Fira terkejut bukan main, dia langsung menyatakan kesediaannya untuk datang ke kantor Elmer besok pagi. Sambil melirik ke Arman, dia berkata dengan semangat, “Iya, Bu, saya besok datang. Saya akan hubungi Ibu.”
“Oke, Fira. Saya tunggu kabar kamu.”
Fira tersenyum lebar sekali, membuat Arman bertanya ada apa.
“Arman, aku dipanggil ke Elmer lagi!” teriak Fira senang, hingga tanpa sadar dia memegang tangan Arman yang ada di atas meja kantin.
Arman ikut senang, lalu berkata, “Aku antar kamu pulang.”
“Kamu lupa, aku bawa motor.”
Arman mengangkat kedua bahunya, dan perasaannya benar-benar senang. Ini hari yang indah baginya, pagi-pagi dia diberi uang oleh papanya, lalu mendapat kesenangan dari Inge, dan sekarang Fira memberinya kabar baik, dia masih bisa memanfaatkan Fira.
“Kamu yang bagus magangnya, yang rajin, yang pintar ambil hati atasan. Biar ke depan kamu bisa bekerja di Elmer dan mendapat posisi tinggi. Gaji kamu besar, Fira. Dalam waktu dua tahun bisa beli rumah dan mobil.” Arman terus menyemangati Fira.
“Arman. Kamu berkhayal terlalu tinggi.”
“Hidup itu harus berkhayal dan bermimpi, kalo nggak hidup jadi nggak semangat.”
“Tapi harus realistis.”
Arman mengacak rambut Fira gemas, ada perasaan bangga yang membuncah dalam dirinya mampu menguasai hati dan perasaan Fira.
“Bagaimana kalo malam minggu ini kita nonton di bioskop?”
Fira mengangguk semangat.
***
Fira tidak peduli kenapa Elmer Group kembali memanggilnya, tapi dia yakin mungkin Edwin berubah pikiran saat dirinya memarahi tukang parkir liar yang memalak sopirnya. Tatapan Edwin yang berada di dalam mobil memang tajam ke arahnya, tapi bagi Fira itu adalah tatapan bijak dan bukan menyiratkan kekesalan. Sangat berbeda di saat Edwin memarahinya ketika dia membela seorang wanita tua, tatapan Edwin waktu itu memang menunjukkan kekesalan dan kebencian.
Bukan main Fira bahagia hari ini, dia mendapat kabar baik, bertemu Arman yang menyemangatinya, Arman yang akhirnya mau mencicil utangnya, lalu dia mendapat panggilan dari Elmer. Fira bertekad akan menyelesaikan kuliahnya dengan baik tahun ini.
“Wow, makasih, Fira. Sebenarnya kamu nggak perlu kembalikan uang secepat ini.”
“Biar utangku ringan. Vi.”
Sesampainya di kamar, Fira mencicil utangnya ke Elvi dengan uang yang diberikan Arman, sedikit menyisihkannya untuk keperluan sehari-harinya menjelang gajian lusa nanti.
“Jadi, besok kamu mulai magang?” ujar Elvi yang ikut senang.
“Ya.”
“Haha, kenapa bisa begitu ya? Mereka merubah keputusan.”
“Hm … entahlah.” Fira memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian yang dia alami di swalayan, memarahi tukang parkir liar yang memalak sopir perusahaan Elmer, di mana ada Edwin di dalam mobil tersebut. Lagi pula, dia juga tidak yakin karena kejadian itu Edwin jadi merubah keputusannya.
“Tapi syukurlah, Arman mencicil utangnya kepadamu. Hm … apa ini karena kamu dipanggil lagi ke Elmer?”
Fira tertawa renyah dan menggeleng. “Nggak, justru dia bayar sebelum aku dihubungi Elmer Group.”
“Ah, beruntung sekali Arman.”
Fira tersenyum hangat, dia masih berpendapat bahwa Elvi selalu salah tentang Arman, merasa dirinya satu-satunya yang mengenal dekat Arman.
“Aku juga punya kabar baru,” ujar Elvi tiba-tiba.
“Wah, apa nih?”
“Aku baru dapat kiriman uang dari orang tuaku. Jadi malam ini aku traktir kamu bakso Malang kesukaan kitaaa.”
Fira bersorak gembira, lalu memeluk Elvi erat-erat.
***
Fira yang terlampau bahagia, memberitahu mamanya tentang dirinya yang kembali diterima magang di perusahaan bergengsi, dengan bayaran yang cukup tinggi meskipun hanya magang.
“Syukurlah, Fira. Itu juga berkat doa Mama selama ini, Sayang. Jadi kira-kira berapa kamu dibayar? Dua puluh juta?”
“Haha, mana ada sebanyak itu, Mama. Tapi kalo aku jadi pegawai tetap mungkin segitu.”
“Oh.”
“Mungkin sekitar delapan atau sembilan, Ma. Elmer itu memang sangat loyal sama karyawannya. Belum lagi tunjangan dan bonus-bonus lainnya.” Fira berusaha mengira-ngira, dia juga belum tahu sebanyak apa gaji yang dia terima.
“Wah, besar sekali itu. Satu bulan delapan juta.”
“Iya, Ma. Aku juga kepinginnya tetap bekerja di swalayan, aku bisa minta izin bekerja secara kasual di sana, beberapa jam saja.”
“Kamu masih muda dan kuat, manfaatkan ya, trus nabung yang banyak. Duh, semoga rumah kita lunas dengan cepat, Fira.”
“Iya, Ma.”
Fira senang mendengar suara renyah mamanya karena kabar bahagia yang dia sampaikan.
Tiba-tiba dia mendengar suara berat pria sayup-sayup di belakang mamanya, memanggil nama mamanya. Fira heran, mamanya sudah lama bercerai dari papanya yang sekarang sudah menikah lagi dan tinggal di Merauke.
“Siapa, Ma?”
Mama Fira tergugup, lalu dia cepat-cepat menyudahi panggilannya, “Sudah ya, Nak. Biasa, tukang galon.”
Panggilan pun berakhir.
Fira bingung, merasa aneh tukang galon bisa seakrab itu dengan mamanya sampai memanggil mamanya dengan nama. Fira menggeleng, mengusir pikiran buruknya tentang mamanya, berpikir tidak mungkin mamanya berbuat sejauh yang dia pikirkan. Bagaimanapun, Fira senang mamanya baik-baik saja dan besok dia akan magang di perusahaan ternama.
***
Fira berdandan rapi pagi ini, bersiap-siap pergi magang di Elmer Group. Dia sudah menghubungi Rubi bahwa mulai hari ini dia akan magang dan akan mengatur jadwal kerjanya di swalayan. Rubi ikut senang dan menyarankan Fira bekerja di dua hari akhir pekan saja di swalayan milik keluarganya, supaya Fira bisa lebih fokus magang sekaligus bisa menyelesaikan laporan akhir kuliahnya.
“Aku doakan kamu bekerja di sana, Fira. Kamu memang layak bekerja di perusahaan terbaik.”
Fira tersenyum hangat mendengar harapan Elvi, sahabat terbaiknya. “Kamu juga, Elvi. Semoga setelah lulus kuliah, kamu kembali ke Lampung dan meneruskan usaha bisnis papamu dengan baik.”
“Haha, kamu sudah kayak papaku aja. Baru aja semalam dia nelpon aku suruh cepat-cepat selesai kuliah. Mama bilang langsung nikah aja, tapi papaku nggak boleh karena kepingin aku menghasilkan uang dulu.”
“Kamu sendiri?”
“Ya, aku lebih milih bekerja mengelola usaha bisnis papaku.”
“Emangnya calonmu siapa?”
“Kamu lupa aku udah cerita.”
“Oh, Satria sepupu kamu itu?”
Elvi mengangguk tersenyum.
Fira tertawa kecil, Elvi sedari dulu memang bertekad tidak pacaran dan memilih fokus kuliah. Fira merasa karena Elvi punya keluarga lengkap, dengan seorang papa yang bertanggung jawab. Sementara dirinya berasal dari keluarga berantakan dan papa yang pergi jauh tanpa pernah memberi kabar. Fira merasa membutuhkan kasih sayang seorang laki-laki dan Arman yang berhasil memikat hatinya.
Bersambung