, Wira masih geli dengan perkataan yang terngiang lagi di kepalanya. “Gue gak nyangka, ternyata Ardin pingsan karena kelaparan, hahahaha,” kali ini tawa Wira lebih kencang. Wajahnya merah karena tawaan itu cukup geli baginya. “Ih diem, lo!” ketus Ardin. “Ya elah Din, kalau lo butuh uang buat makan, minta aja ke gue. Kalau lo pingsan gini bikin orang-orang khawatir aja,” ungkap Jacob. “Lo kira gue kere?!” ucap Ardin spontan. “Ya gak gitu kali, ta… ta… tapi ada benarnya juga hehe,” kekeh Jacob diikuti oleh Wira. “Eh lo yang di belakang gue, diem ya gak usah banyak ketawa ketiwi, nanti nangesssss!” lagi lagi Ardin ketus amat sama Wira. Wira langsung mingkem dan memfokuskan berjalan ke parkiran. Sesampainya di parkiran, Wira, Jacob, dan Ardin terkejut sekali melihat ada dua perempuan yang duduk di atas motor milik Wira. Merasa tidak nyaman, Wira bergegas untuk mendatangi mereka. Wira seperti kenal sekali dengan perawakan, dan ternyata dugaan Wira itu benar. “Heh heh! Minggir kalian semua!” Wira mengusir Mona dan Vera yang tadinya duduk manis di atas motor Wira. “Hai Wira!” Mona membalas usiran Wira itu. “Lama banget sih lo, gue udah nungguin dari tadi loh!” lanjut Mona dengan nada yang begitu halus. “Apaan sih, ini motor gue! Gak usah disentuh, apalagi dinaiki sama kalian!” Wira melepas standar motornya dan memindahkannya ke tempat agak depan. Nahas, di depan sana parkiran motor sudah sangat penuh. Dengan berat hati pula, Wira harus mencari parkiran lagi untuk memarkir motornya ini. “Ikutin dia!” bisik Vera ke Mona. “Doain berhasil ya! Lo tungguin gue di sini,” balas Mona. “Iye, gue tungguin kok sampai lo berhasil!” ungkap Vera dengan antusias. Mona yang memang bucin dengan aba-aba dari Vera, main ngikutin Wira aja tuh. Mengikuti Wira dari belakang sambil kesemsem, Mona memegang teguh bahwa kesempatannya kali ini tak akan sia sia. Wira sebenarnya merasa risih. Dari jendela sangat terpampang nyata kalau Mona ini terus membuntutinya. “Sialan! Si Mona ini katalis yang bikin persahabatan gue sama Ardin hancur deh ya,” batin Wira namun tetap fokus mencari parkiran. Ardin dan Jacob yang juga menyaksikan itu. Jacob melirik sedikit ke Ardin, “nih anak terbakar api cemburu gak ya?” bisik Jacob dalam hati. Wajah Ardin seperti berbicara kalau panah cintanya begitu retak terkapar begitu saja ketika melihat pemandangan itu. Bisa bisanya Mona duduk di atas motor milik Wira. “Motor H*nda CBR-250 RR sama b*at bagus mana, Jac?” tanya Ardin. “Ya jelas CBR-250 RR lah Din, lo kayak orang norak yang gak ngerti motor ya. Udah jelas itu mah,” jawab Jacob sejujur jujurnya. Jawaban Jacob yang makin menusuk hati Ardin, Ardin menoleh ke Jacob dan tatapannya makin mencekam. “Santaiiiii bro! jangan sensi gitu dong, tapi CBR itu susah buat dinaikin perempuan, bakal sakit pinggang kalau lama-lama. Kalau menurut gue nih ya, perempuan suka motor beat karena simple, catchy dan gampang selap selip. Bukan begitu, mang Ardin?!” sahut Jacob dengan sejuta alasannya. Maklum, Jacob paling tidak suka mencari gara-gara kalau sama Ardin. Ardin tersenyum lagi, “bagus juga jawaban lo!” Ardin memberikan kunci motor miliknya pada Jacob. “Lo ya yang bonceng gue, kayaknya efek lapar ini masih berkepanjangan, hahaha,” perintah Ardin. Jacob langsung mengambil kunci motor itu dan mengangguk. Segeralah Ardin dan Jacob menaiki motor beat milik Ardin untuk pulang ke rumah mereka. Vera yang tadinya berjanji menunggu Mona menjalankan aksinya, tiba-tiba saja berubah pikiran. “Loh, Mamang Ardin tertamvanku kemana?” Vera celingak-celinguk mencari keberadaan Ardin yang jelas jelasnya tadi berada di belakangnya. “Aha! Kayaknya rencana gue berhasil nih buat jauhin Ardin ke Mona. Kayaknya Ardin kabur ketika melihat Mona gatal sama Wira deh,” pikir Vera. Vera pun menjentikan jarinya, “Yap! Kerja yang bagus, Ver! Dan buat lo Mona, good bye ya, maaf banget harus ninggalin lo karena photoshoot gue bentar lagi dimulai!” picik Vera dan ngacir ke motornya untuk kabur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN