4

682 Kata
Seperti yang sudah kuperkirakan, Haykal pun datang bertamu ke rumah. Ibu dan bapak yang sudah kuceritakan tentang pengkhianatannya juga apa yang sudah anaknya ini lakukan di hari pernikahannya, menyambut kedatangan Haykal dengan ramah, padahal aku sudah disakiti. Ya begitulah orang tuaku, walau sudah disakiti tetap saja baik. Haykal datang tak sendiri, melainkan bersama ayah dan ibunya. Wajah Haykal babak belur, dan itu luka masih baru. Pasti dihajar ayahnya. Kapok, deeh. Apa jangan-jangan ia dihajar karena tidak mau diajak ke sini? Itu bisa jadi. Aku memperhatikan Haykal yang duduk di kursi samping ibunya, bertanya-tanya dalam hati ke mana si sok alim yang biasanya menasehati agar aku sabar saat kukeluhkan sikap Haykal yang akhir-akhir ini mulai berubah? Ternyata, Haykal berubah karena digoda dia. Astagaa. Apa jangan-jangan ... Haykal kemarin tak jadi menikah dengan bunglon itu? Ayah Haykal tanpa basa-basi menjelaskan, bahwa maksud kedatangannya ke sini adalah untuk melamar. Beliau juga menjelaskan bahwa Haykal dan Yeni tak jadi menikah. Syukurlah. Aku tersenyum senang, rasa sakit di d**a yang membuatku dari kemarin ingin terus menangis lenyap begitu saja, minggat entak ke mana. Dendamku terbalas. Aku pun tersenyum senang. Dan ternyata, senyumku disalah artikan oleh ayah Haykal, menganggapku mau menerima lamaran, dan ia dengan antusias langsung membahas pernikahan yang akan diadakan secara sederhana saja karena masih sangat malu pada kejadian kemarin. Ibu dan bapakku berpandangan. Haykal sendiri, ia hanya diam, menatapku penuh kebencian. Tentu karena aku sudah menfitnahnya tidur denganku, membuatnya tak bisa menikah dengan Yeni. Syukurin, seenaknya saja mematahkan hati orang, pacaran lama, eh mau ditinggal kawin, ya kubalas. Kapok. "Aku gak mau nikah sama Haykal, Pak," kataku, memandang ayahnya, membuat lelaki berperawan tambun dengan wajah sangar itu menatapku tak percaya. Jangan lihat tampangnya, karena sebenarnya hatinya baik. Selama ini dia, memperlakukanku seolah aku adalah anaknya. Penuh kasih sayang. Ia sering bertanya kapan aku siap dilamar Haykal. Aku sih selalu siap, tapi permintaan Haykal membuatku pikir-pikir. Ya masa mau nikah minta DP dulu? "Kamu kan sedang hamil, kenapa gak mau?" tanya ibunya sedikit ketus, menatapku tak senang. Biasanya sih dia baik. Mungkin masih kesal karena perbuatanku kemarin. "Kalau ibu melamarku dua hari sebelum ini, aku gak akan nolak. Aku sangat sakit hati Haykal akan nikah, jadi aku ngajak temanku nikah. Kemarin itu waktu aku datang ke pernikahan Haykal memakai gaun pengantin, aku baru aja nikah, dengan temanku, untuk menutupi aib yang Haykal perbuat!" sahutku ketus dan menyalahkan. Tapi dalam hati aku tertawa senang. Haykal menatapku dengan mata melebar tak percaya. Kaget, dia. Pasti dia tak percaya bualanku. "Lalu kenapa kamu menyuruh Haykal bertanggung jawab?" tanya ibunya tampak jengkel. Ayah Haykal hanya diam memandangku, dengan wajah penuh tanya. "Aku gak nyuruh tanggung jawab. Aku hanya bilang, akan bawa perkara ke polisi kalau dia nikahi Yeni." Haykal tersenyum mencemooh. "Kamu jelas banget dustanya. Kamu tinggal bilang saja ke ayahku bahwa kita tidak pernah melakukannya, dengan begitu aku bisa menikahi Yeni! Jangan banyak ngeles!" Sakit hatiku mendengarnya menyebut nama Yeni. Dan membiarkannya bahagia sama Yeni? Tidak akan! Maka aku pun berkata, "Boleh aja kamu nikahin Yeni, tapi tunggu setelah aku melahirkan. Dan kamu urus anak ini!" Aku mengusap perut. Bapakku mengangguk-angguk, bangga padaku yang tetap tegar. Sementara ibuku hanya diam, menatap Haykal tak enak hati. "Mayang, kamu keterlaluan!" Haykal bangkit berdiri, mengangkat tangan hendak memukulku tapi ayahnya sigap mencegah. "Mayang, kamu pikirkan dulu. Kamu bisa cerai dengan suamimu, lalu menikah dengan Haykal. Pikirkan ya, Yang? Demi anak yang kamu kandung," ucap ayahnya, lalu pamit pulang. Aku dan ibu membuntutinya sampai di ambang pintu, tetap berdiri mematung hingga mobil yang membawa mereka pergi menjauh. Haykal memang anak orang kaya, tapi ia terbiasa mandiri sejak kecil, pekerja keras, juga ganteng, itulah alasanku suka dengannya. Dia bukan anak mama yang mengandalkan uang orang tua. Ibu mengusap bahuku mencoba menenangkan. Katanya, "Kalau kamu sangat menyukainya, kenapa tidak diterima saja lamarannya, Yang?" tanyanya pelan. Aku menggeleng. "Dia berzina dengan Yeni, Bu. Dia udah khianati aku." Aku menghela napas panjang. Wajah ibu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, seolah ibu tak rela Haykal pergi. "Tapi kan Haykal tidak jadi nikah dengan Yeni," kata ibu, menatap terus ke arah jalan di mana mobil yang membawa Haykal pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN