Obrolan yang kudengar dari luar membicarakan tentang pernikahan Asti langsung berhenti saat aku mengucap salam dan masuk. Tanpa mengatakan apa pun, aku menuju kamar, mengganti baju lalu keluar. Daripada bete dan kesal mendengar rencana pernikahan Asti beberapa bulan lagi, aku memilih main saja.
"Yang, mau ke mana?" Ibu mengerutkan kening dengan heran saat aku keluar kamar, dia menelisik penampilanku yang memakai jins dan kaus mengikuti gestur tubuh dengan jilbab sebatas d**a.
"Mayang mau keluar Bu, tempat temen."
"Kamu itu apa tidak bisa lihat ibu dan ayahmu juga Asti berpakaian bagus? Kan ibu sudah bilang tadi pagi, sore kita pergi ke kondangan tempat teman ibu. Sana ganti."
"Tapi kan aku gak kenal, Bu. Ibu aja sama ayah dan Asti yang ke sana."
"Maka itu ibu mau kenalkan kamu sama teman ibu. Juga sama anak tengahnya. Siapa tahu kamu suka, lalu nikah, jadi tidak dilangkahi adikmu, Yang." Tatapan ibu penuh harap, bahkan matanya merebak seperti akan menangis.
Karena ayah yang biasanya memang tak banyak bicara menatapku memohon, akhirnya aku kembali masuk kamar, mengenakan dres semata kaki dengan pita di bagian d**a lalu keluar. Ibu mengangguk, setuju dengan penampilanku. Maka kami pun segera berangkat naik mobil carteran yang dipesan ayah, menuju rumah teman ibu.
Aku menggigit bibir dengan d**a berdenyar sakit saat turun dari mobil menuju sebuah rumah dengan dekorasi mewah berwarna pink lembut. Warna kesukaanku. Pada Haykal dulu sekali, aku pernah berkata,
"Nanti kalau kita nikah, semua serba pink ya, Kal? Baik itu gaun, tenda, bunga-bunga, juga seragam untuk pagar ayu."
Saat itu Haykal mengangguk mengiyakan, dengan tatapan penuh sayang. Ah tidak menyangka, ternyata itu hanya moment yang tak akan mungkin terealisasikan dalam kehidupan nyata. Sedihnyaa. Aku menarik napas panjang menahan pedih, lalu membuangnya perlahan.
Ibu memperkenalkanku dengan anak temannya, dia adalah lelaki berperawakan tinggi kurus dengan rambut disisir pinggir. Kalau aku perhatikan, ia mirip dengan lelaki yang waktu itu meraih tespect yang kulempar di pernikahan Haykal.
Dan dia pun ternyata mengenaliku.
"Kamu Mayang pacarnya Haykal, kaan? Kal, Kaaal!" Serunya. Ibu dan ibunya hanya diam memperhatikannya. Karena tak mau menjadi pusat perhatian, akhirnya aku turun dari panggung pengantin, begitu pun ibu. Aku melangkah ke tenda, semakin melangkah menjauh mencoba menghindari Haykal yang berjalan mendekat. Tapi temannya, atau saudaranya? yang tadi dikenalkan padaku membentangkan tangan menghalangi.
"Bukannya kamu bilang dia sudah nikah, Kal? Tapi ibuku tadi pagi bilang, akan mengenalkanku dengan perempuan yang dijodohkan denganku. Dan dia orangnya." Tunjuknya ke wajahku. Aku tersenyum kecil dengan tak nyaman.
"Ibu aku itu hanya ngada-ngada. Yaa basa-basi aja. Sebenarnya aku memang udah nikah, kok," kataku gugup. Sepertinya aku bakalan ketahuan sekarang jika belum menikah.
Haykal memicingkan mata tak percaya, tatapannya begitu mengejek. "Sudahlah tidak usah pura-pura lagi, aku tahu kamu belum nikah, karena kamu tidak hamil jadi tidak perlu mencari lelaki untuk menutupi aib. Nanti malam bilang ke ayahku kalau kamu tidak hamil, dengan begitu aku bisa menikahi Yeni, juga akan memaafkanmu karena sudah menfitnahku menghamiliku juga fitnah bahwa utang belum kubayar. Padadal aku sudah membayarnya."
Aku menggeleng muak, dengan tatapan mengejek. Aku tak ingat ia pernah bayar utangnya padaku. Dan enak sekali ia menyuruhku mengaku pada ayahnya? Tidak akan pernah. Tidak akan kubiarkan ia bahagia dan aku sakit hati sendiri. Enak sekali mau menikahi Yeni sementara hatiku sedang patah sampai membuat laporan kerja pun aku salah-salah karena gak kosentrasi. Enak saja.
"Aku punya suami, kok. Punya, kok!" Ucapku mencoba tegas. Walau bingung.
"Kalau begitu mana suamimu? Tidak mungkin kamu datang sementara suamimu tidak."
Benar juga yang dikatan Haykal. Benar-benar aku pusing. Lebih baik, tunjuk asal satu cowok yang ada di sini lalu pergi. Dengan begitu beres urusan.
"Mana suami kamu?" Haykal menatapku mengejek. "Aku tahu kamu sangat menyukaiku, jadi tidak mungkin kamu semudah itu melupakanku. Kalau kamu benar-benar hamil, pasti minta tanggung jawabku."
"Itu, dia!" Aku asal menunjuk cowok lumayan ganteng wajahnya yang sedang makan di kursi bsrsama pemuda lainnya. Haykal dan anak teman ibuku berpandangan dengan wajah tak percaya. Lalu keduanya mendekati cowok itu membuat mataku melebar. Aku pun mengikuti hendak mencegah Haykal, tapi Haykal sudah keburu menepuk bahu cowok itu dan mengajaknya bicara.
"Apa dia istrimu?" Haykal menunjukku.
Cowok itu terlihat kaget. Dia memandang ke arahku dan aku menatapnya memohon, pleaseee, bantu akuuu, kataku dengan gerak bibir. Dan aku sangat lega karena cowok itu mengangguk.
"Iya dia istriku. Kenapa memang?" tanyanya, membuat Haykal terdiam tak percaya.
"Kamu yakin dia istrimu?"
"Iya dia istriku."
"Kapan kamu dan dia nikah?"
Mataku membulat, jantungku berdegup kencang. Tentu cowok itu tak tahu.
"Bukan urusan kamu. Memang kamu siapa istriku? Ayo, pergi." Ia meletakkan piringnya ke kursi di sampingnya lalu menghampiriku.
"Ayo kita pulang," katanya.
Aku mengangguk. Bersyukur karena ia mengajak pulang, maksudku, mengajakku pergi dari hadapan Haykal. Aku pun membuntutinya menjauh hingga tiba di parkiran. Aku mengucap terima kasih yang ia balas dengan anggukan kecil dan aku menatap sekeliling. Tentu tidak ada angkutan di sini, karena posisi rumah masuk ke dalam gang. Itu berarti aku harus menunggu sampai ayah dan ibu ke sini. Si cowok memandangku. Aku nyengir.
"Aku bareng sama ayahku, tapi masih di dalam. Aku gak mungkin kembali ke sana karena tidak ingin bertemu mantanku."
"Naiklah, aku antar."
"Apa?" Aku menatapnya tak percaya. Ia tertawa kecil membuatnya tampak manis.
"Naiklah gadis aneh. Aku akan mengantarmu pulang."
Tawarannya begitu menggiurkan. apalagi aku memang harus segera pulang dan tidur agar bangun tak kesiangan, karena besok jadwal kerja peralihan shift pagi. Sebagai karyawan bagian Quality Control memang diharuskan datang lebih awal sebelum karyawan bagian produksi, jadi aku gak ingin terlambat.
"Mau kuantar tidak? Mumpung aku lagi baik."
"Maksudmu, biasanya kamu jahat?" Aku jadi bergidik dan berpikir yang tidak-tidak. Ia pun tergelak.
"Mau tidak? Kalau tidak aku tinggal." Dia menstarter.
"Eh, tunggu, tunggu. Ta-piiii ...."
"Tapi?" Ia mengerutkan kening heran.
Tanganku terulur ke arahnya. "Lihat KTPmu dong."
Ia tertawa, merogoh dompet di saku dan memberikan KTP padaku sambil mengggelemgkan kepala. Aku pun meraihnya lalu memotretnya, setelah itu menggunggahnya di sss dengan status,
Aku diantar cowok asing. Kalau ada apa-apa denganku, ini KTPnya. Tolong datangi rumahnya bawa polisi
Aku menunjukkan padanya dan ia tergelak. Aku juga ikut tertawa, kukembalikan KTPnya lalu aku naik di boncengannya.
"Nanti aku bayar," kataku. Dia tertawa. Di tengah perjalanan, terdengar notif WA. Dari Haykal. Mataku melebar saat melihat statusku di sss yang discrenhot. Duuuuh, aku ketahuan, niiih. Huhuuuu. Sumpah rasanya, aku ingin menghapus status sss tapi sungguh tak berguna. Dan dari mana dia tahu FBku?