Bab 5. Sahabat yang Baik

1063 Kata
Elvi heran melihat Fira yang wajahnya selalu cemberut beberapa hari ini, dan dia pun bertanya, “Kamu lagi berantem sama dedemit itu?” “Nggak,” jawab Fira pendek. Fira tahu siapa dedemit yang dimaksud Elvi. “Kamu … ck, mamamu?” Elvi mengira Fira cemberut gara-gara ulah mamanya. Fira menggeleng sambil merapikan baju seragam kerjanya. Melihat sikap Fira, Elvi baru mengingat sesuatu. “Hm … kapan kamu mulai magang?” “Aku ditolak.” “Lho?” Fira menarik kursi makan dan mulai mempersiapkan sarapan paginya, berupa roti tawar yang dia olesi dengan selai nanas. Wajahnya masih cemberut. “Kok bisa?” “Ya, begitulah.” Elvi duduk di depan Fira. “Pasti ada alasan, atau … ada yang tiba-tiba masuk … pilihan orang dalam?” Fira menggeleng lemah sambil menatap roti di piringnya. Dia kurang berselera makan pagi ini, memikirkan keadaannya yang semakin rumit. “Aku memarahi laki-laki yang sedang mengendarai mobil, yang hampir menabrak nenek tua—“ “Dan laki-laki itu adalah bos perusahaan.” “Ya.” Fira mengangguk. “Ya ampun, Fira.” Kini Elvi sudah bisa memahami masalah yang tengah Fira hadapi. “Aku sudah mengikuti induksi pagi itu dengan baik, tapi setelah melihat pak Edwin, aku yakin aku tidak akan diterima … aku marah sekali waktu itu.” Elvi menghela napas panjang, menyesali apa yang dialami Fira. “Arman sudah tahu?” tanya Elvi. “Nggak,” jawab Fira lemas, yakin pasti Arman kecewa. “Jangan sampai dia tahu penyebab kamu ditolak, pasti kamu yang dia salahkan. Makanya jangan sok baik, makanya fokus sama magang dan jangan fokus dengan orang lain, makanya jangan pamer kebaikan, bla bla bla … ini, ’kan akibatnya? Kamu nggak akan bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus kalo begini, dan kata-kata yang menjengkelkan lainnya, lalu kamu masih saja berusaha memperbaiki keadaan. Sudah bisa aku tebak.” Fira dan Elvi sudah lama tinggal bersama, sejak awal kuliah, kira-kira empat tahun lamanya. Elvi berasal dari SMA di kota Lampung, dan Fira yang berasal dari Magelang. Keduanya bertemu pertama kali di kampus dan sedang mencari kamar kos. Merasa kompak dan saling pengertian, mereka yakin bisa tinggal bersama dalam satu kamar kos, juga lebih hemat. Tentunya Elvi sudah hafal apa yang dialami Fira di kesehariannya, sampai hafal keluhan-keluhan Fira tentang Arman. Bahkan Elvi sering membaca pesan-pesan yang menjengkelkan dari Arman di ponsel Fira jika sedang berselisih paham, karena dia tahu kode ponsel Fira, dan Fira sendiri yang memberitahunya. “Ya, aku nggak mau memberitahunya.” “Duh, saking sayang dan cintanyaaa. Lalu bagaimana nasib magang kamu?” “Aku akan meminta saran dari akademik, ya … mungkin mengubah ke sistem penelitian, sebagai laporan akhir kuliahku. Seperti kamu, jadi nggak perlu ikut magang.” Elvi mengangguk mengerti. “Hm … padahal magang di sana sangat bergengsi dan kamu bisa menghasilkan uang serta masa depan yang menjanjikan.” “Ya, apa boleh buat?” Fira sudah menyelesaikan sarapannya. Dia beranjak dari kursi makan, menuju ruang depan dan duduk di tepi tempat tidur. Karena kondisi hatinya yang kurang baik, Fira tidak mau datang ke tempat kerja lebih awal seperti biasanya, dia berencana mulai kerja agak telat. Baru saja dia membuka ponsel, dia membaca sebuah pesan dari mamanya, mengingatkannya untuk segera mengirim sejumlah uang yang sudah disinggung mamanya beberapa hari yang lalu. Fira mendengus kesal, telah melupakan pesan mamanya. “Halo, Ma. Iya, nanti aku usahakan kirim secepatnya. Aku baru punya yang seratus lima puluh. Mau aku kirimkan ke Mama sekarang?” “Mana cukup, Fira. Mama butuh ya tujuh ratus ribu.” “Tapi aku belum ada uang sebanyak itu, Ma.” Elvi yang masih sarapan, hanya menggelengkan kepala mendengar percakapan Fira dengan mamanya yang dia yakini pasti masalah uang. Dia tidak habis pikir ternyata ada seorang ibu yang tega menekan anaknya untuk memberinya uang bulanan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. “Mama nggak mau tahu, Fira. Pokoknya minggu depan spp adikmu lunas, dan uang listrik rumah juga terbayar. Mama juga sedang berjuang melunasi rumah kita.” “Iya, Ma. Aku usahakan.” “Iya, bila perlu pinjam dulu ke siapa kek, baru nanti kamu lunaskan.” “Iya, Ma.” Lagi-lagi Fira tidak kuasa mengatakan tidak, dan hanya mengiya-iyakan saja. Dia tidak mau berdebat dengan mamanya karena akan percuma. Fira mengambil jaket jinsnya dari gantungan di balik pintu, mengambil helm dan tas kecilnya. “Kamu bisa pakai uangku, Fira,” tawar Elvi tiba-tiba. “Nggak, Elvi. Aku sering berutang denganmu.” “Ya, tapi selalu kamu lunaskan—“ “Aku nggak yakin akan bisa melunasinya.” “Pakai saja dulu, kamu juga nggak bisa pergi ke mana-mana, ‘kan?” ujar Elvi dengan nada canda. Fira mendengus tersenyum. Mengingat suara mamanya, akhirnya dia menerima tawaran Elvi untuk meminjamkannya sejumlah uang. Fira memang kerap meminjam uang ke Elvi, terkadang Elvi juga meminjam darinya. Kini Elvi sedang memiliki banyak uang sehingga dia bisa meminjamkannya ke Fira. Elvi tahu Fira adalah orang jujur yang selalu ingat utang-utangnya. Fira akhirnya pergi bekerja dengan senyuman. *** Fira sudah berada di dalam swalayan, dan ternyata dia tetap datang lebih awal. Bahkan Rubi belum terlihat batang hidungnya. Sepertinya karyawan lain datang seperti biasanya, lebih telat setelah beberapa menit Fira datang. Baru saja Fira mengambil gagang sapu, Arman menghubunginya. “Ya, Arman?” “Bagaimana hasil induksimu, Sayang? Kapan kamu mulai kerja, eh … maksudku magang?” Fira menghela napas panjang. Bingung harus menjawab, karena yakin kekasihnya itu pasti sangat kecewa, bahkan mungkin marah-marah. “Hm … mungkin aku berubah pikiran—“ “Maksudmu berubah pikiran bagaimana?” “Aku nggak ambil magang di sana.” “Fira? Kenapa?” “Aku nggak lulus, Arman.” “Kok bisa? Apa alasannya?” Mana mungkin Fira menjawab bahwa dia ditolak menjadi peserta magang hanya karena telah memarahi bos perusahaan yang hampir menabrak wanita tua. Arman pasti kecewa, dan dia tidak ingin mengecewakan Arman. “Aku kurang tahu, aku baru mendapatkan email penolakan pagi ini,” ujar Fira sedikit berdusta. Jika dia mengatakan bahwa dirinya sudah ditolak tepat setelah menyelesaikan induksi, pasti Arman akan bertanya kenapa dirinya tidak melapor kepadanya saat itu dan kenapa baru sekarang melapor. Tentu ini akan menjadi semakin rumit dan Fira bingung tidak tahu harus bagaimana. “Sayang sekali. Apa aku harus turun tangan menanyakannya? Kamu forward surat itu ke aku—“ Fira gugup. “Sudah aku hapus, Arman. Aku nggak mau melihat surat penolakan itu lagi.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN