“Eh, kemarin malam aku ke mall. Aku liat Arman jalan sama cewek tinggi langsing.”
Fira terkesiap mendengar cerita Rubi.
“Aku liat Arman dan cewek itu jalan pas ke luar dari mall, ceweknya naik taksi dan Arman balik lagi ke parkiran motor. Dia nggak cerita ke kamu?”
Fira menggeleng, Arman memang tidak cerita apa-apa tentang apa yang dia lakukan semalam. Dia dan Arman tetap saling berhubungan meskipun memiliki kesibukan masing-masing, dianya yang sibuk magang dan menyusun laporan akhir kuliah dan Arman yang sibuk dengan kegiatan organisasi di kampus.
“Aku lupa fotoin. Kamu coba tanya, mungkin itu selingkuhannya.”
“Hush.”
“Duh, Fira. Kamu tuh terlalu baik dan terlalu lugu. Coba kamu tanya ke mana dia semalam, kalo dia bilang nggak ke mana-mana, berarti dia bohong. Kalo dia bilang ke mall dan jalan sama temen, berarti dia jujur. Teman yang bagaimana? Ya, kamu yang harus nanya, karena kamu pacarnya.”
Fira tersenyum kecil, yakin Arman tidak akan bohong kepadanya, dan hari itu dia tetap bekerja dengan semangat, tidak mau memikirkan cerita Rubi tentang Arman.
***
Mendengar laporan Rubi yang melihat pacarnya pergi ke mall bersama seorang perempuan cantik, malam menjelang tidur, Fira menghubungi Arman dan menanyakannya. Arman mengakui bahwa dia pergi ke mall bersama beberapa temannya dan tidak berdua saja dengan seroang perempuan.
“Oh, itu aku pergi mendadak, Fir. Aku pergi rame-rame malam itu, dan kebetulan si Desi minta bantu aku mengantar ke lobi mall, kan malam udah jam sepuluhan,” ujar Arman.
“Oh.”
“Emangnya siapa yang liat aku ke mall?” tanya Arman ingin tahu.
“Rubi. Dia liat kamu jalan bareng cewek cantik.” Fira cemberut ketika menyebut “cewek cantik”, perasaannya cemburu seketika. Rubi mengatakan kepadanya bahwa perempuan yang bersama Arman semalam sangat cantik, berkulit putih dan tubuh langsing tinggi, dan sahabatnya itu menjelaskannya dengan detail dan menggebu-gebu.
Terdengar dengusan dari ujung sana. Sepertinya Arman tidak suka dengan sikap Rubi. “Aku nggak sempat cerita ke kamu, karena perginya mendadak, Sayang.”
Mendengar suara lembut dan mesra dari Arman, membuat Fira berpikir bahwa Arman memang tidak main belakang dan dia berkata jujur. “Aku nggak mau ganggu kamu, sudah sore soalnya. Pasti kamu baru pulang dan istirahat pulang dari magang,” ujar Arman dengan nada membujuk.
Fira akhirnya mau menerima penjelasan dari Arman, juga tenang akan sikap jujur Arman. Sebenarnya Fira tidak tahu saja bahwa Arman telah membohonginya. Arman sebenarnya pergi ke mall hanya berdua dengan perempuan yang bernama Inge dan bukan Desi. Malam itu dia tidak pergi bersama teman-temannya seperti yang dia akui, dan kepergiannya terencana dan tidak pula mendadak.
Di sana, setelah dihubungi Fira, Arman menghubungi Inge. Dia menceritakan bahwa Fira mengetahui kepergian mereka ke mall. Arman menyarankan kepada Inge untuk tidak dulu bertemu dalam beberapa hari ke depan dan tidak pula bertemu di tempat umum.
***
Tidak terasa seminggu telah berlalu, dan Fira sudah terbiasa dengan rutinitasnya sebagai peserta magang di perusahaan ternama Elmer Group. Entah kenapa dia merasa lebih tenang jika tidak langsung berhadapan dengan Edwin, dan lebih suka bekerja tanpa harus bertemu. Meskipun Edwin telah menunjukkan sikap baik, Fira tetap saja merasa kurang nyaman dan selalu deg-degan setiap kali menyerahkan laporan ke Edwin, khawatir ada kesalahan dalam laporan yang dia buat dan dia menjadi sasaran kemarahan.
Kemarin, Fira mendengar suara menggelegar Edwin yang memarahi salah satu pejabat tinggi di ruang kerjanya, hanya karena salah input data. Edwin membentak dan marah-marah, dan ketika gilirannya masuk ke dalam kantor Edwin, Fira masih melihat wajah Edwin yang menahan marah dan kecewa. Gerakan tangannya menunjukan kekesalan saat menandatangani dokumen yang diserahkan Fira, juga kasar saat menyerahkannya kembali ke Fira.
Hari ini Fira mendapat kabar yang agak membahagiakan, Edwin berangkat mendadak menuju Paris, melakukan perjalanan bisnis selama dua minggu. Itu artinya dia tidak akan bertemu dengan Edwin atau berurusan dengan direktur utama yang suasana hatinya sangat susah ditebak.
“Kok senyum-senyum?” tanya Nia setelah dia mengabarkan keberangkatan Edwin menuju Paris ke Fira. Dia mencurigai Fira yang diam-diam senang akan kabar tersebut.
“Nggak apa-apa, Bu.”
“Saya tau. Akhir-akhir ini pak Edwin memang sedang menghadapi masalah yang cukup berat. Kalo dia terlihat uring-uringan dan gampang marah, itu artinya dia sedang berselisih paham dengan istrinya.”
“Oh, begitu.”
“Iya. Pak Edwin itu sangat mencintai istrinya dan selalu ingin menjaga perasaan istrinya.”
“Wah, idaman sekali.”
“Ya, tapi sayang, kadang pak Edwin terlalu menuruti keinginan istrinya sehingga istrinya itu terkadang agak kelewatan.”
Fira manggut-manggut. Akhirnya dia mengetahui alasan di balik kekesalan yang tiba-tiba dari Edwin akhir-akhir ini. “Hm … apa pak Edwin punya anak, Bu?” tanyanya.
Nia tersenyum hangat mendengar pertanyaan Fira. “Nggak punya. Padahal sudah lebih dari delapan tahun menikah.”
“Oh.” Fira menunjukkan wajah simpatinya. Menurutnya, akan sedih jadinya jika sepasang suami istri tidak dikaruniai anak.
“Istrinya mengalami masalah di rahimnya. Tapi, kurang tau juga. Ada yang bilang istrinya memang tidak mau memiliki anak, takut tubuhnya berubah. Sebagai asisten pribadi pak Edwin, sampai sekarang saya belum memiliki bukti bahwa istrinya memiliki masalah di rahim atau angkat rahim. Pak Edwin percaya saja.”
“Kok begitu, ya?”
Nia seperti tersadar akan ceritanya, “Ah, maaf, Fira. Saya terlalu jauh menceritakan tentang kehidupan pribadi pak Edwin. Lupakan saja. Kamu masih muda dan tidak seharusnya mendengar cerita-cerita rumit tentang pernikahan. Tapi satu hal yang harus kamu sadari, yakni harus berhati-hati memilih pasangan menikah, harus benar-benar satu visi dan tidak memiliki masa lalu yang belum selesai.”
“Maksudnya, Bu?”
“Maksudnya calon pasangan kamu itu harus menyelesaikan urusannya dengan mantan kekasihnya dulu atau mantan istrinya sebelum menikah denganmu. Jika nggak selesai, pernikahan kamu pasti akan terus menghadapi masalah seputar mantan dan masa lalu.”
Fira mencoba menebak arah penjelasan Nia, “Pak Edwin seperti itu?”
Nia mengangguk. “Sudah, kamu kembali bekerja memeriksa data-data ini. Oiya, ini berkas jangan lupa kamu serahkan ke pak Johnson setelah kamu periksa data di komputer. Saya harus bertemu bu Lena, dia menunggu kedatangan saya di kantornya.”
“Baik, Bu.”
Fira langsung melakukan perintah Nia saat itu juga.
Fira sempat berpikir tentang Arman, dan yakin dia adalah pria masa depan. Arman tidak memiliki mantan atau masa lalu yang tidak terselesaikan. Fira berharap hubungan asmaranya dengan Arman akan berakhir di pelaminan.
Bersambung