Arman berdecak kesal, napasnya yang memburu terdengar hingga ke telinga Fira.
"Kamu. Kenapa, Fira? Aargh."
Wajar Arman kesal, magang di Elmer Group adalah impian banyak anak muda, status bergengsi meskipun hanya bawahan atau staff biasa. Apalagi Fira adalah mahasiswi pintar dan memiliki nilai akademik sangat tinggi, Arman yakin Fira bahkan bisa menduduki posisi lebih tinggi di sana dan digaji dengan sangat tinggi.
"Maaf, Arman."
Selalu begitu, Fira tidak seharusnya meminta maaf. Mungkin karena perasaan cintanya yang amat dalam terhadap Arman, membuatnya ingin selalu menyenangkan perasaan Arman, dan kali ini sikapnya mengecewakan.
Panggilan ditutup secara sepihak tanpa kata-kata dari Arman.
Fira menghela napas pendek. Tidak tahu harus bagaimana. Awal hari yang kurang mengenakkan baginya, mendapat panggilan dari mamanya yang mendesaknya, lalu sekarang Arman yang menyesalkan dirinya yang ditolak magang di kantor bergengsi. Fira awalnya menduga bahwa dirinya yang akan mampu menyenangkan orang-orang tersayang dan terdekatnya ketika dia mendapat gaji pertama setelah satu bulan magang. Namun, apa yang dia harapkan tidak terwujud. Terlebih, dia harus mengirim sejumlah uang ke mama dan adiknya. Ingin sekali dia menagih utang dari Arman, tapi lagi-lagi dia memikirkan perasaan Arman.
Kemurungan Fira perlahan berkurang karena dia mendapatkan notif dari bank bahwa Elvi sudah mengirimkan sejumlah uang kepadanya untuk kemudian dia kirimkan ke mamanya di Magelang. Cepat-cepat dia kirimkan ke rekening mamanya.
"Halo, Cantik." Rubi menyapa Fira dengan gaya khasnya, tangannya melambai dan menepuk pundak Fira.
"Hei, Rubi."
"Eh, Aku belum kasih tau omku kalo kamu akan masuk shift sore minggu depan."
"Aku nggak jadi magang di Elmer. Aku akan membuat laporan saja untuk menyelesaikan kuliahku."
Rubi terkejut, "lho, kenapa bisa begitu?"
"Aku nggak lulus induksi, Rubi."
"Ha? What? Fira yang cantik dan pintar ini nggak lulus? Kok bisa begitu? Aaakh, mana mungkin."
Rubi memandang Fira tidak percaya. Ada perasaan iba saat dia mengamati wajah murung Fira.
"Aku nggak apa-apa, Bi. Aku memang harus menyelesaikan kuliah dulu, setelah itu baru aku pikirkan untuk mendaftar kerja, dan nggak musti di Elmer Group.”
Rubi tersenyum hangat, dia tahu Fira adalah gadis yang pantang menyerah. Dia memang terlihat murung dan sedih, tapi tidak berlangsung lama, hanya beberapa jam saja dan tidak sampai seharian.
Benar apa yang dipikirkan Rubi, sambil mengambil sapu dan cairan pemberish serta kain lap kecil, Fira tersenyum dan mulai bekerja.
“Aku yakin kamu akan mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik,” seru Rubi yang melangkah menuju meja kasir.
Fira tersenyum tipis setelah mendapat notif di ponselnya bahwa mamanya sudah menerima uang transferan darinya, dan mengaku sudah membayar lunas spp adiknya. Notif itu cukup membuat perasaannya lebih tenang, meskipun ada satu hal yang membuatnya kepikiran, yakni sikap Arman. Fira merasa sedih membayangkan malam minggunya nanti akan kesepian, tidak akan ada yang menghubunginya atau mengucapkan kata-kata mesra. Tapi dengan cepat Fira tepis perasaan gamangnya, memilih fokus bekerja dan esok hari dia berencana akan ke kampus, meminta saran bagaimana dia menyelesaikan kuliahnya, apakah tetap magang dan mengikuti proses dari awal dengan mendaftarkan diri di tempat baru atau lebih baik menyusun laporan dengan mengadakan penelitian. Fira berharap dia tidak terlambat.
***
Arman masih menyesalkan Fira yang tidak lulus induksi. Menurutnya hampir tidak ada yang gagal atau tidak lulus magang di sebuah perusahaan jika sudah mengikuti induksi. Induksi hanya menjelaskan pekerjaan dan keadaan lingkungan kerja, dan jika Fira tidak lulus, itu artinya pasti ada yang Fira lalukan sehingga membuat pihak perusahaan keberatan menerimanya.
Arman ingat sebuah kejadian yang melibatkan Fira. Saat semester dua kuliah, dia dan Fira berdebat mempermasalahkan pemberian uang jajan kepada anak-anak jalanan di sekitar kampus. Arman melarang Fira yang hampir setiap hari memberi anak-anak itu jajan, karena itu artinya dia memanjakan mereka dan uang habis begitu saja. Apa yang Arman khawatirkan terjadi, bahwa salah satu orang tua anak itu meminta uang lebih banyak ke Fira dan terkesan memaksa, Fira malah memberi uang ratusan ribu dan itu puncak kekesalan Arman, bahwa Fira yang terkadang terlampau baik dengan orang-orang tanpa memikirkan sisi kurang baik akibat “kebaikannya”. Dan masih banyak kekesalan Arman terhadap Fira yang dia pikir sebagai gadis yang sangat lugu sehingga dia saja ragu untuk tetap bersama selamanya. Ternyata Arman sendiri kurang tulus berpacaran dengan Fira, dan telah memanfaatkan kebaikan Fira. Seperti pagi ini, dia duduk-duduk santai di kantin kampus sambil menunggu seseorang. Dia sengaja duduk di sudut kantin, membelakangi para mahasiswa lain yang lalu lalang di kantin.
“Hai, udah lama nunggu?”
Arman sedikit terkesiap mendengar suara halus dan lembut dari seorang gadis cantik berkulit putih dan tinggi semampai. Dia Inge, teman dekat Arman, tapi ada yang bilang mereka sebenarnya adalah pasangan skandal, Arman yang sudah berpacaran dengan Fira dan Inge sendiri sudah memiliki kekasih yang bekerja di sebuah perusahaan makanan ternama di Jakarta. Inge adalah teman satu kelas semasa kuliah dengan Arman. Tentu saja baik Fira dan Chandra tidak mengetahui skandal mereka.
“Nggak lama….” Wajah Arman berubah ramah dan perasaannya hangat melihat sosok cantik dan sempurna Inge.
Inge duduk di samping Arman dengan posisi sama, menghadap ke belakang agar mahasiswa lain tidak melihat mereka berduaan.
“Kenapa kamu ingin menemuiku?” tanya Arman sambil mengaduk kopi pahitnya yang masih panas, lalu menyeruputnya sedikit.
“Aku butuh uang, untuk bayar sewa apartemen.”
“Lho. Chandra nggak kasih kamu duit?”
“Kurang sedikit sih. Tiga ratus ribu. Males debat aku sama dia, kalo aku minta pasti aku diomelin, dia juga sudah banyak kasih aku uang.”
Arman mengambil ponselnya dan menghubungi papanya yang tentu sedang bekerja di kantor pemerintahan propinsi. “Pa, aku butuh uang tiga ratus untuk beli buku.”
Wajah Arman langsung cerah ketika mendapat jawaban dari papanya, lalu beralih ke Inge, “Aku dapat apa?”
“Dapat ini.”
Arman terkekeh genit, dia mencubit paha Inge gemas.
“Bagaimana hubungan kamu dan Fira?” tanya Inge pelan.
“Aku lagi kesel, dia nggak lulus magang di Elmer.”
“Oh ya? Kok bisa? Dia ‘kan pinter. Hanya orang-orang pintar yang bisa bekerja di sana.”
Arman mengecek rekeningnya sebentar sebelum menanggapi pembicaraan dengan Inge, berkata pelan, “Aku sudah mengirim ke rekeningmu.”
“Oke.”
“Soal Fira. Hm … aku juga nggak tau kenapa dia bisa begitu. Aku khawatir dia yang terlalu baik dengan salah satu peserta, mengalah barangkali?”
“Haha, nggak mungkin.”
“Kamu tau Fira bagaimana. Dia terlampau baik dan kadang otaknya nggak jalan. Pinter sih, tapi ya … nggak cerdas.”
Inge tertawa sinis, berkata, “Ya, kalo dia cerdas, mana mungkin dia bisa pacaran sama kamu.”
“Maksud kamu?”
Bersambung