Mona dan Lusi

1541 Kata
Sudah lebih dari separuh kampus dijelajahi oleh Wira yang gabut banget cari tempat parkiran. Mona melengggak-lenggok mengikuti Wira walau terik panas matahari menyambar kulit putih bersinar Mona. Di kening Mona yang memantulkan cahaya Illahi itu, membuatnya tidak masalah dan tetap mengikuti Wira yang ada di depannya. “Sialan! Ini perempuan masih gak ada kapoknya ya, gimana ya bikin dia berhenti ngikutin gue terus?” batin Wira yang melihat Mona dari kaca spionnya. Wira terus-terusan berdecak untuk memikirkan cara mujarab. “Mon!” sapa perempuan bertubuh gempal yang suaranya sangat dikenal oleh Wira. Perempuan itu menghampiri Mona dan membuat Mona berhenti. “Hey! Lusi!” balas Mona. Wira yang masih menyaksikan itu dari kaca spionnya, ikutan berhenti juga. Lusi sudah menjadi incaran Wira saat pertama kali ospek. Kecerdasan dan kesopanannya pada Lusi saat itu, membuat Wira penasaran akan sosok perempuan berperawakan gempal itu. “Lo lagi ngapain?” tanya Lusi ke Mona. Mona seperti membisikan sesuatu dan menyengir sambil menatap ke Wira yang ada di depannya. “Kurang kerjaan banget lo!” balas Lusi dan membuat Mona menyeringai. “Mau gue ajak makan siang, gak?” tawar Lusi. Mona berpikir, ia menatap Wira dan Lusi secara bergantian. Lusi mengangkat kedua bahunya, “terserah lo, Mon!” Entah pertimbangan apa yang dipikirkan oleh Mona, Lusi juga tidak paham. Mona langsung menarik Lusi. “Gue ikut makan siang sama lo deh, sekalian gue pengen curhat-curhatan gitu sama lo!” bisik Mona. Lusi juga merasa tertarik dengan ajakan Mona, namun sebelum pergi makan siang bersama Lusi, Mona baru ingat kalau Vera masih berada di perkiran sebelumnya. Lagi lagi dari kaca spionnya, hati Wira terasa lega karena Mona sudah tidak mengikutinya. “Apa yang Lusi katakan ke Mona sehingga Mona berhenti ngikutin gue, ya?” tanya Wira dalam hatinya. “Apa karena Lusi bilang kalau dia cemburu?” Wira menebak sendiri sesukanya, yang penting bisa bikin Wira nge-fly sendiri. Tin! Tin! Tin! Suara klakson motor membuyarkan halusinasi Wira. Wira tersentak dan membuat badannya gemetaran. “Minggir! Gue mau lewat!” ujar perempuan yang pernah menggeboknya itu, Ribka. Ribka sudah duduk di atas motornya yang menyala dan membuka kaca helmnya. “Ngapain sih lo di tengah-tengah gitu, ganggu pengendara lainnya, tau!” Ribka meninggikan suaranya. Tidak ingin memanjangkan masalah karena takut dirinya kena hantam lagi, Wira bergegas meminggirkan motornya. “Noh, lewat! Gak usah pakai urat ngomongnya, gue denger kok apa yang lo ngomongin!” kata Wira. Ribka menutup kembali kaca helmnya dan lewat tepat di samping Wira. Ribka pun sengaja memainkan gas dan remnya hingga terdengar bunyi brum.. brum.. brum.. yang membisingkan telinga Wira. “Santai dong!” teriak Wira seraya Ribka ngacir dengan motornya dengan mantul. Wira terdiam sejenak, gara-gara kelakuan Mona yang nguntitin dirinya dari tadi plus ada Ribka yang menjengkelkan barusan, Wira baru ingat kalau ia meninggalkan Ardin dan Jacob selama belasan menit ini. “Astaga! Wira… wira! Kalau sudah kalang kabut, pasti temannya sendiri dilupain!” Wira menepok jidatnya. Wira lalu menaiki motornya dan menuju tempat parkir yang sebelumnya. Wira longa-longo mencari keberadaan dua sobat santuy-nya itu. Tidak ada sedikitpun pertama kalau Ardin dan Jacob masih berada di tempat parkir kampus. “Ya elah, Ardin sama Jacob beneran hilang, mirip kayak gebetan gue yang dapat dari Tinder deh, baru aja dua hari chattingan udah ilang,” lah Wira malah curhat soal gebetannya yang katanya sibuk jadi model. Tidak mendapatkan keberadaan Ardin dan Jacob siang itu, Wira memutuskan untuk pulang ke rumah saja. “Ya udahlah, gue nonton Netflix aja di rumah, mau lihat siapa tau film Hunger Games ke-5 udah tayang, hihihi,” begitu halunya Wira, padahal film Hunger Games itu hanya sampai 4. Wira menyusuri jalan dengan nyanyian lagu koplo dari bibirnya. Kiri kanannya dianggap sebagai penontonnya yang menikmati dirinya bernyanyi. “Yang di kiri, yang di kanan, HORRRRRR!” teriak Wira dan melanjutkan lirik lagunya, “tu.. lung percaya aaaaaku sayang awakmu.. buk tinee.. sam pean ngelirik li yane..” Pengendara lainnya yang berada tepat di kiri kanan Wira memincingkan mata mereka serentak dan membunyikan klakson motor secara bersamaan. Tin.. tin.. tin.. tin.. tin.. “Mas! Kalau nyetir yang bener dong, mau ke kiri ya ke kiri, ke kanan ya ke kanan.. jangan kiri kanan terus dari tadi, kita di belakang Mas-nya bingung!” protes salah satu pengendara sepeda motor gede. Wira yang mendengar klakson itu mendobrak-dobrak gendang telinganya, langsung meminggirkan motornya ke kiri jalan. “Kok orang-orang jaman sekarang pada emosi ya,” keluh Wira. Akhirnya, Wira memelankan kecepatan motornya dan lebih memilih menikmati siang itu dengan alunan koplo dirinya. Sampai ia melirik ke salah satu kafe mewah, yang baru saja buka dan banyak sekali girl-girl antre. “Beli satu dapat satu, ah menarik! Minggir ah,” dari kejauhan sudah ditatap fokus banner itu. Dan benar, Wira padahal punya uang lebih banyak itu juga masih menganut sistem gratisan. “Parah! Antrinya kayak semut yang lagi makan jengkol, paitttttt!” ujar Wira menggelengkan kepalanya saat melihat panjangnya antrian. Sudah terlanjur memarkirkan motornya dan bakal kena biaya parkir, terpaksa Wira ikutan antri barengan girl-girl. Riuh ocehan-ocehan para pengantri dan ojol, membuat Wira menghela napasnya panjang-panjang. Apalagi bau keringat dan bau ketek yang terus menebar ke dalam hidung Wira pun harus telan-telan Wira hirup. “Ewwwwwhhhhh!” dalam hati Wira meronta-ronta. Satu per satu pengantri bisa berkurang seiring dengan kecepatan ninja yang dilakukan oleh pegawai restoran. Namun, kurang satu meter lagi Wira bisa sampai di depan meja kasir. Wira menyilakan kedua tangannya di depan dadanya dan berusaha mengantri. Di dalam pikirannya hanyalah, “kalau sampai makanan di sini rasanya lebih buruk dari warteg samping kost-an gue, gue bakal umumin di media sosial! Parah cuy, ngantrinya gak ngotak kayak gini,” geram Wira. “Ehem! Ehem!” suara dehaman seorang perempuan di samping Wira. Wira menengok dan terkejutnya ia bahwa Mona adalah perempuan itu. “Mona?” balas Wira. “Wira?” balas Wira juga sambil tersenyum dan memelintirkan rambut panjangnya. Wira sedikit menghela napasnya. “Lo ngikutin gue lagi?” ucap Wira. Mona berdecik, “Ckck! Yang ada, lo yang ngikutin gue, Wir! Gue duluan kok yang ke sini,” terang Mona. “Pinter banget lo ya kalau ngomong,” Wira tak peduli. Wira kembali fokus dengan antriannya walaupun perutnya sudah tak kuat lagi menahan lapar yang datang secara mendadak ini. Mona pun mendengar suara kemeruyuk yang berasal dari perut Wira. Mona melihat antrian yang begitu panjang, kesempatan ini bisa dimanfaatkannya. “Wir, lo lapar banget, ya?” tanya Mona. Wira menoleh ke Mona, tanpa senyuman dan jawaban. “Gimana kalau lo join makan bareng gue dan Lusi aja?” ajak Mona yang kelihatannya cukup menarik. Wira melihat ke arah dalam, di sana sudah ada Lusi yang asyik bermain ponselnya dan di depannya sudah ada beberapa makanan dan minuman. Sebenarnya, Wira males banget yang urusannya sama Mona. Tapi, berhubung di situ juga ada Lusi si gebetannya, mau tidak mau Wira harus mengiyakan. “Wah, kebetulan ada Lusi tuh di situ, kali aja aku bisa pendekatan dan mendapatkan nomor ponselnya hari ini juga,” pikir Wira dengan pertimbangan yang lain. “Boleh!” Wira mengucap dengan yakin. Mona yang tidak menyangka Wira mau menerima tawarannya ini, spontan saja langsung menarik tangan kanan Wira dan menggandengnya. Wira berusaha menepis, namun ternyata kekuatan tangan Mona tidak bisa dikalahkan oleh Wira. “Lusi, kenalin, ini namanya Wira Brata Umur Silasa,” ucap Mona pertama kali memperkenalkan Wira pada Lusi. “Oh, orang ini?” balas Lusi tidak seramah biasanya. “Iya, dia loh yang dari tadi aku ceritain sama lo!” Mona jadi kesemsem sendiri. Wira mengerutkan dahinya. “Ada drama apalagi yang sedang dibuat antar Mona dan Lusi?” pikir Wira dalam hatinya. “Kak Wira, duduk duduk!” Mona menepuk bangku kosong untuk mempersilakan Wira duduk. Wira pun tidak menolak. “Yakin ini laki-laki yang lo ceritain? Lo gak salah tuh?” Lusi membuka obrolan untuk meyakinkan. Mona mengangguk cepat. “Gimana menurut lo?” Mona mendekatkan badan dan wajahnya ke Wira. Mona tersenyum tanpa melepaskan genggaman tangannya ke Wira. Wira melengos. Lusi terkekeh melihat dua orang yang ada di depannya itu. “Ya, aturlah sesuka lo, Mon!” Lusi pun mengambilkan makan dan minum untuk Mona dan Wira. Mereka makan siang dengan lahapnya. “Enak gak, Kak Wira?” tanya Mona yang melihat Wira hanya diam dari tadi. Wira hanya mengangguk. Disuapnya lagi makanan ke mulutnya, dan sekarang ini Wira merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri. “Kenapa tiba-tiba gue jadi orang yang ling-lung kayak gini yak? Dari tadi gak ada ngomong, di ajak ngomong juga ngangguk sama geleng doang.” “By the way, kita totalan sekarang, yuk?” kata Mona. “Ih gak usah, Mon! kan gue sudah janji mau traktir lo!” balas Lusi. “Gue harus bayar berapa?” Dan akhirnya Wira membuka suara kepada Lusi. “Dua puluh lima ribu,” tutur Lusi. Wira memberikan nominal sesuai permintaan Lusi. “Lo orang yang ngikutin gue tempo hari, ya?” tanya Wira dengan tatapan tajam. Lusi menatap Wira, tatapan itu sontak saja membuat Wira tidak berdaya lagi. Bibirnya terasa dikerangkeng dan bergetar getar saja tidak menjawab pertanyaan Lusi. Lusi masih menunggu jawaban dari Wira, menatap Wira lebih dalam lagi. Mata Wira tidak sanggup memaksa untuk melawan tatapan itu. Yang ada di dalam diri Wira hanyalah…..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN