Bab 12. Ditraktir Bakso Lagi

1071 Kata
“Pak Edwin cerita detail tentang kamu di hari pertama magang. Dia kagum sama kamu yang berani marah-marah kepadanya.” “Itu karena saya nggak kenal, Bu. Kalo kenal, mungkin saya nggak marahin,” ujar Fira apa adanya, dan membuat Nia kagum. “Pak Edwin datang pagi-pagi sekali, Bu?” tanya Fira hati-hati, berusaha mengetahui bagaimana kinerja Elmer Group. “Oh. Semalam dia lembur dan sampai menginap di kantornya. Biasanya kalo dia lembur, esoknya dia nggak ngantor. Jadi kita yang lebih sibuk di sini.” “Oh, begitu.” Fira manggut-manggut. “Oiya, saya hampir lupa.” Nia bangkit dari duduknya dan mengarahkan Fira ke sebuah meja kerja yang ada di sudut ruang kerjanya. “Ini meja kerja kamu, dan ini password komputer kamu.” Nia menunjukkan kertas yang tertempel di sudut meja kerja Fira berupa catatan password komputer, dan Fira langsung menyalakannya. Nia menjelaskan apa saja yang menjadi tanggung jawab Fira sebagai asisten. Sebagai peserta magang, pekerjaan Fira tentu belum sepenuhnya tetap, meskipun dia memiliki tanggung jawab. Namun, ada banyak hal yang Fira harus tahu, bahkan hal terkecil pun, seperti membawa makanan dan minuman untuk atasan yang bekerja di seputar ruang kerjanya. Fira tidak keberatan, karena dia sudah terbiasa bekerja apapun. Hari itu Fira dan Nia cukup sibuk. Fira merasa sangat beruntung karena dia adalah peserta magang pertama yang masuk kantor, meskipun awalnya dia ditolak. Dia juga tidak menyangka sikap karyawan Elmer Group ramah dan cekatan, dan dia merasa bisa mengikuti kinerja mereka dengan cepat. Begitu pula dengan Nia, dia sangat puas melihat kinerja Fira di hari pertama magang. Yakin ke depan, pekerjaannya akan lebih ringan. Di sela waktu istirahat, Fira mendapat panggilan dari pacarnya, Arman, yang ingin mengetahui kabar Fira yang baru memulai magang hari ini. “Baru aja aku mau hubungi kamu, Man. Aku sedang istirahat sore menjelang pulang.” “Itu namanya sehati, Fira. Saking dekatnya aku dan kamu, betapa cintanya aku ke kamu, sampe aku tau kapan kamu senggang.” Fira menutup mulutnya menahan tawa sekaligus perasaan bahagianya. Arman memang jago merayu dan tidak pernah pula gagal membuat Fira melayang-layang terbawa perasaan. “Bisa aja kamu, Man.” “Bisa dong, kan aku pacar kamu. Oiya, gimana pekerjaan kamu?” “Lancar dan aku suka magang di sini, Man, orang-orangnya cekatan dan ramah-ramah juga. Bahkan bos Elmer juga ramah.” “Wah, sudah ketemu pimpinan Elmer Group?” “Iya, sudah. Pagi-pagi aku udah ketemu dia, orangnya santai banget. Tapi kalo sudah bekerja serius banget.” “Wah, maksudmu Elmer? Kan sudah meninggal.” “Anaknya, namanya Edwin.” “Oh. Iya ya. Hm … jangan lupa deketin dia, supaya nanti kamu bisa menjadi pegawai tetap di sana. Tapi kamu kayaknya nggak perlu khawatir deh, soalnya biasanya yang sudah magang di sana langsung keterima kerja, kecuali kalo kamu menolak.” “Menurut kamu?” “Duh, Fira. Ya ambil dong tawarannya. Rezeki jangan ditolak.” “Ya, Man. Oiya, kamu sendiri gimana laporan akhir kuliah kamu?” “Ya, nunggu kamu selesai maganglah.” “Lho, kok nunggu aku selesai magang sih? Nanti jadi lama kamu selesainya.” “Nggak apa-apa. Demi kamu, Fira Sayang. Aku juga nggak bisa ngerjain laporan, soalnya kamu tau sendiri aku aktivis di kampus dan banyak kerjaan juga.” “Iya, Man.” “Ntar kalo kamu selesai magang dan punya waktu luang, baru bantuin aku.” “Iya.” “Pokoknya kita sama-sama saling bantu, Fira, dan harus bersabar.” “Iya, Man.” Fira senang dihubungi Arman dan mendapat kata-kata yang menyejukkan. Akademik Arman selama ini memang bergantung kepada Fira, dan Fira tidak mempermasalahkan, karena Arman yang juga selalu memperhatikannya, juga kata-kata mesra yang membuatnya semangat. Arman juga mau membantu Fira jika dibutuhkan, selagi ada manfaat baginya. Fira tidak menyadari bahwa selama ini dia dimanfaatkan Arman, karena saking cintanya. *** Fira akhirnya bisa membayar sisa utangnya ke Elvi setelah mendapat gaji bulanan dari tempat kerjanya di swalayan. Elvi malah mentraktirnya seporsi bakso malam ini, senang karena keadaan Fira jauh lebih baik. Kedua sahabat itu asyik berbincang sambil makan bakso di kamar kos. Udara di luar tidak bersahabat karena rintik-rintik hujan, tapi sangat pas untuk menikmati bakso di dalam kamar kos ketimbang di warung. “Fira, ini nggak yang namanya Edwin, bos kamu?” tanya Elvi saat sedang asyik menikmati bakso sambil main ponsel. Dia mengarahkan layar ponselnya ke Fira menunjukkan penampilan seorang laki-laki matang berwajah tampan campuran Asia Eropa, dan tubuh tinggi yang sangat proporsional. “Iya, bener ini pak Edwin. Aku sudah bertemu dengannya waktu pertama kali magang.” “Wih, ganteng banget, Fira. Dan kamu bekerja di dekat ruang kerjanya?” “Iya. Aku sebagai asisten sekretarisnya dan secara langsung bekerja di bawahnya.” “Wah, setiap hari ketemu cowok ganteng dong.” Fira tertawa renyah, dia mengakui dalam hati bahwa Edwin memiliki wajah tampan, terutama sejak dia diterima kembali magang di kantornya dan langsung bertemu dengannya serta berbincang-bincang sebentar. “Bisa dong ah, kamu, ‘kan cantik.” “Astaga, Elvi. Kamu ih.” Fira menepis pundak Elvi gemas. “Dia pria yang sudah menikah.” “Haha. Ya siapa tau malah dianya yang kepincut kamu.” “Astagaaa. Amit-amit.” Fira mengepal tangannya dan memukul dahinya sebanyak tiga kali, tidak ingin ada nasib buruk menimpanya. “Canda, Fira. Atau ada pegawai lain yang masih single, hm … pasti banyaklah di sana dan kamu tinggal pilih. Kamu tinggalin saja Arman yang nyebelin itu. Sudahlah bokek, cuma bisa mengandalkan bokapnya yang pejabat di Pemda, dan mengandalkan kamu yang pinter. Dia nggak punya masa depan jelas dan sukanya bergantung dengan orang-orang yang dia anggap bisa dimanfaatkan, kayak kamu.” Fira menggeleng, dia tidak mau meninggalkan Arman atau jangan sampai Arman yang meninggalkan dirinya. Dia sudah terlampau cinta kepada Arman, terlepas Elvi yang tidak menyukai hubungan asmaranya dengan Arman. Bagaimanapun, Fira makan dengan lahap bakso traktiran Elvi. Ini kesekian kalinya Elvi mentraktir Fira setelah melunasi utang-utangnya. *** Rubi menunjukkan wajah senangnya ke Fira yang bekerja akhir pekan ini di swalayan. Meskipun Fira diterima kembali magang di d perusahaan ternama, tetapi gadis itu masih mau bekerja di swalayan milik kerabatnya. “Aduh, langsung pangling aku liat si cantik ini. Mmmuah.” Gemas, Rubi mencium pipi Fira. Meskipun Rubi sosok laki-laki “melambai”, tetap saja dia jengah setiap kali Rubi menunjukkan sikap akrabnya. “Ih, gitu ya, main lap lap pipi. Kalo Arman yang cium pasti dibiarin sampe kering membusuk di pipi.” “Haha. Ih, Rubi.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN