Ponsel yang Tertinggal

1732 Kata
Pertanyaan yang dilemparkan Lusi pada Wira itu membuat Mona mengerutkan keningnya. Mona menatap secara bergantian antar Wira dan Lusi. Lusi yang tetap menatap kedua mata Wira untuk menunggu jawaban, sementara Wira kicep aja sambil menunduk. “Bentar, bentar, jadi kalian ini sudah pernah kenal sebelumnya?” tanya Mona. “Gue sih gak kenal ya, cuma pernah tau dia aja,” jawab Lusi. Wira menelan ludahnya berkali-kali, apa yang sedang dirasakan Wira sehingga mulut dan otaknya tidak sinkron untuk mengeluarkan jawaban. “Kalau Kak Wira sendiri, sudah kenal sama Lusi sejak kapan?” tanya Mona lagi. “Lusi kan asisten dosen gue, beberapa hari yang lalu juga dia masuk ke kelas gue untuk gantiin dosen yang lagi berhalangan hadir,” jawab Wira dan lega karena jawaban itu lancar diucapkannya. Mona mengangguk. “Bentar deh, lo beneran yang waktu itu ngintilin gue, kan?” Lusi masih belum lupa dengan pertanyaannya. Wajah Lusi sudah sedikit memerah, dan Wira tidak ingin makan siangnya kali ini dipenuhi oleh ledak amarah di meja mereka. “Gue bukan ngintilin lo untuk ngelakuin hal-hal negatif, kita hanya satu arah aja waktu itu, dan tiba-tiba temen lo mukulin gue kenceng banget,” jelas Wira. Lusi berusaha mencerna jawaban dari Wira, “yakin, lo satu arah sama gue waktu itu?” Wira mengangguk. Lusi ikutan mengangguk. Berdasarkan keterangan dari Wira itu, Lusi merasa agak bersalah. “Apa benar dia gak ada niat lain waktu itu? Lah gue harusnya bantuin dia waktu digebok sama Ribka,” ucap Lusi dalam hati. “Kalau gitu gue minta maaf dan gue mewakili teman gue untuk minta maaf juga karena sudah mukul loh sampai jatuh gitu,” kata Lusi. “Apa?! Kak Wira pernah dipukul sama orang lain? Ih kok bisa sih? Mana yang sakit, kak?” Mona mencari luka-luka yang dimiliki Wira. Dipegang-pegangnya kaki dan tangan Wira oleh Mona, “mana kak, sini aku obati yang luka, kasihan banget sih Kak Wira,” Mona berusaha menarik perhatian Wira. Bagi Wira, kelakuan Mona ini sudah keterlaluan. Maka dari itu, Wira langsung saja beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan segera. “Gue duluan balik ya, terima kasih sudah mau lunch bareng,” kata Wira. Wira pun ngacir ke tempat parkiran. “Yaaaaahhh Kak!!! Kak!! Sini dong, baru aja sebentar di sini,” sahut Mona dengan memanyunkan bibirnya. “Udah, Mon, biarin aja. Kali aja dia ada tugas yang harus dikerjakan,” balas Lusi. “Gimana, kita ikutan pulang juga, gak?” ajak Lusi. “Emmmm….” Mona masih berpikir dan tulalit…. Tulalit…. Tulalit… Sebuah ponsel berdering disertai dengan getaran hingga menggoyangkan meja yang ada di hadapan Lusi dan Mona. Mona dan Lusi terkejut, ternyata ponsel milik Wira itu tertinggal. Kebetulan ada nomor yang tidak dikenal menelpon ke ponsel Wira, Mona mengangkatnya. “Halo,” sapa Mona. “Wir! Lo dimana, bisa ke rumah gue sebentar, gak?” ucap seorang laki-laki membalas telepon itu. “Maaf, ini ponselnya Wira ketinggalan dan sekarang ada sama gue. Hmm, kalau boleh tau lo siapanya Wira, ya?” tanya Mona. “Oh, ponselnya ketinggalan. Gue Jacob, teman deketnya Wira,” “Oh temen dekatnya….” Mona berpikir sudah satu langkah lebih dekat ia bisa mengenal Wira lebih jauh lagi. Kini, nama teman dekat Wira sudah dikantongi oleh Mona. Itu artinya, Mona akan mencari informasi dan berusaha menjalin kedekatan dengan Jacob untuk mengenali Wira. “Gini, berhubung ponsel Wira masih ada di gue, berarti Wira gak bisa tau kabar kalau lo ngajak dia ke rumahnya. Hmm, gimana kalau ponsel ini gue balikin lewat lo aja?” “Kenapa gak balikin ke Wira aja?” “Gue gak tau di mana Wira dan di mana rumahnya,” “Agak jauh sih kalau dari kampus. Ya udah balikin aja ke gue, alamat gue di Jalan Putus Cinta, Gang Semut Angkrang, nomor 666. Itu rumah gue ada di paling ujung warna monokrom,” Jacob pun memberikan informasi detail untuk memberi tau alamatnya. “Hmm, keren juga rumah lo warna monokrom, ibu bapak lo anak indie, ya?” celetuk Mona yang geli dengan informasi yang diberikan Jacob. “Entah,” balas Jacob singkat. “Ya udah gue langsung ke sana sekarang,” Mona langsung menutup teleponnya. Mona memasukan ponsel milik Wira ke dalam tas slempangnya. “Siapa yang nelpon?” tanya Lusi yang dari tadi sudah menyimak obrolan Mona dengan seseorang di telepon. “Katanya sih temen deketnya Kak Wira,” jawab Mona. “Lo keberatan gak kalau ngantar gue ke rumah Jacob ini? Gue mau balikin ponselnya kak Wira, nih!” sambung Mona. “Sekarang?” “Iya, gimana?” “Oh bisa, yuk keburu sore ntar,” Lusi mengiyakan dan mereka berdua beranjak dari tempat duduknya. *** “Ini kita sudah masuk di Jalan Putus Cinta, Gang Semut Angkrang, terus rumahnya yang mana, Mon?” Lusi yang menyetir di depan hanya menunggu arahan yang diberikan Mona. “Kalau menurut google maps sih, kostnya di pojokan sana warnanya monokrom,” Mona tetap memperhatian google maps dari ponselnya sambil mengamati jalanan. “Oke kita ke sana,” pungkas Lusi. Lusi berhasil mengendarai motornya hingga berhenti tepat di depan rumah yang sudah sama persis dengan petuah google maps. “Serius rumahnya ini, Mon?” kata Lusi yang menyimpan keraguan. “Iya, bener kok, serius,” balas Mona usai mencocok logikan antara alamat dan keadaan. “Kok mirip…..” Lusi memperhatian sekali rumah milik Jacob itu. “Mirip rumah pengabdi setan, ya?” balas Mona dengan membisik. Lusi tersenyum tipis disertai dengan kekehan. “Lo ngerti aja kalau soal film, Mon!” ungkap Lusi. Memang benar, rumah milik Jacob itu sangat menjulang tinggi dan lebar ke belakang. Tetangga di kiri dan kanannya pun tidak ada sama sekali. Di dalam gang Semut Angkrang tadi, hanya ada tiga rumah. Dua di bagian depan, dan satu rumah milik Jacob. Ditambah lagi rumah Jacob bernuansa monokrom alias hitam putih. Hanya pagar, pintu, dan jendelanya saja yang berwarna putih, selebihnya hitam legam. “Lo mau balikin ponselnya Wira, kan?” laki-laki yang memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh sentimeter itu tiba-tiba saja keluar dari pagar rumahnya dan menyapa Lusi Mona. “Iya, benar, lo Jacob kan?” sahut Mona pada laki-laki berparas Inggris namun logatnya masih kental njowo. “Iya, sini ponselnya,” Jacob mengulurkan tangan. Mona yang masih memakai helm, kemudian melepasnya dan mendekat kepada Jacob. Ketika Mona mendekat, Jacob dan Mona sama-sama terkejut. “Lo?!” “Eh, lo?!” Mona dan Jacob saling tunjuk menunjuk. “Ternyata lo itu namanya Jacob,” kata Mona. Mona pun tertawa, “ternyata kita sudah pernah ketemu ya sebelumnya di warung dekat kampus itu,” lanjut Mona. “Iya, iya…” sahut Jacob seadanya. Rupanya, tawaan Mona itu terdengar oleh Ardin yang asyik scroll Twitter di ruang tamu Jacob. “Kayaknya gue kenal sama suara perempuan itu, deh!” batin Ardin. Ardin yang tadinya asyik stalking Twitter mantan pacarnya saat di bangku SMA, langsung beranjak keluar dan menyusul Jacob. “Siapa bro?!” tanya Ardin dan tak disangka-sangka sosok Mona yang beberapa waktu terakhir ini menarik perhatian Ardin, datang di depan Ardin. Ardin tercengang, matanya membesar dan tidak menyangka Mona dan dirinya sangat dekat seperti saat makan di restoran dulu. Ardin melengkungkan senyumnya yang dirasa paling tamvan, merapikan rambut serta bajunya. “Mona?” “Kak Ardin? Oh, ternyata Kak Ardin ada di sini juga ya,” ucap Mona dengan membalas senyuman Ardin. “Hehe iya, sudah dari tadi lo ngapain ke sini, Mon?” Ardin membuka bicara. “Ini gue mau kembaliin ponselnya Kak Wira yang tadi ketinggalan,” Mona menunjuk ponsel Wira yang sudah berada di tangan Jacob. “Hmm.. kok ponselnya Wira bisa sama lo, sih?” Ardin semakin kepo. Bisa-bisanya Mona mendapati ponsel Wira yang tertinggal. Sementara itu, Jacob yang enggan melihat keributan atau kesalahpahaman lagi, segera masuk kembali ke dalam rumah secara diam-diam. “Perasaan gue udah gak enak sih, ya biarin lah biar Ardin sama Mona sendiri yang ngurus,” ucap Jacob ketika ia sudah tiba di ruang tamu. “Kebetulan tadi aku sama Kak Wira lagi makan siang bareng di warung yang lagi promo, kita ngobrol-ngobrol sebentar, eh waktu Kak Wira pulang itu dia lupa kalau ponselnya masih diletakan di atas meja,” jelas Mona. Ardin pun mangut-mangut saja mendengar penjelasan Mona. Namun, di dalam hati Ardin tidak bisa berpikir jernih atas apa yang ia ketahui sekarang tentang Wira dan Mona. “Kenapa bisa Wira sama Mona makan siang bareng, ya? Padahal setau gue, Wira selalu ngajak gue sama Jacob kalau mau makan dan kemana mana, minimal ngabarin lah,” batin Ardin menguak perihal kecurigaannya. “Oh gitu, kalian janjian apa gimana nih?” tanya Ardin lagi yang berusaha menggali-gali informasi. “Hmm.. ada deh,” jawab Mona sambil tersenyum dan menunduk. Wajah Mona seketika memerah ketika Ardin mengangkat topik bicara yang demikian. “Ya udah deh kalau rahasia,” balas Ardin disertai dengan senyuman pula. Ardin berusaha tidak menampilkan wajah kesalnya kalau hal ini sangat tidak nyaman buatnya. Padahal, di dalam hatinya itu separuh hatinya telah terbang dan lenyap, karena kecemburuan it uterus mengusik hati Ardin. Drama banget elah! Tin.. tin.. “Mon, udah belum?” tanya Lusi yang masih berada di seberang sana tanpa mematikan mesin motornya. “Eh iya, iya sudah kok!” balas Mona. “Kak Ardin, aku pulang dulu ya, bye!” pembicaraan singkat saja, Mona langsung berpamitan pada Ardin. “Oh iya silakan, hati-hati di jalan ya,” Ardin melemparkan senyum dan lambaian tangannya seiring Lusi dan Mona meninggalkannya. Ardin mempercepat langkahnya untuk menemui Jacob yang lagi duduk di ruang tamu. Dan tiba-tiba saja Ardin melemparkan vas bunga kaca dan terdengarlah sebuah pecahan dari vas bunga yang terlempar itu. “Semuanya sudah jelas Jac! Kalau Wira itu memang mau ngerebut Mona dari gue!” gertakan dari Ardin ini membuat Jacob yang tadinya rebahan kini menjadi terduduk. “Din! Tolong dong, lo jangan emosi kayak gitu!” Jacob juga membalasnya dengan teriakan setara dengan gertakan yang dibuat oleh Ardin. Gimana gak ikutan teriak, vas bunga kaca yang barusan dilempar sama Ardin itu adalah milik Mami-nya Jacob. Mami-nya Jacob baru saja membeli vas bunga itu dari Jerman, dan belum ada seminggu menduduki rumah ini. “Duh, vas punya Mami pakai acara dilempar sama Ardin, parah!” batin Jacob ikutan was-was. Gimana caranya agar Jacob beralasan supaya tidak dimarahi atau bahkan tidak diusir dari rumah? Eng.. ing.. eng.. jawabannya hanya ada pada Mami-nya Jacob.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN