Yeni meninggal? Aku benar-benar tak percaya. Dadaku bergemuruh dan aku sangat takut. Semoga saja Haykal hanya membual. Ya, semoga saja ia hanya membual.
Aku mencoba mengusir ketakutanku dengan menarik napas panjang-panjang, lalu membuangnya. Seperti itu terus sampai aku jatuh tertidur. Aku kembali terjaga dengan tubuh berkeringat dingin saat mendengar derum mobil. Aku bermimpi Yeni dikuburkan, lalu aku menikah dengan Haykal, yang ternyata menikahiku karena ingin balas dendam. Sungguh menakutkan. Mengerikan.
Tok tok
Bunyi ketukan membuatku segera beranjak bangun, dengan langkah cepat menuju pintu. Bapak menatapku dengan wajah sedih, sementara ibu menunduk. Asti memelukku.
"Ada apa, As?" Aku bertanya penasaran. Walau aku tak suka dilangkahi, tapi hubungan kami tetap baik-baik saja. Ia adik yang penurut sekali, apa pun perintah kakaknya ini selalu dilaksanakannya.
"Mbak, mbak udah denger kabar, belum? Mbak Yeni mati bunuh diri. Pas lewat di rumahnya tadi ramai orang-orang. Ada Mas Haykal juga di sana, Mbak. Orang-orang bilang ini gara-gara Mbak."
Jantungku berdetak kencang sekali. Dadaku bergemuruh. Keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetaran. Jadi, Yeni benar-benar meninggal? Aku menggeleng tak percaya. Ini pasti hanya akal-akalan Haykal saja. Aku tak percaya. Aku tak percaya. Tapi tetap walau tak percaya, jantungku berdetak sangat kencang. Aku takut. Ya Tu-haan, aku sangat takut.
Ibu menuntunku menuju kursi, dipeluknya aku dan dia terisak-isak.
"Nduk, bagaimana kalau nanti kamu dipenjara, Nduk? Bagaimana?" Ibu berkata sambil mengusap-usap rambutku. Aku menggeleng-geleng.
"Aku nggak salah, Bu. Aku gak akan dipenjara. Gak."
Aku memang salah telah membalas dendam pada Haykal dengan mengaku-ngaku hamil, tapi itu setimpal menurutku atas perngkhianatannya. Yeni saja yang terlalu ringkih. Bodoh. Mau mati karena tak dinikahi oleh Haykal yang telah ....
Aku menghela napas napas, tiba-tiba merasa kasihan juga padanya. Juga merasa bersalah. Wajar jika Yeni depresi karena tak jadi menikah dengan Haykal, dan aku mempermalukan Yeni di hari pernikahannya mengatakan ia sudah tak perawan. Semua orang jadi tahu kebusukannya dan Haykal yang melakukan zina, jadi ia tak kuat dan bunuh diri. Yeni bodoh sekali. Yeni d***u sekali. Tapi anehnya, aku tetap merasa kasihan padanya, padahal ia sudah merebut Haykal dariku. Yeni sahabat yang baik, selalu menasihatiku agar menyelesaikan masalah dengan Haykal saat kuceritakan padanya hubunganku dan Haykal yang mulai renggang, tapi ternyata ...
Yeni ternyata bunglon.
Baik di depan menusuk di belakang.
Aku menghela napas. Masih tak percaya jika ia benar-benar meninggal karena bunuh diri. Aku harus melihatnya sendiri, menyaksikan sendiri ia benar-benar mati barulah percaya.
Maka keesokan harinya, aku pun datang ke rumah Yeni, yang ramai sekali. Kedatanganku ternyata menjadi pusat perhatian bapak-bapak yang duduk di kursi, dan orang-orang baik perempuan juga laki-laki tua muda juga tampak heran melihat kehadiranku. Aku seperti orang tak tahu diri, yang bahkan berani datang dan menyalami ibunya Yeni, yang terlihat tabah dan meminta maaf atas perbuatan anaknya padaku. Kakaknya Yeni juga terlihat tabah, dengan wajah suram karena kehilangan. Aku tetap tidak percaya Yeni telah mati, karena tak melihat jasadnya di ruang tamu, tengah disalati di ruang tengah, katanya. Jantungku berdetak kencang saat beberapa orang lelaki keluar dari ruang tengah menuju ke depan, menggotong peti mati bertulis kalimat syahadat. Tidak. Mungkin bukan Yeni bukan. Mungkin bukan.
Dengan perasaan campur aduk aku mengikuti rombongan menuju pemakaman, berjalan paling belakang mengikuti taburan bunga menuju makam. Aku menunggu lama di makam lain sampai orang-orang yang menguburkan Yeni pulang dan akhirnya aku mendekati makam.
Tertulis nama di batu nisan. Yenita Sari.
Tubuhku ambruk di samping makam. Bagai tak bertulang. Tatapanku berlama-lama pada nama di makam. Jadi, benar Yeni. Ini benar makam Yeni. Dadaku bergemuruh dan tubuhku semakin lemas saja saat ingat pesan Haykal semalam. Ya, Tuhaan. Jangan sampai aku menikah dengannya.
Aku memandang pusara Yeni, tidak ada lagi rasa kesal benci yang kemarin masih menggebu-gebu di dadaku. Yang tersisa hanyalah rasa sesal. Tak seharusnya aku mempermalukannya. Kejahatan tak seharusnya selalu dibalas dengan kejahatan, sesungguhnya hanya Allah yang berhak menghukum. Bukannya aku. Ya, Tuhaaan.
Tanganku terulur menyentuh pusara, teringat olehku wajah cantik Yeni yang selalu ceria. Ah, Yeni, kamu adalah sahabatku. Yang selalu baik, bagiku. Bahkan kamu telah merebut Haykal pun, aku tetap tak bisa benar-benar membencimu.
Mati adalah pilihan bodohmu, karena memilih mati tak lantas kamu keluar dari masalah yang membelenggu, tapi kamu menambah dosa, dan memilih kekal di neraka selama-lamanya bukannya bertobat karena telah berbuat zina.
Guntur menggelegar. Aku mendongak menatap langit yang pucat, segera berdiri lalu setengah berlari meninggalkan pemakaman saat merasakan tetesan hujan.
Yeni benar-benar mati. Lalu bagaimana denganku nanti? Aku sunggub stres, tertekan, juga pusing. Rasa bahagia yang kemarin meletup-letup di d**a karena telah menghancurkan pernikahan Yeni dan Haykal, kini jadi penyesalan. Juga ketakutan. Bagaimana jika Haykal sungguh-sungguh dengan ancamannya?
Jantungku berdetak kencang sekali. Lagi dan lagi. Aku takut, takut. Takut mimpi yang kualami, menikah dengan Haykal yang hanya membalas dendam, akan jadi nyata. Jangan sampai.
Sampai rumah, aku langsung mandi dan meringkuk memeluk bantal. Aku memejamkan mata rapat mencoba melupakan semuanya, tentang kepergian Yeni juga ancaman Haykal, tapi ternyata tak bisa. Wajah sedih Yeni saat aku mengacau dinpernikahannya tergambar jelas di benakku. Aku sungguh takut, takut.
Ting. Notif WA. Dari Haykal. Aku membukannya dengan tangan gemetar.
Setelah 100 hari kepergian Yeni, bersiaplah jadi istriku. Itu yang kamu mau kan? Lalu kamu membuktikan padaku, jika kamu masih gadis. Jika ternyata aku tak menemukan darah di malam pertama kita, lihat sendiri aku akan menuntutmu
Tubuhku gemetar juga menggigil. Aku takut. Takut.