Kesalahpahaman

1811 Kata
Kaki sebelah kanan Wira seperti mendapat reruntuhan gedung gempa bumi, sakit hingga jalannya terpengkor-pengkor. Tidak dapat dipungkiri, Wira yang termasuk laki-laki setia mager olahraga itu, tidak bisa menahan rasa sakit di kaki kanannya. Diseret-seretnya kaki itu agar bisa menuju tempat persinggahan seperti biasa. “Oy bro! tolongi gue napa!” teriak Wira pada Ardin dan Jacob yang sudah duluan duduk santai di sebuah kantin pojok bertuliskan, “Markas Babeh Ganteng” Mata Ardin dan Jacob tidak bisa melihat jelas siapa yang berteriak itu. Kedua mata mereka disinari sinar Ilahi pada pagi menjelang siang itu. “Siapa itu Jac? Kok wajahnya kusut, ya?” tanya Ardin dengan menyipitkan kedua matanya. “Kayaknya Wira deh, kan dia tadi pakai tas jaman SD-nya, kan? Gue kenal banget sama tas old itu,” jawab Jacob. “Ya udah kuy bantuin, tumebannya dia minta tolong ke kita,” Ardin bangkit dari duduknya dan menarik Jacob membantu Wira. Wira tetap memegang kaki kanannya yang masih berbalut celana jeans panjang. “Bantuin gue, bro! sakit banget kaki gue,” wajah Wira mengecut. “Oke oke,” Ardin menaruh tangan kiri Wira ke bahunya, dan Jacob menaruh tangan kanan Wira ke bahunya pula. Ardin dan Jacob sama-sama menopang Wira sehingga kaki Wira bisa berjalan sedikit demi sedikit. “Pelan-pelan, nanti kaki gue lepas!” ucap Wira yang mengetahui cara Ardin menarik kakinya terlalu kuat. “Tahan bentar dong, laki harus tahan sakit, bro!” balas Ardin. “Ya gak gitu juga, aduh, pelan-pelan, sumpah deh,” kaki Wira semakin gemetaran, dicobanya mengangkat kaki kanannya itu dengan pelan. Sayangnya, Ardin dan Jacob belum siap menahan tubuh menjulang milik Wira. “Eh eh, lo jangan angkat kaki, makin berat,” kata Jacob. “Eh eh.. gak seimbang woy!” ujar Ardi pula. Dan BRAKKKKKK! Tubuh Wira terpaksa jatuh ke tanah yang gersang itu. Mereka bertiga yang berada di tempat yang agak tinggi, membuat Wira tergelinding hingga ke bawah taman. Kaki Wira yang tadi sakit, semakin sakit dan malah terkena duri mawar merah yang tumbuh di dekat situ. “Nasibbbbbb nasibbbbb!” gerutu Wira dan mengelus kaki kanannya yang tampak membengkak. “Lah, Wira main jatuh-jatuh aja,” tutur Jacob dengan polosnya. “Lo sih, gak pegangin kuat!” Ardin menyalahkan Jacob. “Lo juga ih, siapa suruh gak kasih aba-aba, udah tau gue gak kuat,” Jacob membela diri. “Lain kali jangan gitu, kasihan kan Wira makin kesakitan tuh,” balas Ardin. “Bukan cuma gue aja kali, lo juga hati-hati,” Jacob tak terima. “Eh Jacob, kalau orang tua ngomong, didengerin. Jangan malah dilawan begitu,” Ardin rupanya tidak terima juga. “Heh, Ardin, yang tua itu siapa sih? Lo apa gue?!” tanya Jacob yang makin memanas. “Elo,” singkatnya. “Nah ya udah, seharusnya lo jangan sok ngenasehatin gitu dong,” Jacob yang paling tua diantara Ardin dan Wira, merasa tidak suka dinasehatin. “Keras kepala amat sih lo! Pasti gara-gara Pop Ice lo belom habis kan?!” “Ngawur lo!” Terlihat Jacob dan Ardin saling melempar ucapan-ucapan yang menyalahkan. Mereka berdua saling tunjuk menunjuk dan sama sekali tidak menolong Wira yang sudah terjungkal di bawah sana. Jangankan menolong, ngelirik ke Wira aja enggak, malah main ribut-ributan sendiri. Ditambah dengan teriknya matahari yang menyambar wajah Wira, Wira merasa geram. Wajahnya yang pas-pasan itu kini tersambar-sambar panasnya siang yang menyala. “Woy!” teriak Wira. “Kalian berdua kayak engkong-engkong rebutan warisan aja! Ribut amat! Bantuin ke bawah sini kek!” Wira sudah tidak kuat mendirikan tubuhnya. Dan dia ikhlas menggeletakan tubuhnya di situ. Entah benar-benar tidak mendengar atau sengaja menjadi tunarungu, Jacob dan Ardin malah dorong-dorongan dan keduanya saling lotot-lototan. “Aduh mamake, kenapa ada dua bocah tengil yang suka adu mulut berteman sama gue sih? Bikin keki aja deh,” lagi-lagi, Wira sudah tidak berharap lebih dengan dua orang temannya itu. Perseteruan mulut yang dibuat oleh Wira dan Ardin tidak membuat orang-orang di sekitar menghiraukannya. Malahan, semua orang bersorak-sorai agar perseteruan antara Ardin dan Wira itu tidak segera berakhir. Wira yang masih bersahabat dengan sakit di kakinya itu, mencoba bersabar karena kelakuan dua temannya memang memang di luar nalar. Ia mencoba duduk di tengah-tengah taman ini. Seseorang menepuk pundaknya. “Sini gue bantu,” tangan seseorang menjulur ke arah Wira. Suara pemilik tangan ini bisa dipastikan adalah perempuan karena tidak ada suara laki-laki secentil itu. Wira mendongakan kepalanya, berusaha mengenali siapa pemilik tangan itu. Nahas, cahaya matahari menyilaukan mata Wira sehingga tidak mampu mengenali dengan jelas. Tanpa banyak bicara, Wira menjangkau tangan perempuan itu agar membuatnya bisa berdiri. “Terima kasih ya,” kata Wira dan terkejutnya Mona-lah yang menolongnya sekarang. “Mona?” “Kok tau nama gue?” balas Mona dengan sedikit senyuman. “Ya tau lah, karena temen gue naksir lo!” ucap Wira tanpa pikir panjang. “Hah? Teman lo naksir gue? Siapa?” tanya Mona. Wira yang tidak mau ikut campur soal asmara Ardin, langsung mengalihkan pembahasan. “Eh enggak, gue boong kok, hehe, terima kasih sekali lagi, ya,” ucap Wira dan pelan-pelan berjalan menjauhi Mona. “Hey! Lo temannya Kak Ardin yang waktu itu ada di restoran, kan?” Mona menyusul Wira dan berdiri tepat di hadapan Wira. “Emmm, iya, emangnya kenapa?” jawab Wira. “Oh berarti lo yang suka ngutang sama Kak Ardin itu, ya?” tanya Mona lagi yang pertanyaannya kali ini membuat Wira ter-plongo. “Hah?” Wira terkekeh. “Maksud lo apaan? Lo mau hina gue sebagai tukang ngutang gitu? Maaf ya, itu bukan style gue,” Wira mengambil jalan lain untuk menjauhi Mona. “Eh tunggu deh, kenapa sih lo gak langsung ngaku aja? Malu ya lo?” Mona menghalangi jalan Wira lagi. “Ngomong apaan sih lo, minggir deh,” Wira berusaha mencari jalan yang sebagian besar dihalangi oleh Mona. “Emm, bentar, pundak lo kotor,” Mona membersihkan pundak Wira, Wira menghindar. Nahas, Mona tetap membersihkan pundak Wira yang kotor. Wira menghela napas panjang, ia tatap kedua mata Mona yang terus menodongnya dengan hal yang tidak penting. Kini, dua mata Mona dan Wira saling beradu pandang. Ardin yang mempunyai firasat tidak enak, ia seperti mendengar bisikan suara yang persis dengan suara Mona. Ardin yang Mona addict itu langsung membalikan badannya karena percaya bahwa Mona berada di dekatnya sekarang. “Oh, ternyata….” Ujar Ardin ketika melihat pemandangan yang begitu menyayat relung hatinya. Dadanya berdebar-debar bukan karena melihat paras elok Mona, melainkan menahan rasa kesal yang ia lihat lewat mata kepalanya sendiri. “Heh, lo udah puas ngomongnya?” ketus Jacob yang melihat Ardin malah menghentikan omongannya. Tanpa menjawab pertanyaan Jacob, Ardin langsung meninggalkan Jacob. Jacob menyeritkan dahinya. “Gak biasanya dia pergi tanpa ada alasan, apa karena ribut sama gue, ya?” pikir Jacob sambil menggaruk-garuk kepalanya. Seketika pula, Jacob berbalik badan dan melihat pemandangan yang tidak biasa. Jacob mendapati Wira, temannya yang paling tajir itu sedang berbincang dengan seorang perempuan yang jaraknya cukup dekat. “Hmm, rupanya temen gue ada kemajuan buat deketin perempuan, nih!” Jacob senyum-senyum bangga. Apalagi melihat perempuan itu memegang pundak Wira. “Udah pakai acara pegang-pegang segala, mantul banget mah ini ceritanya,” Jacob bertepuk tangan dan membuat Mona serta Wira terkejut. “Fabolous, fabulous!” begitu Jacob berteriak dan membuat Mona serta Wira mengarah ke Jacob. “Ya, lanjutkan, lanjutkan, gak usah berhenti gitu dong, hahahaha,” lanjut Jacob. “Jangan ngaco deh lo Jac! Ini gak seperti yang lo liat!” sahut Wira. Wira menepis tangan Mona yang berada di pundaknya dan menyenggol Mona agar bisa terbebas. “Minggir.” Ketusnya. Mona manyun, kali ini tidak bisa mengobrol lebih jauh lagi bareng Wira. Padahal, hal itu sudah dirancang beberapa jam yang lalu bersama teman sekelasnya, Vera. Mona menelpon Vera ketika Wira sudah jauh sekali dari pandangannya. “Halo, Ver?” telepon itu berhasil masuk ke nomor Vera. “Iya, kenapa, Mon?” balas Vera. Mona menatap ke sekitar, dan memastikan tidak ada seorang pun yang mendengarnya. “Gue gagal cuy, benci deh gue,” bisik Mona. “Sumpah? Hahaha, gue kira lo bakal berhasil, secara lo kan punya paras yang menawan kayak Luna Maya cyin,” Vera terkekeh dari balik telepon. “Iye, beneran, gimana dong, apa lagi langkah gue selanjutnya?” tanya Mona. “Kalau dari gue sih, gak ada. Lo memang harus sok kenal gitu aja sama Wira. Oh ya, sepengetahuan gue, Wira itu suka perempuan yang pinter. Lo berlagak pinter aja di depannya,” Vera memberi tip. “Berlagak pinter? Aduh, gak bisa. Lo kan ngerti sendiri gue lemot, di kelas aja gue tidur mulu waktu pelajaran,” ternyata Mona keberatan dengan hal itu. “Makanya lo belajar mulai dari sekarang. Lo mau rencana lo berhasil, kan?” sahut Vera. “I.. i.. iya, mau. Tapi—“ “Gak usah banyak komen ya, Mon. Cuma itu tips dari gue, selamat mengerjakan,” Tut.. tut.. tut.. telepon singkat itu sengaja dimatikan oleh Vera. “Ver.. ver?? Halo Ver??? Ih, gemes deh,” gerutu Mona. Mona pun meninggalkan tempat itu dan mulai berpikir ke langkah selanjutnya. Sembari ia berjalan, mulutnya tidak henti-hentinya mengomel atas ketidakberhasilannya hari ini. Jalannya sengaja dihentakan sebagai bentuk rasa kecewanya. *** Wira menghampiri Jacob yang masih berada di depan teras kantin Markas Babeh Ganteng. Kali ini, Jacob langsung membantu Wira untuk duduk di depan markas. “Mana Ardin?” tanya Wira. “Loh, kok tiba-tiba nanya Ardin sih, gue kira lo mau cerita atas keberhasilan lo deketin perempuan cantik,” jawab Jacob. “Ah, ngaco lo. Mana Ardin?” tanya Wira lagi. “Gak tau,” jawab Jacob singkat. “Kok gak tau? Bukannya tadi ribut banget ya sama lo di sini?” “Iya, tadinya ribut. Tapi entah kenapa tiba-tiba dia langsung pergi gitu ninggalin gue. Mana ributnya belom selesai,” “Sumpah?” benak Wira mulai tidak karuan. “jangan-jangan…” “Jangan jangan apaan, Wir?” Jacob penasaran melihat wajah Wira yang penuh kebimbangan. “Lo kelihatannya cemas gitu, kenapa?” “Ah gak apa-apa kok, eh Ardin pergi mulai kapan? Sejam yang lalu?” kata Wira. “Hmm, kayaknya sepuluh menit yang lalu,” jawab Jacob. Wira mangut-mangut dan mengingat reka adegan dirinya dalam waktu sepuluh menit yang lalu. Dan, Wira yang masih mengingat jelas, tau kalau dirinya bersama Mona sekitar sepuluh menit lampau itu. Akhirnya, Wira yakin kalau Ardin pundung dengan dirinya. “Kira-kira Ardin sempat ngelihat gue, gak?” “Ih mana gue tau, malah gue yang ngelihat lo sama perempuan di sana, uhuyyy,” Jacob mencolek dagu Wira. “Wah bisa gawat kalau begini ceritanya,” raut wajah Wira mulai gelisah. “Gawat kenapa, Wir? Gagal merawat dirinya? Eak,” Jacob membalas dengan candaan. “Lo biasanya diem ternyata banyak omong juga ya. Ya gawat beneran,” Wira memeluk kepalanya dengan dua tangannya. Otak Wira dipaksa untuk mencari jalan keluar agar kesalahpahaman ini dapat diselesaikan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya, atas nama Bangsa Pertemanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN