Bab 9. Halo, Fira

1056 Kata
“Kalo dia berubah lagi, perlu dipertanyakan siapa Fira ini sebenarnya. Apakah ada kaitannya dengan Edwin?” gumam Johnson disertai kekehan misteriusnya. “Haha, mana mungkin, John. Semua tau pak Edwin cinta mati dengan bu Imelda. Aku sudah hafal sikap pak Edwin—“ “Masih bodoh seperti itu?” “Mungkin sampai kiamat dia bertahan dengan istrinya yang kerap selingkuh itu. Aku heran ada laki-laki seperti pak Edwin.” “Ya, pasti ada. Edwin contohnya. Tapi ngomong-ngomong, Fira cantik loh.” Nia mencebikkan bibirnya, tidak percaya Edwin jatuh cinta ke wanita selain istrinya. “Kamu ingat tidak, Luciana yang pernah mendekati Edwin, cantik bagaimana lagi dia … melebihi Imelda segala-segalanya. Edwin tetap tidak terpengaruh.” “Edwin memang teguh luar biasa. Di saat bos-bos muda seusianya asyik dengan beragam perempuan, dia malah setia dengan istrinya yang selingkuh. Tapi, aku pikir ini juga karena Imelda sangat kuat dan tegas. Kamu ingat nggak, Lucian yang kamu ceritakan itu habis dilabrak Imelda.” “Iya juga.” Nia mengangguk membenarkan dugaan Johnson mengenai kehidupan asmara Edwin. “Ah, aku berharap kali ini pak Edwin tidak lagi berubah pikiran untuk mengusir gadis itu. Oiya, aku pergi dulu, John. Aku harus menghubungi Fira.” “Oke, good luck, semoga gadis itu segera bekerja besok.” Nia tersenyum hangat, dan hari ini dia bekerja dengan semangat. *** Edwin kedatangan tamu spesial hari ini, Fronie, saudara sepupunya yang selama ini menggantikan posisinya di kantornya yang lama. Fronie melaporkan keadaan kantor cabang tersebut yang akhirnya bisa dia tangani. “Apa kabar Imelda, Ed?” tanya Fronie setelah cukup lama berbincang dengan Edwin seputar perkembangan pekerjaan di perusahaan mereka, “Ya, dia baik. Dia sedang sibuk dengan butik barunya.” Fronie memandang wajah Edwin dengan seksama, seolah mencari kesungguhan dari jawaban yang diucapkan. “Kamu … nggak berusaha lagi membujuknya untuk mendapatkan anak.” Edwin menggeleng. “Dia nggak mau, Fron. Aku bahkan sudah membujuknya untuk sewa rahim, tapi dia tetap menolak.” Fronie menghela napas panjang. “Dan kamu tetap membiarkan?” “Ya, begitulah. Aku nggak mau terlalu banyak pikiran.” Fronie menggeleng dan tersenyum sinis. “Edwin, Edwin. Kamu sangat mencintai wanita dengan segala kelebihannya.” Edwin diam tidak menanggapi. “Ya,” lirihnya. “Hebat sekali dia, berselingkuh berkali-kali bahkan jelas-jelas di depanmu, dia nggak bisa punya anak dan nggak mau punya.” Fronie berdecak kagum, “Dia wanita yang paling beruntung di dunia ini, dicintai laki-laki teguh sepertimu. Kalo orang lain, mungkin dia sudah menjadi korban pembunuhan.” “Fronie … jaga ucapanmu,” ujar Edwin dengan sikap tenangnya. “Aku kesal, Ed. Semua juga kesal. Siapa penerusmu nanti? Kamu harus pikirkan itu.” “Anakmu?” “Hah. Aku nggak mau diperdebatkan. Pasti yang lain juga merasa ikut berhak. Shalom sudah menyindir dari awal soal itu. Bilang bahwa kedekatan aku dan kamu karena aku ingin anakku jadi penerusmu.” “Aku akan membuat aturan itu.” “Jangan buat kekacauan, Ed. Tidak semua aturan mempermudah urusan.” “Aku tau kamu dan kekhawatiran kamu.” Fronie berdecak lagi, menyayangkan sikap Edwin yang masih mau mempertahankan Imelda. Apa boleh buat, Edwin memang sangat mencintai istrinya itu dan sampai mati akan tetap mencintainya, tidak peduli istrinya berbuat semaunya. “Aku harap kamu berubah, Ed. Berubahlah, demi kebaikan bersama., terutama keluarga besar kita,” ujar Froni berharap. Edwin tersenyum hangat, dalam hati dia pun berharap keluarga besar tidak mempermasalahkan rumah tangganya, juga berharap Imelda tetap menepati janjinya untuk tidak menghubungi mantan kekasihnya lagi. *** Fira menutupi seragam kerjanya dengan jaket jinsnya saat Arman datang menemuinya yang masih duduk di luar kantin. “Kenapa duduk di sini? Ayo, di dalam saja,” ujar Arman. “Aku nggak punya uang jajan, Man. Cuma beli air minum tadi.” Arman yang letih, menyuruh Fira masuk ke dalam kantin, dia memesan makanan ringan sebelum duduk di bangku kantin yang saat itu agak sepi. “Kamu dari mana?” tanya Arman memulai pembicaraan. “Dari kantor akademik, aku disarankan untuk memikir ulang, membuat laporan atau daftar magang di tempat lain,” jawab Fira. “Kamu dari mana? Seger banget kayak baru mandi,” tanya Fira kemudian. Melihat Arman yang segar membuatnya heran. Arman sempat tergugup, tapi sesaat kemudian dia bisa mengatur emosinya lebih tenang. Mungkin dia sudah terbiasa berbohong, sehingga dengan mudah merubah sikap. Arman tersenyum manis ke Fira, tapi pikirannya sebenarnya masih mengenang kegiatan panasnya dengan Inge. Fira salah menyangka, perasaannya langsung luluh melihat senyum manis Arman. “Aku emang baru mandi, karena siang tadi panas sekali.” “Oh.” Perasaan Fira galau lagi, karena sekarang pikirannya tertuju ke mamanya. “Ada apa, Fira?” tanya Arman. Melihat wajah Fira berubah murung, dia jadi merasa bersalah, telah bersenang-senang dengan perempuan lain. “Nggak ada apa-apa, Man. Biasa sih, mama.” Arman berdecak dalam hati. Ini adalah salah satu dia yang mungkin suatu saat akan menyudahi hubungannya dengan Fira. Pacarnya itu selalu saja bermasalah dengan mamanya. Fira tidak sekaya Inge dan tidak pula secantik Inge, tapi dia memanfaatkan kepintaran Fira. Namun terkadang dia juga cukup sulit melupakan atau melepas Fira dari kekuasaannya. Dia juga tidak bisa menahan perasaan cemburunya jika Fira berdekatan dengan laki-laki lain. Intinya, Arman memang semaunya saja terhadap Fira. Fira lalu melanjutkan masalahnya, terkait mamanya, “Dia minta aku kirim uang secepatnya, tujuh ratus ribu dan aku hanya punya seratus lima puluh. Kamu tau sendiri mamaku suka ngomel kalo keinginannya nggak terpenuhi. Untungnya, Elvi mau meminjamkan uangnya.” “Ya udah kalo masalah selesai, kamu nggak perlu cemberut lagi,” ujar Arman lembut. Dia mengambil dompet dan meraih dua lembar uang merah, menyerahkannya ke Fira. “Aku nggak berniat nagih, Man. Bisa kapan-kapan kamu bayar utangmu.” “Ambillah. Sisanya minggu depan.” Arman tetap memaksa. Fira memang sedang tidak punya uang, hanya lembaran dua ribuan di dalam dompetnya, dan uang lima belas ribu, itupun rencananya akan dia gunakan untuk membeli bensin motornya. Fira akhirnya mengambil uang dari Arman. “Jadi … sisa dua ratus lagi. Makanan ini aku yang bayar,” ujar Arman. Tiba-tiba, ponsel Fira berbunyi dan dia mengambil ponsel dari tas ranselnya. Fira terkejut, Nia, sekretaris utama perusahaan Elmer Group menghubunginya. “Halo.” “Halo, Fira. Fira, apa kamu bisa datang ke kantor Elmer besok pagi? Ada perubahan keputusan. Kamu bisa ikut magang di kantor ini. Besok kamu temui saya langsung jika kamu bersedia datang.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN