Bab 4. Imelda Ingkar Janji

1088 Kata
Edwin Benedict Elmer, sudah menikah kurang lebih delapan tahun dengan Imelda, dan Imelda adalah teman kecil sekaligus tetangganya. Dia lahir dan dibesarkan di kota besar Jakarta, sempat kuliah di kota Johannesburg, Afrika Selatan, kota kelahiran almarhum ayahnya. Edwin keturunan Inggris dan Jerman, sang nenek di pihak ibu yang berkebangsaan Indonesia, tepatnya di Magelang. Tidak ada anak dalam pernikahan Edwin dan Imelda, padahal mereka berdua sudah berusaha sekian tahun, dengan beragam cara. Edwin pernah mengusulkan untuk menyewa rahim, karena Imelda yang katanya memiliki masalah dalam reproduksi. Namun, Imelda menolak dan memutuskan untuk tidak memiliki anak. Mengenai hubungan Imelda dan Damar, sudah lama diketahui Edwin. Damar adalah cinta pertama Imelda saat sekolah SMP. Damar sudah menikah dengan wanita keturunan Jawa, Suriname, dan tinggal di Belanda, dan memiliki sepasang anak berusia belasan tahun. Hubungan Imelda dengan mantan kekasihnya terendus di tahun ketiga perkawinan. Edwin terkejut saat melihat beberapa pesan mesra dari seseorang yang tinggal di Belanda, dengan inisial DM. Awalnya Imelda mengelak, tapi pada akhirnya dia mengaku karena Edwin mendesak, dia mengatakan bahwa hubungannya dengan Damar tidak jauh sampai berhubungan badan. Tahun keempat, Imelda berulah, dia kembali berselingkuh dan sampai menginap di hotel bersama Damar yang dengan sengaja transit di bandara internasional di Jakarta, dalam perjalanannya menuju Singapura. Imelda meminta maaf dan Edwin tetap memaafkan. Begitu seterusnya, entah beberapa kali Imelda melakukan kesalahan dan mengaku khilaf, bahkan sampai sekarang, di kala Edwin mengalami kedukaan, sempat-sempatnya pula Imelda bertemu Damar. Edwin tidak berdaya, memaafkannya karena terlampau banyak yang dia pikirkan, dia baru berduka, perusahaan yang mengamati kemerosotan dan dia harus memutar otak, juga cintanya yang terlalu dalam terhadap sosok Imelda. “Aaakh,” lenguh Edwin saat pelepasan di atas tubuh istrinya, rasa pusing karena pekerjaan yang menumpuk pun mereda malam ini. Edwin menarik tubuhnya dari tubuh Imelda yang menungging, lalu rebah di atas kasur dan mulai mengantuk. “Kenapa kamu menyukai posisi membelakangiku akhir-akhir ini, aku jadi nggak bisa melihat wajahmu saat aku masuki tubuhmu,” ujar Edwin dengan nada berat. “Bukannya kamu sudah tahu kalo tadi adalah posisi favoritku,” balas Imelda yang sudah siap-siap beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, hendak membersihkan tubuhnya. “Tapi kamu jadi nggak pernah puas, Sayang.” “Aku puas, Ed.” Edwin mendengus tersenyum. Dulu dia pernah merasakan tubuh Imelda yang mengerjang di pertengahan bercinta, hanya satu kali, setelahnya dia tidak pernah melihat Imelda seantusias dulu. “Kenapa? Kamu nggak percaya?” tanya Imelda, dan satu tangannya diam-diam meraih ponsel yang berada di atas meja kecil samping ranjang. “Baiklah, aku percaya,” gumam Edwin mengalah. Dia selalu saja tidak berdaya di depan Imelda. Imelda meraih selimut putih untuk menutupi tubuh telanjangnya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Edwin menatap nanar punggung kecil Imelda, menghela napas panjang, mengingat kebersamaannya sejak lama. Kini sudah tiga bulan lebih terhitung sejak kematian ayahnya, dan Imelda mulai menunjukkan perubahan. Dia lebih sering tinggal di rumah, dan memilih mengundang teman-temannya ke rumah ketimbang ikut kumpul di cafe-cafe atau restoran mewah. Edwin senang karena Imelda yang benar-benar menepati janjinya untuk tidak lagi berhubungan dengan Damar, mantan kekasihnya. Entah kenapa Edwin tidak merasa mengantuk kali ini. Biasanya setelah berhubungan badan, dia langsung tertidur. Sekarang, pikirannya kembali mengingat persetubuhannya dengan Imelda dan sepertinya dia menginginkannya lagi. Apalagi dia menyadari bahwa Imelda belum puas dan Edwin ingin memberi istrinya itu kesenangan. Edwin tersenyum kecil, juniornya kembali menegang, menginginkan sentuhan Imelda lagi. Edwin memutuskan ikut mandi bersama Imelda. Namun, saat berdiri di depan pintu kamar mandi yang tidak tertutup rapat, Edwin mendengar suara Imelda berbicara dengan pelan, seperti berbisik di tengah guyuran shower yang sengaja dihidupkan. Sayup-sayup dia mendengar Imelda menghubungi seseorang. “Aku sudah berjanji kepada Edwin untuk tidak menghubungimu, apalagi menemuimu. Mana bisa. Iya, aku mencintaimu melebihi apapun, tapi aku … aku. Maafkan aku, Damar. Aku nggak bisa memenuhi keinginanmu, walaupun sebenarnya aku sangat merindukan kamu.” Lalu terdengar Imelda menangis tersedu-sedu. “Aku juga nggak bisa lepas darinya, Damar. Aku nggak bisa.” Imelda menangis lagi. Edwin langsung tidak berselera ingin menyenangkan istrinya di dalam kamar mandi. Dia menghela napas panjang, sebelum masuk ke dalam kamar mandi. “Edwin?” Imelda terkejut setengah mati melihat Edwin yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi, sementara dirinya masih duduk di bangku kecil dan sama sekali belum mandi, serta tubuhnya masih berselimut. Cepat-cepat dia menyembunyikan ponsel di balik pangkuannya. Edwin dengan sikap santainya melangkah menuju ruang kaca kamar mandi, berujar ke Imelda yang gugup, “Mau join?” Imelda berpikir bahwa Edwin tidak mendengar pembicaraannya dengan Damar, atau bahkan tidak mengetahui bahwa dia sedang menerima panggilan melalui ponsel. Imelda seketika bingung, meyakinkan dirinya bahwa Edwin baik-baik saja. Dia ikut masuk ke dalam ruang kaca dan mandi bersama Edwin. Edwin tersenyum dan mencium pipi Imelda, seraya berbisik, “Aku mencintaimu.” Tapi hatinya sangat gamang, masih mengingat pembicaraan Imelda dengan Damar yang dia dengar. “Aku juga, Edwin.” “Aku mencintaimu melebihi apapun.” “Aku juga.” Padahal Edwin dengan sengaja mengulang kata-kata yang diungkapkan Imelda kepada Damar. Imelda yang mungkin ingin mengelabui Edwin, memeluk tubuh Edwin yang basah, lalu melumat bibir Edwin, dan Edwin pun membalasnya. Edwin tertawa di tengah guyuran air shower hangat, menutupi perasaan sedihnya, menangisi sikap Imelda. Dia biarkan air matanya bercampur guyuran air, sengaja menutupi perasaan gamangnya di depan Imelda. *** Pagi harinya, Imelda terlihat tulus dan semangat melayani Edwin sarapan pagi sebelum pergi ke kantor. Edwin menduga Imelda hanya ingin menutupi perasaan bersalahnya karena kejadian semalam, bahwa dirinya yang masih saja menghubungi Damar di Belanda, padahal dia sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Edwin masih mau memberi Imelda kesempatan tanpa harus meminta maaf, apalagi pagi ini, sikap Imelda benar-benar berubah dan sangat memperhatikannya. Edwin yakin Imelda tetap akan memenuhi janjinya, setidaknya dia tidak memulai menghubungi Damar. “Pekerjaan kamu semakin banyak, Ed?” “Iya, Sayang. Beberapa proyek harus aku tunda dan juga harus mengulang dari awal. Income tahun ini agak berantakan.” Imelda sedikit kecewa mendengar kata-kata suaminya. Tapi dia dengan cepat mengubah ekspresi di wajahnya, seolah dia tidak mempermasalahkan. Sebelumnya, Edwin bekerja di perusahaan cabang dan maju pesat, tapi setelah ayahnya meninggal, laki-laki penyuka golf itu harus bekerja di kantor pusat menggantikan posisi ayahnya, sedangkan posisi lamanya digantikan saudara sepupunya, Fronie. Imelda kerap mendengar bahwa perusahaan pusat mengalami kerugian yang cukup besar dalam setahun terakhir, dan salah satu penyebabnya adalah Elmer yang sakit-sakitan serta adanya oknum yang memanfaatkan momen mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi tanpa sepengetahuan Elmer. Edwin datang untuk memperbaiki keadaan, hingga berpengaruh ke pendapatan yang tidak sebanyak sebelumnya. Edwin sudah banyak memangkas pengeluaran perusahaan, yang tentunya berimbas ke kehidupan rumah tangganya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN