Fira memang kesal dengan Edwin, dan hampir menyesal telah memberi bantuan, memarahi tukang parkir dadakan. Tapi dia dengan cepat mengusir penyesalannya, lagi pula dia membantu sang sopir dan bukan Edwin.
“Rubi, habis makan siang, aku mau ke kampus. Mau ke kantor akademik. Izin ya?” ujar Fira ke Rubi yang sedang menghitung pemasukan dari pagi hingga siang ini, ada yang akan menggantikan pekerjaannya setelah makan siang.
“Iya, boleh. Balik lagi nggak?” tanya Rubi balik.
“Hm … iya deh.”
“Haha, kenapa, Fira? Kalo kamu emang nggak mau balik ya udah, nggak apa-apa.”
Fira menarik napas dalam-dalam, sambil meyakinkan dirinya, “Aku nggak balik ke sini lagi, Rubi.”
“Oke. Tenang, Fira. Kamu juga jarang minta izin. Pergi aja dan fokus sama urusan kuliah kamu, setelah itu baru kamu fokus kerja,” ujar Rubi, yakin Fira yang tidak pernah ingkar dengan janjinya.
***
Fira sudah berada di dalam kantor akademik, bertemu staff dan mengungkapkan permasalahan yang dia hadapi.
“Lho, sudah ikut induksi kok nggak lulus? Gimana sih?” Staff akademik juga ikut bingung dengan kasus yang Fira alami. “Kalo daftar magang lagi, mau nggak, Dik?” tawarnya yang ikut prihatin dengan nasib Fira.
Fira terdiam, memikirkan pekerjaan tetapnya di swalayan. Sebenarnya dia sangat mengharapkan bisa magang di Elmer yang menghasilkan uang dan dia tetap bisa bekerja di swalayan. Tapi jika dia magang di tempat lain, dia belum tentu mendapat gaji, jika dibayar pun, jumlahnya tidak sebanyak di Elmer.
Fira mempertimbangkan banyak hal dan cukup lama berpikir, sehingga staff berujar kepadanya, “Atau begini saja. Kamu pikir dulu baik-baik, antara daftar magang di tempat lain atau membuat laporan penelitian. Kalo kamu pilih penelitian, kamu nanti ikut dari awal daftar, belum lagi ujian proposal, atau dapat dosen pembimbing yang sulit ditemui, dan kendala lainnya. Nanti kamu malah terhambat selesai kuliah. Lagian kamu udah telat banget ini. Hanya saran lo, tapi kalo kamu yakin meneliti, bisa saya lanjutkan permintaan kamu.”
Fira jadi ragu dan dia memilih untuk mempertimbangkan terlebih dahulu.
“Nanti kamu hubungi saya aja kalo sudah mantap dengan pilihan kamu,” ujar staf akademik. Dia tahu Fira adalah salah satu mahasiswi kebanggaan kampus yang memiliki nilai akademik tinggi.
Fira ke luar dari kantor akademik, menuju kantin, untuk membeli air minum. Fira sebenarnya rajin membawa botol air minum ke manapun, tapi hari ini dia lupa membawanya, padahal sudah dia mempersiapkan botol minum sebelum pergi dari kamar kos.
Fira yang letih, duduk di depan kantin dan mencoba menghubungi Arman. Tanpa dia sangka, panggilannya dijawab Arman.
“Fira. Kamu di mana?”
“Aku di kantin, Man. Kamu?”
“Kamu nggak kerja?”
“Setengah hari. Aku barusan dari akademik, nanya soal laporan akhir kuliah.”
“Trus?”
“Aku masih bingung, Man. Magang atau bikin laporan?”
“Magang? Emang kamu mau magang di mana?”
“Itu dia aku masih bingung.”
Terdengar hempasan napas di ujung sana.
“Aku ke kampus sekarang. Kamu tunggu ya?”
“Iya.”
Tiba-tiba Fira mendengar rengek manja perempuan memanggil nama Arman. Dia tentu bertanya dengan raut wajah heran, “Arman, kamu sama siapa?”
Arman dengan cepat menjawab, “Temen. Ini lagi kumpul sesama aktivis kampus.”
“Oh.”
“Kamu tunggu di sana ya?”
“Iya.”
Fira tentu tidak tahu Arman yang sedang menghabiskan waktu dengan perempuan lain. Dia tetap duduk di depan kantin di tengah cuaca yang sangat panas di siang hari.
***
Edwin menatap sebuah kertas berisi nama-nama peserta magang di kantornya dengan perasaan gamang di atas meja kerjanya. Dia masih mengingat dengan jelas sosok gadis yang membela sopirnya di swalayan tempatnya membeli rokok untuk beberapa pegawai di rumahnya. Asisten pribadinya yang bernama Muja melaporkan persediaan rokok yang menipis, lalu Edwin yang kebetulan lewat swalayan tempat pegawai rumahnya biasa membeli kebutuhan rumah tangganya, menyuruh sopir kantornya untuk membeli. Ada sedikit penyesalan yang Edwin rasakan karena telah menolak gadis itu magang di perusahaannya, merasa keputusannya tergesa-gesa. Mungkin karena dia masih berduka atas kehilangan papanya, lalu ulah istrinya yang ternyata masih menghubungi mantan kekasihnya, pikiran Edwin jadi tidak terarah dengan baik, berimbas sikapnya yang uring-uringan dan gampang marah.
“Nia, bisa kamu ke ruangan saya sebentar?” Edwin menghubungi sekretarisnya, dan tak lama kemudian, pintu kantornya dibuka dari luar, Nia melangkah ke dalam ruangannya.
“Apa bisa kamu hubungi peserta magang yang bernama Fira Cahya Amanda. Saya ingin dia mulai magang besok di kantor ini.”
Nia sedikit tersentak, tidak menyangka perintah dari Edwin. Sebelumnya bosnya itu menyuruhnya untuk mendepak Fira dari kegiatan magang di kantornya, tapi sekarang berubah memanggilnya kembali.
“Maaf, Pak. Menurut Bapak dia bekerja di divisi mana?” tanya Nia tanpa mau tahu alasan Edwin yang menginginkan Fira magang di Elmer Group.
Edwin berpikir sejenak, lalu berkata, “Kamu butuh asisten? Kalo kamu butuh, kamu bisa suruh dia magang di kantor kamu. Biarkan dia bekerja di ruang kita.”
Nia bersorak dalam hati, sudah hampir dua bulan sejak kematian Elmer dia bekerja seorang diri tanpa asisten. Edwin telah melakukan perpindahan pegawai besar-besaran dan dia mengalaminya, satu asistennya pindah bekerja di divisi lain.
“Baik, Pak. Akan saya hubungi Fira segera,” ujar Nia semangat.
“Oiya, Nia. Ini dokumen yang sudah saya tandatangani, kamu bisa serahkan ke Johnson untuk ditindaklanjuti.”
Nia menunduk hormat dan mengambil dokumen yang terletak di sudut meja Edwin, lalu pamit ke luar ruangan.
Nia tidak langsung masuk ke dalam ruangannya, tapi dia masuk ke dalam ruangan Johnson yang tidak begitu jauh dari ruangan kerjanya.
Sepanjang langkahnya menuju ruang Johnson, Nia berusaha menebak-nebak kenapa Edwin sampai berubah pikiran kembali menarik Fira. Namun, dia juga bingung kenapa sebelumnya Edwin menolak Fira, padahal Edwin yang menunjuk nama Fira yang berada di urutan terakhir untuk masuk ke dalam peserta magang di perusahaan tahun ini.
“Kok bisa begitu?”
“Iya, John. Trus dia menyuruh Fira bekerja di ruang kerjaku.”
“Wah, kerjamu akan lebih ringan. Aku yakin gadis itu cekatan, terlihat saat dia mengikuti induksi.”
“Iya. Cuma aku heran pak Edwin yang berubah-ubah keputusannya. Saat aku mengajukan nama-nama, dia yang justru menunjuk nama Fira untuk masuk dalam peserta magang, lalu setelah induksi, dia menolak Fira, kemudian dia berubah lagi, memanggil gadis itu untuk magang di sini, bahkan di ruang kerjaku.”
Johnson tertawa kecil, “Haha, aku khawatir nanti Edwin menyuruh gadis itu berhenti magang lagi.”
“Itu juga yang aku khawatirkan. Aku benar-benar heran, John. Aku pikir pasti ada sesuatu yang membuat Edwin mengambil langkah seperti itu. Entahlah.”
Bersambung